Share

Bab 2

Daniel menatap Allisya lekat."Kenapa diem? Apa kamu malu iya?" sudah satu tahun ini selama berpacaran Daniel tidak pernah mengantar-jemput Allisya. Jemput di depan rumahnya? I'm brave not afraid.

"A-aku em-" Allisya bingung mau mengungkapkan-nya. Ia takut kalau sang mama memarahinya karena di sekolah berpacaran, mama-nya sangat melarang keras. Entah apa alasannya tapi Allisya mengerti kalau mama hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. 

Daniel menghela nafasnya. Membuang emosinya jauh-jauh ke planet pluto lalu ceres. "Pokoknya aku anterin kamu pulang," Daniel menarik tangan Allisya menuju parkiran sekolah.

'Duh, gimana nih? Kan aku gak boleh bawa cowok ke rumah, pacaran aja gak boleh. Di nikahin iya,' gerutu Allisya dalam hatinya. Sungguh pilihan yang sulit, kalau Selena tau sudah habis ia di ceramahi lalu berujung membahas pernikahan. Allisya tidak mau nikah dini apalagi di usia muda, menikmati masa remaja saja belum lama.

Daniel sudah menaiki motornya. "Ayo naik," merasa tak ada pergerakan Allisya, Daniel menoel pipi jemblem itu. Allisya menatapnya terkejut, terlihat sangat menggemaskan di matanya. Setiap detik cintanya selalu bertambah tak ada yang kurang atau berlebihan, semuanya pas. 

Allisya mengangguk cepat, ia segera naik di atas motor Daniel yang super tinggi bagi ukuran tubuhnya yang pendek."Iya ya. Terus nanti kamu turun di gang-" ucapannya tersela, Daniel berubah kesal. Mungkin karena ia tak mengizinkannya untuk bertemu kedua orang tuanya.

"Emangnya aku cowok apaan? Gak, aku anterin sampai depan rumah kamu sekalian mampir mau bertamu. Aku mana pernah sih bisa kenalan sama orang tua kamu sya," ucap Daniel kukuh, cintanya itu bukan sekedar cinta bersenang-senang dan atau cinta monyet.

"E-kalau mama mar-" Allisya masih ragu, tak bisa di bayangkan bagaimana marah sang mamanya itu, ceramah dari pagi dan pagi lagi. Allisya tidak mau itu terjadi, lebih baik tadi ia memilih naik ojekan saja daripada pulang bareng dengan Daniel yang akhirnya terkena masalah kalau Mama tau.

"Gak akan marah sya. Kamu kayak gak tau aku aja," Daniel tetap kukuh, biarkan saja ia mengenal Allisya lebih dekat dan jauh lagi terutama mendapatkan lampu hijau dan restu dari kedua orang tua itu susah-gampang.

Dalam perjalanan pulang, Allisya berharap kalau kedua orang tuanya masih bekerja. Agar ia bisa selamat dan aman sampai di kamar nanti. Rasanya itu mustahil, mengenai mamanya selalu berada di rumah.

Tapi saat sampai, mobil hitam itu terparkir manis di halaman rumahnya. Secepat itu kah kerjanya? Atau memang kebetulan saja? Berbeda dengan ayah-nya yang mengizinkan untuk berpacaran. 

Daniel turun dan motornya. "Sya, ayo masuk. Baru kali ini aku mampir ke rumah kamu loh. Ayo sayang," Daniel menarik tangan Allisya. Yang di tarik pucat pasi menunggu persidangan. Langkah kaki Allisya seolah di paku kuat-kuat tak bisa beranjak sedikit pun. Memangnya Daniel mau nyari mati?

Saat memencet bel, Alister lah yang membukakan pintunya. Syukurlah, untung saja bukan Selena. Tapi tetap harus deg-degan karena di dalam pasti Selena duduk tenang atau menonton TV.

"Loh ini siapa sya?" tanya Alister heran, Allisya tidak pernah membawa cowok siapa pun ke rumah. Tapi nada suaranya tak menunjukkan tanda-tanda marah. Allisya merasa lega, memang papah-nya itu paling terbaik di banding sang mama yang menentang keinginan-nya.

"Calon mantu om," Daniel memperkenalkan dirinya, tersenyum percaya diri. Siapa tau langsung mendapat lampu hijau dan restu dari mertua kan?

