Pukul delapan pagi. Heera menarik napas panjang, menatap mobil Sedan hitam yang terparkir di rumahnya. Bukan, itu bukan mobil milik Sean, melainkan milik pemuda yang baru saja keluar dari pintu pengemudi, Arta.
Saat kemarin Jessi memberitahunya kalau gadis itu memberikan alamat rumah Ibunya di kampung, Heera sudah menduga kalau Arta pasti akan datang. Heera tidak tahu aa motif pemuda itu datang kemari, entah kemarahannya yang belum tuntas atau Arta datang membawa penyesalan.
Heera yang saat ini sedang mengintip lewat jendela kamarnya lantas beranjak pergi keluar dari kamar ketika mendengar suara ketukan pintu. Langkah Heera berhenti tepat lima langkah jaraknya dari Arta berdiri, pemuda itu tampak melebarkan kedua bola matanya kala melihat kehadiran Heera.
Bukan hanya Arta yang kaget ketika bersitatap dengan Heera, tetapi Heera pun begitu. Hatinya merasa ngilu melihat wajah tampan Arta yang babak belur, lebam di area rahang dan mata, sudut bibirnya juga nam
Sean mengernyitkan keningnya saat melihat mobil Sedan hitam terparkir tepat di depan perkarangan rumah orang tua Heera. Sedikit tergesa Sean turun dari mobilnya lalu berjalan cepat memasuki perkarangan rumah Heera. Tidak sabar untuk melihat siapa gerangan pemilik mobil Sedan itu. Langkah cepat Sean terhenti, pria itu membantu ketika melihat dari jendela Heera yang sedang memeluk seorang cowok di dalam sana. Lidah Sean kelu, kakinya pun tak mampu melangkah lagi. Meski cowok itu membelakanginya, tapi di lihat dari postur tubuhnya, Sean jelas mengenal. Kalau bukan Arta siapa lagi yang sangat mengincar Heera selain dirinya? Sean mendengus, bibirnya melengkungkan senyum miris. Pantas saja Heera tidak mengangkat teleponnya sedari tadi, jadi ini alasannya? Sesak, dan juga pernih. Ternyata, patah hati tidak pandang umur. Tua atau muda, sama saja sesak dan sakitnya. Sean menunduk, sepertinya ia tidak mampu lagi untuk melanjutkan langkanya untuk masuk ke
Sean menatapi Anjani yang sibuk mengganti kompres air es lalu mengecek suhu tubuh Keenan. Keenan masih demam, anak itu juga sedang tertidur ketika Sean datang. "Maaf sudah merepotkan, Jan." Anjani menatap Sean, lalu terkekeh pelan. "Santai saja sih, Om! kayak sama siapa aja deh, aku kan juga bunda nya Keenan." Sudah menjadi ciri khas Anjani kalau cewek itu baik hati dengan siapa saja. Kepada Sean pun ia tidak ada canggung - canggung nya meski pernah menjadi istri yang di khianati. Anjani tipe wanita yang mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, ia selalu pasrah kepada takdir Tuhan. Karena menurutnya, semua yang terjadi saat ini pasti sudah menjadi kehendak dan tidak bisa ia ubah. Alasan mengapa Anjani iklas membiarkan Sean bersama Yuna, karena Anjani yakin Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan untuknya dan Sean di jalan yang berbeda. Terbukti, kini Sean bahagia bersama Keenan, dan Anjani bersama Langit. "Kata Mamah, Om Sean habis dar
Heera berdiri di atas balkon kamarnya dengan gelisah, matanya tertuju ke arah rumah Sean sejak ia berdiri di lantai marmer balkonnya itu. Sore tadi ia di antar sampai depan gerbang kosan oleh Arta, dan pemuda itu langsung pergi setelah mengantarnya. Tadi, selepas turun dari mobil Arta, Heera langsung berlari menuju rumah Sean, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Setelah teringat kalau Keenan sedang menginap di rumah orang tua Sean, Heera segera memanggil taksi dan pergi menuju rumah calon mertuanya itu. Tapi apa yang terjadi? Penjaga rumah Lucia dan Adi mengatakan bahwa sepasang suami-istri itu sedang keluar kota. Heera panik. Ponsel Sean mati sejak tadi, dan Heera tidak tahu dimana Sean dan Keenan berada sekarang. "Mas Sean!" gumam Heera ketika mendapati mobil Sean yang datang dari kejauhan sana. Segera Heera berlari keluar kamar dan menghampiri Sean yang baru saja datang. "Hati-hati, Ken." "Iya,
