Share

Hari Bahagia

 "Kebayang tidak malam pertama sama mas dudamu itu, Ren?" Heti sudah mau terjungkal membayangkannya.

 Pipi Rena sontak memerah, dia saja tidak membayangkan hal itu, lebih kepada rutinitasnya di rumah setelah menjadi istri sah Noah nantinya. Kalau di kantor ini saja dia semakin dihormati karena status baru yang diumumkan beberapa saat lalu, tentu saja di rumah nanti dan keluarga besar Noah ikut berubah, sejauh ini masih keluarga inti yang Rena temui, belum keluarga besarnya.

 "Hush, kamu jangan bahas itu!" Rena sergah temannya. "Kalau ada yang dengar, bisa jadi aku dikiranya menikah hanya karena malam pertama!"

 "Ahahahaha, semua gadis kalau menikah pasti mikir itu, Ren. Cuman nih, mas dudamu sudah pengalaman, dia pasti tidak akan kesulitan mencari lubangnya, ahahahahah."

 Ya ampun, Heti!

Rena bergeleng tidak percaya dengan temannya ini, jujur dia tak memikirkan hal itu, dia berdebar akan hari bahagia itu, hari di mana dia melepas masa lajang dan menikah dengan seorang duda, mendadak dia takut saja untuk menjalani hari-harinya meskipun semua pesan Noah meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja, mereka menjalani hubungan ini secara bertahap, tidak langsung main tikam begitu.

 Tapi, bayangan Heti tak bisa dia salahkan, orang menikah pasti larinya ke sana, tidak mungkin suami dan istri di kamar hanya diam dan tidak melakukan apapun, terlebih lagi pasangannya itu sudah pernah menikah, yang belum pernah saja sampai minta lagi, Rena merinding membayangkannya.

 "Kamu yakin buka hati sama mas dudamu?" Heti meragu.

 "Iya, kenapa tidak?" Rena menoleh. "Masa iya aku tidak mencintai dia, harus kan itu!"

 Heti mengangguk, "Memang harus, kalian menikah untuk waktu yang panjang, jangan sampai hanya nafsu saja yang dipakai, tapi utamakan hati!" dia menepuk dadanya kencang, seolah dia endak mengatakan kalau hati wanita itu mahal, tidak boleh disakiti begitu saja.

 Menjelang hari bahagianya, Rena tak banyak berinteraksi di luar rumah, tugas kantornya juga semakin sedikit, atasannya saja tidak berani menyuruh dia mengerjakan apapun, dia takut dipecat mendadak karena memerintah calon nyonya besar perusahaan ini.

 Angka di lembar kalender semakin lama berubah menjadi merah, Rena yang mencoretnya, menodai hari yang telah terlewat dan membuatnya mendekat pada perubahaan status, dia pusing akhir-akhir ini.

 "Ya, Mas?" dia miringkan kepalanya. "Mas di kantor ini, kok aku tidak tahu, kapan datang?" 

 Diam mendengarkan jawaban calon suaminya, Noah yang penuh akan pengertian sebagai mas dudanya.

 "Oh, iya." diam lagi. "Mau makan di sini atau di mana?" diam lagi, dia mau menawarkan bekalnya. "Ya, kalau Mas mau sih, ehehehe, aku ke sana ya, tunggu!"

 Heti angkat kedua alisnya, dia mau makan bersama Rena sebelum temannya itu resmi resign dan dia kesepian di kantor cabang ini.

 "Mas duda ada di sini, tidak tahu kapan dia datang, katanya mau makan siang bersama, nanti aku bawakan kuenya, biasanya dia bawa, sabar!" Rena tepuk lengan Heti.

 Kaki jenjangnya melangkah ringan, rok span selutut yang Rena kenakan tidak terlalu ketat hingga dia bebas melangkah tanpa takut orang memperhatikan lekuk tubuhnya.

 Tok, tok, tok ....

 "Mas," sapanya, sekertaris di depan ruangan itu sontak berpaling, malu sendiri.

 Noah lambaikan tangannya seraya berkata masuk dan meminta Rena duduk di sofa panjang sudut ruangan itu.