Allister mengangguk, mudah percaya begitu saja."Masuk-masuk. Di luar salju," ucap Alister ngawur. Padahak cuaca di luar sangat panas, menyengat kulit. Membuat siapa saja ingin berteduh daripada kulitnya terbakar dan gosong.

Allisya melongo tak percaya. Apakah ayahnya itu sedang sehat? Baru kali ini ayah-nya langsung akrab dengan cowok yang Allisya bawa pertama kali ke rumahnya. Padahal selau cuek dan dingin dengan aura menyeramkan tatapan tajamnya.

"Kok bisa di suruh masuk sih? Biasanya juga di marahin suruh pulang gak usah dateng lagi." Allisya terheran-heran, apa memang ayahnya sudah mengenal Daniel lebih dulu? Ah! Tau begini daridulu ia menanyakan alamat Daniel dan sekolahnya.

Saat di dalam tepatnya ruang tamu, Allister asik mebgobrol dengan Daniel. Keduanya sangat serius, entah membicarakan apa. Tapi di lihat menurut matanya, kalau sang ayah itu bibirnya tersenyum sedikit. Pasti membisikkan hal yang aneh.

"Jangan sampai bikin Allisya nangis ya. Balonnya gak ada," dengan sedikit bercanda, Daniel tersenyum. Karena Allisya adalah putri kebanggaannya, tidak pernah menyakiti hatinya apalagi membuatnya menangis 

Daniel menggeleng, ia akan usahakan selalu membuat Allisya bahagia tanpa harus ada kesedihan sesikit pun."Gak akan om. Kan Allisya selalu senang sama aku, ya kan sya?" Daniel mengedip pelan. Allisya mendengus kesal. Pasti akan mudah mendapatkan lampu hijau dari ayahnya, tapi jangan harap akan lebih mudah berhadapan dengan mamanya. 

"Gimana sekolahnya?" tanya Allister pada Allisya. Seperti biasanya, ingin tau kesan pertama Allisya berada di sekolah barunya. 

Allisya menampilkan senyumannya, padahal kesan pertamanya adalah terlambat lalu di hukum berdiri saat ucapara dan pingsan."Seneng banget yah," jawab Allisya antusias. OSIS galak tapi perhatian itu menggetarkan hatinya. Mungkinkah ia mulai tertarik pada Aris?

Daniel memicing curiga, apa Allisya sedang memikirkan Aris? Daniel sangat tau dengan gerakan mata Allisya yang mengedil beberapa kali, bibir yang tak berhenti tersenyum itu siapa lagi kalau bukan Aris alasannya? Cowok itu, ah sudah berhasil merebut perhatian Allisya pertama kali. Daniel tidak akan membiarkan hal iti terjadi

"Senang karena aku yang nyuapin makan ya?" goda Daniel, pipi Allisya memerah. Apalagi di hadapan Allister, siapa tau juga semakin luluh dan menyetujui hubungannya. Daniel akan memperlakukan Allisya dengan baik.

"Emang tadi Allisya gak makan? Bukannya tadi pagi kamu gak sarapan ya?" tanya Allister khawatir, ia panik. Terutama wajah Allisya yang sedikit pucat, pasti anaknya itu sedang sakit. Masih saja memaksakan diri masuk ke sekolah. Allisya memang nekat.

"Biar aku yang nyuapin gitu om, makannya gak mau sarapan," kepercayaan Daniel sangat tinggi, padahal Allisya belum tentu mau di suapi oleh dirinya. Allisya malas makan, apalagi menunya selalu roti dan jarang memakan nasi. Rasanya tidak cukup untuk siap belajar ke sekolah.

"Ciee yang lagi budak cinta," Allister tersenyum jahil. Allisya menutupi wajahnya menyembunyikan rona merah pipinya. 

Allisya menatap ayahnya kesal  "Apaan sih yah. Tau deh," Allisya melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Lebih baik tidur saja daripada duduk di apit dengan ayah dan Daniel dengan suasana canggung-nya. 

Daniel senang bisa mengambil hati om Allister. 'Liat kan sya? Orang tua kamu aja gak marah,' batinnya bangga, akhirnya tugasnya selesai. Setelah ini ia akan lebih serius lagi dengan Allisya, karena cinta itu semakin besar setiap waktunya.

