Langkah-langkah yang gontai itu setapak demi setapak akhirnya memasuki aliran air sungai. Tanpa diminta oleh sang harimau putih sekalipun, Buyung Kacinduaan perlahan-lahan duduk di aliran air. Ya, meski baru sebatas perutnya, namun Buyung sudah merasakan kesegaran yang luar biasa.
Benar, luar biasa.
Buyung sedikit terkesiap sembari memandangi sang harimau putih yang berbaring di tengah-tengah aliran, hanya bagian leher dan kepalanya itu saja yang berada di atas permukaan air. Makhluk buas itu melenguh dua kali, lenguhan kedua sedikit lebih panjang.
Sang bocah menelan ludah. ‘Mungkinkah Inyiak Balang tahu bahwa tubuhku memang sedang terasa panas saat ini? Panas dan begitu lemas?’
Buyung beringsut mendekati sang harimau putih. Dan ketika ketinggian air mencapai lehernya, ia memang merasakan sensasi kesegaran yang lebih, seolah-olah aliran pelan dari sungai dangkal itu mampu menghanyutkan rasa panas sekaligus rasa lemas yang ia rasakan.
&l
Rumada menghentikan ucapannya, Daro sengaja menyentuh tangannya sebab wanita dan pria si pemilik lapau mendatangi mereka dengan membawa beberapa makanan untuk mereka.“Mari, silakan Uni, Uda,” ujar sang wanita seraya menghidangkan ke atas meja itu beberapa piring tembikar.Satu piring berisi jagung bakar, satu piring berisi singkong rebus, satu piring berisi irisan-irisan daging rusa bakar, dan semangkuk sambal hijau. Sementara yang pria menghidangkan tiga cangkir bambu ke hadapan masing-masing orang tersebut. Ketiga cangkir itu masih mengepulkan uap tipis.Lalu, tiga mangkuk yang dibikin dari batok kelapa, dan satu cerek air. Cerek yang terbuat dari loyang. Pria itu menuangkan air dari cerek ke dalam batok kelapa yang dimaksudkan sebagai pencuci tangan tamu-tamunya itu.“Mari, Uni, Uda, silakan dinikmati,” ujar sang pria pula.“Apakah ini daging rusa?” tanya Daro sebab irisan daging itu berwarna agak gelap.
Empat orang di dalam lapau sama menelan ludah. Tiga pria berbadan besar itu dikalahkan semudah itu saja oleh ketiga orang lainnya. Bahkan, mereka tidak melihat sama sekali bagaimana caranya di pria kedua sampai terjengkang seperti itu dengan kening yang benjut besar.Apa dan bagaimana bisa demikian, tidak satu pun dari keempat orang tersebut tahu. Mereka hanya melihat di tangan pemuda berpakaian serbaputih itu sudah tidak ada lagi potongan jagung bakar yang sebelumnya ia pegang.“Selagi guru-guruku sedang berbaik hati,” ujar Darna Dalun tanpa memandang tiga bandit hutan yang mengerang-erang di tanah itu. “Lebih baik secepatnya kalian berambus[1] dari sini!”Setelah mengetahui mereka telah salah mengincar mangsa, ketiga bandit itu pun segera meninggalkan lapau tersebut. Pria ketiga dan pria kedua memapah pria pertama yang mengalami luka lebih parah, seinci di atas kemaluannya, bahkan luka bolong berjumlah lima itu masih mengucur
Sang rembulan di horizon timur terlihat cukup indah, meski dengan kehadiran setengahnya saja dari wujud keindahan itu, tapi itu sudah cukup untuk memberi ketenangan bagi makhluk yang mendambakan kedamaian.Burung-burung hantu itu contohnya. Mereka bersahut-sahutan dari satu sudut rimba ke sudut rimba lainnya. Seolah ketenangan malam di bawah siraman cahaya lembut sang rembulan adalah sebuah pertanda bagi mereka untuk beranak pinak.Buyung Kacinduaan masih duduk memeluk lutut di atas salah satu batu besar di tepian sungai sisi timur. Duduk melamun seraya menatap kelembutan rona sang rembulan.Di belakang sang bocah, pada batu yang lebih besar dan lebih tinggi, Inyiak Tuo Bamato Biru berbaring di atas batu tersebut. Tatapannya juga tertuju kepada sang ratu malam di ujung ketinggian sana, namun lebih seringnya, tatapannya itu tertuju ke punggung sang bocah di hadapannya.Gemericik aliran air sungai lebar namun dangkal itu menambah denting da