 "Aku cuman bawa cumi sih, kamu mau?"

 Baik, ini terakhir kamu pakai rok, Rena. 

Noah pandangi dandanan calon istrinya itu, mendesah pelan karena itu sudah membuatnya cemburu.

 "Nasinya bagi dua ya, kan Mas diam-diam ke sininya, sini!" dia ambilkan satu sendok dan dia suapkan. "Enak?"

 Noah mengangguk, kedua tangannya bekerja, tapi mulutnya menerima suapan dari Rena, enak kalau ada pendamping, dia jadi merindukan Sarah yang dulu juga seperti ini padanya.

***

 Sebelum pernikahan itu dimulai, Noah berdiam di kamarnya, kamar di mana dulu dia dan Sarah bersama dalam waktu yang singkat, akan tetapi banyak sekali kenangan di sana bagaimana Sarah sangat mengagungkan dirinya, Sarah adalah pribadi yang lemah lembut dan keibuan meskipun belum menjadi ibu.

 "Noah, ayo!" mama tepuk bahu kanan Noah.

 "Sarah tahu ini hal yang akan membuatmu bahagia, dia pasti bahagia di sana karena kamu sebentar lagi tidak akan sendiri lagi, ada teman yang akan mendampingi kamu di masa sulitmu sebagai pimpinan, Nak." mama kuatkan Noah.

 Noah mengangguk, dia harus melangkah ke depan, dia simpan foto pernikahannya dengan Sarah di kotak kecil lemari bajunya, kenangan yang tidak akan pernah dia lupakan meskipun nanti dia jatuh cinta pada Rena seutuhnya.

 Seorang gadis dengan kebaya putihnya tengah duduk dan tertunduk, Rena merasakan debaran yang begitu kuat dan dahsyat hari ini, satu kalimat saja yang Noah ucapkan, maka saat itu juga dia menjadi istri Noah, bukan anak gadis bapaknya.

 Di depannya ada penghulu, bapak dan saksi kedua pihak. Sedangkan ibunya ada di belakang, mendukungnya dengan doa yang tak ada hentinya sejak semalam, Heti pun hadir di aula suci ini.

 "Apa bisa dimulai sekarang?" penghulu itu bersiap membimbing Noah, anggukan itu menjadi pemula yang direstui. "Baik, ikuti saya!"

 Rena lirik tangan bapaknya yang beradu pasrah dengan penghulu, kemudian bergantian tangan Noah di sana, penghulu itu membacakan doa sebelum mengucapkan kalimat sakral dan menghentak tangan Noah.

 "Saya terima nikah dan kawinnya Rena binti Bapak Mukti Sugiono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ujar Noah tegas.

 Sah!

 Semua orang menggemakan kata itu, Rena telah sah menjadi istri dari Noah, doa pun dilangitkan bersama.

 Mas Noah nangis? Kenapa?

"Ayo, kalian tanda tangan surat nikahnya dulu, baru foto berdua yang romantis!" mama memeluk kedua pengantin baru ini.

 Rena tersenyum, dia merasa beruntung karena mengenal mama mertuanya, sosok yang ramah dan hangat pada siapa saja, bahkan Rena merasa seperti bersama ibu sendiri.

 Selepas tanda tangan, Noah mengikuti arahan kang foto yang ada di acara ini, berbagai gaya diambil dan itu semua mengingatkan dia pada Sarah. Air matanya menetes kembali, dia seka cepat sebelum semua sadar, kematian Sarah masih membekas dalam ingatannya.

 "Noah, cium keningnya Rena!" mama dan ibu sudah kompak jadi komando.

 "Ah, iya." Noah tampak canggung.

 Ini kayak bukan Mas Noah deh, dia berubah. Apa karena moment ini buat dia ingat si mantan?

Walau banyak tanya di benaknya, Rena tetap mengulas senyum, dia mengikuti semua arahan yang ada tanpa membantah, bahkan dia membuat semua orang di keluarga besar Noah tertawa riang.

 "Mas," panggilnya.

 Noah menoleh, "Apa?" 

 "Aku mau nasi kuningnya, kok dimakan sendiri sih!" bergaya mau disuapi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status