"Om, saya pamit dulu ya. Mau ke pasar nih," kebiasaan Daniel sepulang sekolah ke pasar membeli sayur-mayur, lauk-pauk, dan camilan gorengan untuk makan. Semua itu untuk ibunya yang kelelahan bekerja sebagai Laundry.

"Padahal masih mau ngobrol lebih lama. Gak papa deh, hati-hati ya."

Daniel salim pada om Allister, biar kesannya imam idaman gitu.

Allisya membuka kembali pelajaran hari ini, buku kotak kecil-kecil alias khusus di istimewakan matematika. Allisya memahami rumus-rumus yang baru saja di sampaikan oleh guru. 

"Gue lupa lagi, ini kan belum di catet keterangannya apa hasilnya darimana sama cara singkatnya. Tidakkk!" Allisya menjerit heboh, di carinya kotak pensil yang terdiri dari dua saudari pensil dan pulpen dengan kakak serta adiknya penghapus dan tip-ex.

Allister manghampiri Allisya. 

"Ada apa?!" tanya Allister khawatir. Rasanya takut kalau Allisya kenapa-napa. Tapi yang di dapati malah Allisya sedang duduk di meja belajarnya. Allister menghela nafasnya, hampir saja membuatnya jantungan.

Allisya tersenyum maklum. "E-gak ada kok yah. Lagi belajar aja." jawab Allisya mendongak menatap wajah ayahnya yang kini tanpa ekspresi, Allisya menahan tawanya. Padahal suaranya tidak terlalu keras, tapi ayah malah panik dan segera ke kamarnya.

"Oh," dengan ekspresi datar Allister keluar dari kamar Allisya dengan tangan hampa tanpa memukul kecoak seperti biasanya.

🍒 🍒 🍒

Allisya yang tengah tidur siang pun di bangunkan mendadak oleh mamanya. Baru saja ingin tidur lebih tenang dan lama karena sangat lelah, mama-nya itu tak ingin jam tidur siangnya sempurna. Selalu saja ada gangguan-nya.

"Ada apa sih ma?" rambut awut-awutan dan mata yang berat. Allisya ingin terpejam lagi, tapi matanya seketika terbelalak saat mamanya menyebutkan sederet pesanan yang penting. Dan itu haruskan membeli saat ini juga.

"Beliin mie instan, camilan, susu kaleng, sayur, buah, sabun badan, shampo, deterjen, pasta gigi, pewangi pakaian, handbody, parfum. Sekarang juga! Nih uangnya," Selena memberikan uang tiga ratus ribu rupiah saja pada Allisya. 

"Ha?" mata Allisya melek seketika. Yang benar saja membeli itu semua? Ya kalau tangannya banyak just two hand. Apalagi barang belanjaan itu ia sendiri yang membawanya? Kalau jatuh di tengah jalan? Ah, entahlah ia sanggup atau menyerah saja. Tapi kalau memilih opsi terakhir, uang saku sekolahnya akan terancam.

"Sekarang! Atau uang jajan-"

"Iya ma," Allisya bergegas cepat. Belanja mingguan setengah bulanan ini mendadak banget. Padahal setaunya masih ada dengan begitu cepatnya habis, pasti ini semua di gunakan oleh ayahnya saat ada acara sepak bola berlangsung. Asal makan saja tanpa melihat persediaan stok-nya.

Saat di luar pagar rumah, Allisya menghentikan langkahnya. 

"Eh, bawanya gimana ya? Banyak banget lagi," Allisya berpikir hingga sebuah ide terlintas dimana ia melangkah masuk lagi menuju dapur mengambil kardus yang sudah tak terpakai sebagai wadah alami belanjaannya nanti.

Dengan membawa kardus berukuran besar seperti TV itu Allisya ke supermarket yang tak jauh dari rumahnya. 

Mbak kasir yang melihat itu pun menahan tawanya. 

"Ya ampun lucu banget. Eh, gak berat apa?" tanyanya khawatir karena yang bawa kardus itu tidak menampakkan wajahnya, mungkin tingginya mungil. Jelas mbak kasir menahan tawanya, baru kali ini menemukan pembeli yang unik.

"Gak kok. Aku bisa," Allisya membawa kardus itu sambil melihat setiap rak dimana mamanya menyebutkan semua keperluan yang akan di beli. Karena berat, Allisya meletakkan kardus itu di lantai. 

