Sebulan kemudian ...."Lo tetap akan pergi?" tanya Radit pada pria berpakaian dokter di seberang meja.Rasanya sayang saja, dia atau pun Rendra memulai karir di tahun yang sama. Lalu kini, semua harus diakhirk demi orang lain, yang Radit sendiri tak mengerti bagai mana kedudukan mereka di hati Rendra."Ya."Tatapan Rendra kosong ke luar jendela ruangannya. Menatap sebuah amplop di meja yang berisi surat pengunduran dirinya. Ini bukan keputusan mudah. Namun, rasa bersalah memaksanya mengambil keputusan besar ini.Ada dua masalah besar yang menerornya sebulan ini. Meski berpura-pura tak terjadi apapun dan tetap sibuk dengan aktifitasnya sebagai dokter, tak lantas membuatnya tenang. Justru bayangan rasa bersalah semakin menjadi, setiap kali ia ingin melupakan."Hem, ya baiklah." Rendra menarik napas dalam-dalam.Lelaki itu bangkit dengan senyuman di wajahnya. Berbeda dengan Radit yang menatapnya dengan air muka risau. Apa yang akan terjadi di Jakarta nanti? Apa mungkin Rendra bisa memul
Rendra terngiang ucapan sepupunya yang lain."Rend. Kenapa ga kamu coba dekati Novi dan jalin hubungan dengannya? Kalian itu cocok loh." Meylani mengungkap apa yang mengganggu pikirannya selama ini. Ibu beranak dua itu, merasa prihatin pada dua sepupunya, yang juga anak tunggal sepertinya. Bukan hanya keduanya telah kehilangan orang tua, dalam waktu yang sama. Namun, mendapat ujian yang sama, memiliki pasangan yang tak setia.Yah, tentu saja karena rasa empatinya sebagai saudara terlalu besar pada Novi, membuat Meylani tak rela melihatnya terus kesepian. Tak ada lelaki yang mendekatinya atau pun keinginan Novi yang bertekad mencari pengganti Adrian.Lalu sekarang ... wanita itu sedang mengalami luka dalam, lantaran putranya menghilang dan belum ketemu sampai sekarang.Rendra mengusap dagu yang ditumbuhi bulu tipis, sambil mencerna setiap kata-kata yang Meylani ucapkan. "Apa Novi punya pikiran seperti itu?" gumamnya.Pria itu menghela panjang. Mereka kan saudara, seperti keluarga kand
___________"Boleh saya masuk?" tanya Sabil kemudian, pada wanita paruh baya yang tampak syok di depannya.Pria itu tersenyum tipis, ia tetap berjalan masuk melewati ibu Fatma.Ini kebetulan yang sangat kebetulan, saat mereka membicarakan Sabil, pria itu tiba-tiba saja muncul seperti iblis yang mendapat bisikan.Tentu saja firasat buruk dalam sekejap menghampiri. Berharap semoga apa yang mereka pikirkan tak terjadi."Halo ada orang?" tanya Sabil yang masuk begitu saja. "Hem, belum ada yang berubah, semua masih sama."Senyumnya semakin lebar kala melihat pasangan suami istri yang duduk berseberangan di meja makan. Dua orang itu sudah menatapnya. Meski tampak tenang, hati Nabil tengah bergemuruh melihat sosok pria yang menghancurkan hidupnya. Seorang saudara yang tega mempermainkan hatinya. Yah, walau Nabil sendiri akhirnya bahwa dialah yang bodoh, terlalu percaya pada abangnya itu."Wah, wah. Adik dan istriku sedang berbahagia."Nabil meletakkan sendok. Darahnya seketika mendidih, kal
"Ini dia!" Sabil berseru senang."Berkas pernikahan yang sudah kuajukan ke pengadilan. Secara hukum, Halimah adalah istri Sabil Muttaqin. Jadi aku akan memperkarakannya Kalian bersiap saja!" Sabil kembali tersenyum."Apa?!" Mata Halimah dan Nabil melebar karena kaget. Dia dan buleknya pikir pria itu akan memberitahu soal aset milik Nabil yang dipindahnamakan."Apa kamu punya otak?!" maki Halimah. "Jangan marah Sayang, setiap hari kamu tinggal bersamaku. Tapi masa iya lebih memilih Nabil?""Heh ya! Kamu punya iman bukan? Bukannya yang mengucap akad nikah adalah Nabil? Akulah yang tak punya otak, kalau mau tinggal setiap hari bersamamu, Sabil!" Halimah bicara meletup-letup sampai Nabil memeluk bahunya."Oh, jadi ... masalahnya adalah ... akad nikah. Baiklah." Sabil manggut-manggut. "Cepat kamu ceraikan dia Nabil!" Tatapannya berubah ke arah pria di samping Halimah. "Lalu setelah genap tiga bulan aku akan melakukan akad yang sebenarnya."Nabil geleng-geleng. Dia baru melihat wajah asl