“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Buyung Kacinduaan terkesiap, ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu ke belakang dan terhenti pada sosok harimau putih itu yang masih melenguh pendek dan halus.‘Tidak,’ gumam sang bocah dalam hati. ‘Jelas bukan Inyiak Balang yang berucap barusan itu!’Kembali tatapan Buyung tertuju ke arah sang rembulan separo.“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Tiba-tiba wajah sang bocah tenggelam dalam kesedihan. Benar, bisik hati kecilnya. Itu suara ayahnya. Suara Sialang Babega yang seperti terputar ulang di dalam bilik ingatan sang bocah.“Aku tidak tahu, Ayah. Yang aku tahu, bulan sangat indah, apalagi dengan bentuk bulat sempurna seperti sekarang itu.”Sialang Babega tertawa pelan seraya mengusap kepala Buyung Kacinduaan.“Keindahan rembulan ada pada ketenangannya, Buyung.”“Ketenangan?&rd
Darna Dalun beserta Rumada dan Daro telah jauh meninggalkan lapau sebelumnya itu, seperti janji mereka sebelumnya, Darna memberikan koin lebih kepada si pemilik lapau. Meskipun pemilik lapau itu tidak tahu menahu siapa ketiga orang tersebut, tapi itu tidak penting baginya, yang terpenting ia mendapatkan ganti rugi atas makanan yang ditinggalkan dan tidak dibayar oleh para bandit hutan sebelumnya itu.Dan kini rombongan Darna tengah menyusuri sisi selatan Danau Maninjau menuju ke arah barat. Darna dengan menunggang kuda coklat milik mendiang Rimau Buluah, Rumada dan Daro pula dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tujuan mereka masih sama, mencari keberadaan Datuak Sani dan mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.Permukaan Danau Maninjau di malam hari seperti kali ini terlihat mengagumkan. Riak-riak kecil yang disebabkan embusan angin malam atau pula sesuatu di bawah permukaannya yang berlarian, berkilauan memantulkan cahaya lembut
Kokok ayam hutan yang melengking panjang menembus kelebatan hutan itu sendiri membangunkan Darna Dalun, kicau burung di pagi hari itu sama sekali tidak dipandang indah oleh Darna. Tidak pula udara pagi yang sangat segar di kawasan itu mampu mengubah raut sinis di wajah pemuda itu kini.Ia turun dari batu besar itu, Rumada dan Daro pun baru saja terbangun. Darna mencuci wajah dan kepalanya di tepian danau.“Apakah kau akan berkata lagi untuk kita harus mengisi perut terlebih dahulu sebelum menemui orang tua itu?”Rumada dan Daro yang akan mendekati tepian danau saling pandang sebelum akhirnya tatapan mereka tertuju kepada Darna.“Tidak,” sahut Rumada. “Itu tidak perlu. Kecuali kau memang mau mengisi perutmu.”“Bagus,” sahut Darna datar saja. Ia lantas mendekati kuda yang terpaut tidak jauh dari batu besar tersebut. “Lebih cepat, lebih baik.”“Apa yang terjadi p
“Kau yakin,” ujar Darna Dalun dari atas punggung kuda kepada Rumada, “orang tua yang satu ini yang bernama Datuak Sani?”“Tentu saja,” sahut Rumada. “Tidak ada orang tua berusia 70 tahun yang masih menggunakan minyak akar bahar[1] agar rambutnya menjadi rapi. Dia satu-satunya.”Si orang tua yang memang adalah Datuak Sani terkekeh mengangguk-angguk. “Matamu jeli juga ternyata.”“Jadi kau mengakui bahwa kau adalah Datuak Sani?” tanya Daro, sekali lagi.“Apa kalian melupakan etika?” sahut Datuak Sani. “Datang tampak wajah pulang tampak punggung, hemm? Atau, memang seperti inilah orang-orang muda zaman sekarang?”“Aku hanya berkata sekali saja,” ujar Darna dari atas kudanya. “Berikan pada kami kepingan ketiga Teratai Abadi, dan kami akan langsung pergi dari sini.”Datuak Sani tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepa
Dalam posisi Darna Dalun dan Datuak Sani yang seperti itu, Rumada dan Daro tidak tinggal diam, keduanya langsung menyerang.Daro dari arah samping kiri dengan cakar Kuku Api mengincar rusuk Datuak Sani, manakala Rumada pula dari samping kanan dengan tebasan satu goloknya ke arah pinggang lawan.Hanya saja, untuk seorang pendekar tua sekelas Datuak Sani, semua pergerakan tersebut telah masuk dalam perhitungannya. Ia menyalurkan tenaga dalamnya ke kaki kanan lalu menghantamkan kaki kanannya itu dengan cepat ke arah datangnya tebasan golok.Tebasan Rumada terhenti, bahkan goloknya yang tajam itu seolah menyentuh sesuatu yang lembut namun juga kuat, telapak kaki si pria tua memerah menahan golok Rumada.Dan bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, Datuak Sani mengentakkan tangan kirinya menyongsong sepuluh cakar dari Daro dalam bentuk cakaran juga.Lima cakar bahkan mampu menahan sepuluh cakar wanita tersebut. Bahkan, itu dilakukan Datuak Sani tan