"Fyuh, capek juga ya. Hm, tadi mie instan," Allisya sudah hafal daftar belanjaan mamanya. Setelah ingat harus membeli barang apa selanjutnya, Allisya melangkah ke rak yang ada telur. Mengambilnya secara hati-hati.

Setelah selesai, Allisya membawanya ke kasir. 

"Hah, ini mbak. Duh berat banget lagi," Allisya meletakkan kardus itu di lantai, di meja kasir pun tak muat. Dengan senang hati mbak kasir itu menghitung total belanjaan-nya. 

"E-ini gak kebanyakan dek?" tanya mbak kasir itu ragu. Meskipun hanya kebutuhan pokok, tapi angkanya hampir mendekati satu juta.

Allisya menggeleng. "Gak. Cepetan mbak," ucap Allisya tak sabaran. Yang terpenting belanjaan mamanya selesai, dan ia bisa melanjutkan tidur siangnya yang tersita dengan kejamnya itu.

Mbak kasir itu pun menghitung total bayarnya. Allisya memberikan uang pas sesuai mamanya yang memberi.

Allisya mulai kesusahan saat berjalan, hingga...

"Copet! Tolong!" teriak seorang ibu panik. Tas selempangnya di rampas oleh seseorang yang memakai topeng maling. Larinya sangat gesit dan lincah. 

Allisya meletakkan belanjaanya. Ia berlari menghampiri ibu itu. 

"Mana bu copetnya?" tanya Allisya menghampiri ibu yang menjadi korban itu. Niatnya ingin menolong, tapi entah mampu atau tidak melawan pencopet itu.

Ibu itu menunjuk ke arah timur. "Disana! Tolong kejar!" pintanya. Allisya mengangguk dan mengejar si copet itu. 

Karena larinya seperti marathon atletik jarak panjang, Allisya berhasil menarik baju si copet itu.

"Balikin! Sini!" gertak Allisya berani. Tapi soal bertarung, ia lemah. Semoga saja ada yang menolongnya sekarang. Karena mau bagaimana pun juga Allisya ketakutan.

Si copet itu menahan tas hasil curiannya kuat agar tidak di rebut.

"Gak usah ikut campur kamu! Atau," si copet itu menodongkan sebilah pisau yang membuat Allisya mundur. Melibatkan semjata tajam membuat Allisya tak bisa berbuat apa-apa. Demi Tuhan, ia butuh bantuan siapapun itu.

Si copet tersenyum senang. 'Anak kecil berani ngelawan,' panggilan Siva agar segera di basmi tuntas. Ia tersenyum puas melihat Allisya tak bisa melawannya apalagi berteriak minta tolong, gadis itu bodoh.

"Berikan tas itu," tiba-tiba Aris datang. Allisya bernafas lega, semoga Aris bisa menghadapinya. Akhrinya Tuhan mengabulkan doanya, yang datang adalah Aris. Terserah mau yang mana, asalkan Allisya bisa selamat. 

"Atau saya lapor polisi," Aris mulai menelepon polisi namun tas itu sudah di jatuhkan begitu saja dan si copet melarikan diri. Aris mengambil tas itu, mengecek isi di dalamnya yang ternyata tak bisa di buka karena di gembok khusus. Pemliknya sangat cerdas dalam memilih tas.

Aris memberikan tas itu ke Allisya. "Nih, lain kali berhati-hatilah," Aris pergi. Tapi ia ingin mengenal Allisya, namun ada urusan lain yang harus ia selesaikan secepatnya.

Allisya tersenyum baper. 'Aaa, akhirnya ketemu lagi sama dia,' batin Allisya memekik senang, ia harap selalu bertemu dengan Aris apalagi saat di sekolah.

Seorang ibu yang kecopetan tadi menghampiri Allisya. 

"Nak, tas ibu," pintanya. 

Allisya tersadar dari sstt halunya.

"Oh, ini bu."

"Sebentar," ibu itu mengambil beberapa lembar uang merah. "Ini sebagai imbal-"

"Tidak perlu, saya ikhlas membantunya," tolak Allisya halus. "Saya pergi dulu, masih ada urusan."

Ibu itu tersenyum. "Cewek pemberani," gumamnya. 

🍒 🍒 🍒

Duk!

"Aw," Allisya terjatuh karena kardus yang ia bawa keberatan. Sudah tau badannya kecil masih saja sok kuat, tangannya merasakan pegal juga sakit.