Setelah membayar dan membawa bungkusan makanan, Rendra akhirnya memutuskan ke luar. Namun, saat ingat sesuatu pria itu pun berbalik dan bertanya sesuatu ke salah satu waiter."Permisi, Mbak.""Ya, Mas?" Waiter yang tengah sibuk membereskan meja itu menoleh pada Rendra."Mbak, itu yang kerja cuci piring pulangnya jam berapa, ya?" "Oh, siapa? Mbak Fatma? Atau Mbak Nisa yang masuk sift berikutnya?""Ehm. Itu, Fatma.""Biasanya sebelum tamu malam datang, mungkin sekitar sejam lagi." Waiter itu menjawab. "Oh, begitu. Oya Mbak tau tempat tinggalnya?""Siapa?" Mata gadis waiter melebar. "Oh, Mbak Fatma?" tebaknya, karena sebelum ini pria tampan itu menanyakan kapan Fatma akan pulang."Di mess pegawai, Mas. Nggak jauh dari sini, sih.""Oh, begitu.""Maaf, saya harus kembali bekerja." Gadis itu pun berpamitan."Oh, ya. Baik. Terimakasih." Rendra pun melangkah menjauh meninggalkannya.Sebelum kembali ke luar, pria itu celingukan mencari sosok Fatma. Namun, tak terlihat karena ada dinding pen
"Apa kamu mau aku temani malam ini?" tanya Rendra tanpa ragu."Hah?" Fatma melebarkan mata. Tak percaya dan bingung sekaligus. Menolak, tapi takut sendirian. Menerimanya tapi takut fitnah. Karena menemani, artinya Rendra akan menginap bersamanya.Ia tak mengerti kenapa harus selalu ada kondisi yang mengharuskannya berduaan dengan Rendra. Belum lagi ... pria itu juga sempat menciumnya."Halo, Nona!" seru Rendra yang membuat Fatma terenyak kaget. "Ah, maaf tapi ... kita bukan mahram." "Hahaha." Rendra tertawa lepas. Sesuatu yang membuat Fatma mengerutkan kening bingung. Kenapa pria itu malah terbahak. Ini bukan hal yang lucu."Ahm. Sorry, sorry." Tawa dokter muda itu mereda."Ya, Dok. Ini sebenernya nggak lucu. Walau pun saya sedang sangat ketakutan, mana mungkin saya mengizinkan Dokter masuk rumah saya? Kita ini bukan mahram.""Ya. Kamu benar sekali. Tapi maksud saya menemani, bukan dengan cara seperti itu. Maksudku aku bisa tidur di mobil." Kedua tangan Rendra menunjuk ke jalan, se
Mata Sabil melebar, tak percaya akan serumit ini. "Jadi ...?" Pertanyaannya menggantung."Pilih satu dari keduanya. Sebagai Nabil tanpa Ibu Halimah sebagai istri Anda, atau sebagai Sabil tanpa harta milik Nabil.""Ap- apa?!!" Sabil terkejut atas pilihan yang diberikan oleh pengacaranya."Ini tak adil! Justru saya menyewa Anda karena ingin mendapatkan keduanya.""Maaf, Pak. Hidup itu tentang pilihan. Dan hanya itu yang bisa saya tawarkan. Kalau Bapak keberatan dan ingin keduanya, mungkin bisa cari pengcara lain yang mampu mengupayakannya." Pria yang masih memakai setelan jas rapi itu menegaskan pada kliennya.Tidak semua hal bisa dilakukan oleh seorang pengacara. Walau bagaimana pengacara yang Sabil sewa kali ini adalah seseorang yang bukan hanya memiliki dedikasi terhadap pekerjaan, tapi juga idealisme yang wajib dipertahankan."Ya, yah! Oke, oke!""Hem. Tapi saya bisa jamin. Tidak ada yang berani melakukan niat kotor Anda. Bahkan menuruti kemauan Anda sebagai Nabil saja sudah membua
Rendra meletakkan kepala di atas setir mobilnya, menatap pintu rumah kecil yang ditempati Fatma. Pria itu tersenyum menatap cahaya terang di sana. Lalu, ingat bagaimana tadi dia menggantikan lampu remang dengan watt kecil itu.Rendra mengetuk pintu yang sudah tertutup itu pelan. Dari dalam rumah, penghuninya tampak tergesa mendekati pintu karena akan membukanya.Saat dibuka, Fatma tampaknya belum siap untuk menerimanya. Terlihat lengan gamisnya masih tergulung. Sesuatu yang membuat Rendra membuang pandangan ke arah lain, lantaran kulit tangannya yang putih membuatnya gagal fokus."Oh. Maaf." Fatma menarik diri, menyembunyikan tubuhnya di balik pintu agar tak terlihat. Sambil merapikan lengan yang sempat digelung karena aktifitasnya tadi saat berwudhu. "Ah, ya." "Apa? Em. Maksud saya apa yang bisa saya bantu, Dok?" Sejak kejadian tadi, Fatma jadi sangat ramah pada pria itu. Dia bahkan telah memaafkannya sebelum dia meminta maaf lebih dulu."Em, tolong matikan lampu teras ini." Rendr