Sudah 3 hari Heera menghindari Sean. Ia juga tidak bermain dengan Keenan karena ia bukan lagi babysitter dari anak itu. Tetapi setiap pagi Heera selalu mengintip dari tepi jendela kamarnya, mengantar kepergian Sean dan Keenan melalui sepasang mata yang bersembunyi di balik tirai gorden.Heera membuang napas, merasa sumpek seharian di kamarnya. Tidak ada kegiatan lain selain rebahan, menonton drama dan menyanyi lagu random yang tiba-tiba melintas di kepala.Tubuh Heera menegak, ia merenggang pinggangnya sesaat kemudian beranjak bangkit dari tempat tidur. Berjalan keluar dari kamar, sepi. Televisi bahkan mati, para penyewa kamar kost sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Karena tidak ada yang bisa Heera ajak bicara, akhirnya cewek itu beranjak keluar dari kosan sambil memasang earphone di kedua telinga. Kebetulan sepeda milik Jessi sedang nganggur di luar. Heera memutuskan untuk berkeliling komplek menggunakan sepe
"Kamu yakin bisa jagain Keenan?" Sean menatap Hardin dengan pandangan meragukan. Adik sepupunya yang sedang menikmati hari liburnya di Indonesia itu mendadak menawarkan diri untuk menjaga anaknya karena sampai saat ini Sean belum mendapatkan babysitter pengganti setelah Heera resign. "Yakin, bang. Kalau ngerawat Keenan doang aku bisa." jawab Hardin dengan semangatnya. Berusaha membuat Sean yakin. Sean menghembuskan napas pendek, "Kalau kamu mau menginap di sini, kamu bisa pakai kamar tamu." ujar Sean menimbulkan senyuman lebar dibibir Hardin. "Memang boleh, bang?" Sean mengangguk, "Saya juga tidak tega melihat kamu bulak-balik Jakarta - Bogor." katanya. "Kamu libur sampai kapan?" imbuh Sean, pasalnya saat ini Hardin hanya sedang libur semester saja, setelah liburannya selesai cowok itu akan kembali terbang ke Singapore. "Aku libur tiga bulan, tapi bulan depan rencananya aku balik ke S
Heera tidak mengira bahwa sebuah kesalahan pahaman kecil akan menjadi besar seperti ini. Hanya karena mulut besar Jessi nama baiknya berada di ujung tanduk. Saat ini Sean dan Heera duduk di sofa ruang tengah, berada di tengah-tengah penyewa kosan dan bu Riska serta suaminya yang sedang melakukan wawancara. Dan sialnya, orang tua Sean sedang menuju kemari karena di panggil langsung oleh Bu Riska untuk meluruskan masalah. Padahal mulut Heera hampir berbusa karena menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Heera juga sudah membujuk Bu Riska untuk membicarakan hal ini tanpa melibatkan kedua orang tua Sean, tapi sayangnya, bu Riska tidak sependapat. "Astaga, Bu, aku sama mas Sean cuma lagi bercanda aja tadi." Entah sudah yang keberapa kali kalimat itu keluar dari bibir mungil Heera. Jessi yang berdiri di belakang bu Riska langsung memasang wajah protes, "Tapi tadi gue denger ya lo bilang... Ahh, mas Sean.. Geli..." tiga kalimat di akhir Jessi ucapkan sambil meniru suar
"Nyalain lilinnya!" Jessi menepuk pundak Anin yang baru saja berteriak menyuruhnya untuk menyalakan lilin. "Pelan-pelan ngomongnya, nanti Heera dengar!" bisik Jessi galak. Gadis itu mendekat ke Lucia kemudian menyalakan lilin yang menancap di atas kue tar berwarna coklat dengan tulisan 'Happy birthday Heera!' diatasnya. "Nek, boleh aku yang pegang kuenya." Keenan yang baru saja datang lima menit lalu sangat antusias ingin ikut merayakan ulang tahun Heera. Ya, semua hanya rekayasa. Sebenarnya, Jessi, Sean dan semua yang ada di kosan sedang mengerjai Heera yang hari ini sedang bertambah umur. "Boleh dong, sayang. Tapi, hati-hati." Dengan hati-hati Lucia mengoper kue di tangannya ke tangan mungil Keenan. Dengan langkah pelan mereka mulai mendekati kamar Heera. Jessi memegang knop pintu kamar Heera, menghitung sampai tiga tanpa suara kemudian membukanya. Dan dengan kompak mereka menyanyikan lagu ulang tahun. "
"Secepatnya mas akan membawa keluarga mas bertemu ibu dan adik kamu."Keseriusan Sean pada hubungannya dengan Heera tidak perlu di ragukan lagi. Dua jam setelah mengikat Heera menjadi calon pengantinnya, pria itu langsung bersedia membawa keluarganya untuk menemui keluarga Heera.Tapi, kesiapan Heera belum sepenuhnya matang. Masih ada yang cewek itu ragukan. Sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga, tentu saja Heera sedikit keberatan jika harus menjadi seorang istri dalam waktu dekat ini.Heera takut, setelah ia menikah nanti, ia tidak bisa lagi memberikan nafkah kepada ibu dan adiknya. Heera takut Sean akan melarangnya untuk bekerja dan hanya boleh mengabdi sebagai seorang ibu rumah tangga saja.Masih banyak keinginan Heera yang belum tercapai. Jujur saja, Heera bahkan belum berhasil mensejahterakan keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri."Apa gak terlalu kecepatan, mas? Ak