Pak satpam pun membantunya. "Ya ampun nona, apa baik-baik saja?"tanyanya khawatir, apalagi melihat Allisya kewalahan membawa barang belanjaan sebanyak itu.

Allisya berdiri. "Iya pak, tolong kasih ke mama ya. Aku capek banget bawanya, berat," keluh Allisya. Lebih baik di serahkan saja pada satpam rumah agar ia tak perlu repot-repot naik tangga.

"Baik nona." 

🍒 🍒 🍒

Di sekolah, Allisya begitu senang bertemu dengan kakak kelas itu, sepertinya ia menyukainya. 

Allisya tersenyum sendiri membayangkan kejadian kemarin. Sampai Daniel yang baru saja memarkirkan motornya heran. Apakah Allisya waras?

"Allisya!" panggil Daniel berteriak. Lebih tepatnya gemas karena Allisya mengabaikannya, berarti selama perjalanan Daniel berbicara dengan patung bernyawa. 

Allisya menoleh. "Ya?" dengan tatapan polosnya Allisya tidak tau kalau Daniek tengah menahan kekesalannya. 

"Maaf tadi aku gak bisa jemput kamu. Ada apa? Lagi seneng ya?" Daniel tak tau bahwa Allisya memikirkan Aris. Hati-hati niel kepincut Aris. 

"Tau aja. Daripada marah-marah," sindir Allisya mengenai hal kemarin. Mood-nya berubah buruk, Daniel mengganggu khayalannya tentang kejadian kemarin. Hal yang sangat manis bagi Allisya dimana Aris datang layaknya superhero menebas habis kejahatan yang ada di Bumi.

"Siapa yang marah? Aku ya?" Daniel cepat peka. Ia langsung tau maksud Allisya bagaimana. Selain itu juga, Danisl berusaha memahami Allisya.

"Lupain. Yuk ke kantin, laper nih." tapi yang di katakan Allisya hal lain, mengajak Daniel ke kantin karena tidak sarapan. Rasanya tak memuaskan dengan selembar roti saja tanpa harus ada nasi yang kenyang-nya lebib lama.

"Kebiasaan kamu gak sarapan. Ayo, bentar lagi bel nih."

Di kantin, Allisya hanya memakan roti dan susu kotak. Nyatanya Allisya malah membeli roti, saat di tanya kenapa agar praktis saja tanpa perlu repot-repot cuci tangan. Di kantin ada nasi bungkus yang masih hangat saat pagi hari begini. Jadi rasanya pas buat yang belum sarapan di rumah.

"Apa aku perlu datang ke rumah kamu terus ngingetin sarapan?" 

Keduanya tengah duduk di meja nomor empat. 

Allisya menggeleng."Gak perlu. Lebih enak sarapannya di kantin sih, apalagi sama kamu hehe," apalagi duduk berdua dengan Daniek seperti ini saja membuatnya senang, ah sama persis kencan. Tapi itu mustahil baginya, mengingat kegarangan mamanya melarang laki-laki manapun mengajaknya itu pasti di duga pacar.

Hati Daniel berdesir. "Sok gombal kamu," gengsi, tapi Daniel senang bisa bertemu Allisya setiap hari daripada di chat dan telepon.

"Kamu tau gak cowok yang kemarin nolongin aku siapa?" tanya Allisya, memancing Daniel agar penasaran. Tapi reaksinya berbeda, lebih tepatnya tak mau tau karena Daniel mulai cemburu jika Allisya membahas cowok lain.

"Gak tau," jawab Daniel cepat. Mood-nya turun drastis.

"Tapi kan kemarin kamu kayak kenal," Allisya keukuh ingin tau namanya saja, belum minta nomor dan username I*******m agar bisa mengenal lebih dekat lagi.

"Mau selingkuh iya?" tuduh Daniel cemburu. Apalagi Allisya menceritakannya dengan raut bahagia, seperti kagum dengan wajah cowok yang di maksud itu.

Allisya menggeleng cepat, ia tersenyum kikuk. "Gak kok, siapa juga yang mau selingkuh," sanggah Allisya gugup. Ketauan mau pdkt kakel ganteng kemarin deh. Tapi hatinya tetap untuk Daniel.

"Gak usah deket-deket dia," tekan Daniel tajam. Ia tau kalau yang di maksud Allisya adalah Aris, pasti cowok itu ingin mengambil hatia Allisya-nya. Kenapa harus gadisnya? Apa tidak ada yang lain?

"Sebel ah, belum juga kenal. Gimana kalau jadi sahabat nantinya, udah di jadiin sup aku," begitulah Daniel, Allisya menjaga jarak dengan cowok yang tidak ia kenal demi menuruti Daniel. 

🍒 🍒 🍒

Saat istirahat, Aris duduk di tengah-tengah meja kantin. Kata Arif agar terlihat oleh siswi-siswi cantik. Sekaligus bisa berkenalan dengan semua siswi di sekolahnya. Arif dan Javas tidak punya pacar, sama dengan Aris juga.

"Yang itu boleh juga. Wiuiwt, kenalan dong," Arif menggoda seorang siswi cantik berkucir kuda memakai kacamata double lensa mata sekalian. Tak mahir bersiul Arif hanya bisa mengucapkan secara alami.

Siswi itu berkenalan dengan Aris. "Boleh, aku Dita," namun Aris tak mempedulikannya. Cewek itu melirik Aris penuh minat, ia langsung tertarik pada Aris.

Dita kesal lalu beralih pada Javas. "Hey, aku Dita. Salam kenal," karena merasa di abaikan, Dita berkenalan dengan yang lain ingin tau respon baiknya.

Javas meresponnya. "Hay juga," dengan senyumannya Dita salting di tempat. Javas juga lumayan ganteng dan cool, sama sebelas duabelas dengan Aris.

'Aaa kalau yang ini mah mau gue. Udah kalem, ramah, ganteng lagi,' puji Dita dalam hatinya. Kalau berpacaran dengan salah satunya saja akan membuat Dita bangga, selain popularitas sekaligus memiliki kekasih yang sempurna.

Arif mendegus. "Yang ngajak kenalan gue! Bukan Aris sama Javas!" kesalnya. Dita meliriknya sinis. Padahal ia langsung menyukai Dita sejak pandangan pertama, tapi lebih tertarik dengan Aris dan Javas. Arif merasa kalah jika soal wanita. Tak pernah bisa memenangkan-nya.

"Siapa juga yang mau kenalan sama lo?" 

Allisya yang mendengar itu pun tau. "Jadi namanya Aris," gumamnya. 

"Kenapa sya?" Aqila tau kalau Allisya menguping, karena suasana kantin yang tak terlalu ramai.

"Sekarang gue tau namanya siapa," Allisya tersenyum duhai senangnya.

"Kak Aris kan? Hayo loh, naksir ya sama dia?" goda Aqila. Allisya malu-malu tapi gak mau. 

Daniel yang tak jauh dari Allisya duduk pun mendengus kesal. 

"Terus aja mikirin Aris."

"Kenapa sih niel? Siapa juga yang mikirin Aris," Dehaan masih belum tau kalau Daniel is jealously.

"Bukan lo dodol. Tapi Allisya," semprot Daniel garang. Dehaan menyengir. "Emang iya?"

"Tuh, liat meja nomor tujuh." 

Dehaan melihat Allisya memandangi Aris.

"Samperin lah niel, daripada Allisya pindah ke hatinya Aris," suruh Dehaan karena hati cewek tidak akan menetap selamanya. Akan ada saatnya bosan.

Daniel menghampiri Allisya. Menghalangi pandangannya dengan duduk di hadapan Allisya. 

"Ish niel! Aku jadi gak bisa ngeliat," Allisya berdiri namun Daniel menyuruhnya duduk. 

"Ngeliatin siapa? Cowok kan? Gak mungkin cewek," tuduh Daniel marah. Allisya tersadar, rupanya Daniel sudah tau. 

"Gak kok, aku tadi ngeliatin kamu," kilahnya. Daniel tidak akan percaya semudah itu.

"Aku di meja enam Allisya. Masa liatnya ke depan?" Daniel mendesak Allisya, sejak adanya Aris ikut campur Allisya jarang membalas pesannya.

Aqila merasakan hawa panas. "Aku ke kelas dulu ya. Nganterin pesanan Kaila, daripada ngamuk," memang benar Kaila memesan camilan ciki. 

"La! Kok pergi sih," namun Aqila tak mempedulikannya. 

🍒 🍒 🍒

Next part》》》senin depan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status