“Apa golongan darahnya?”Hugo menatap serius ke arah dokter yang ada di hadapannya. Sang dokter pun membenarkan kacamatanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari pria itu. “AB dengan rhesus negatif,” ungkap dokter. Setelah mengatakan itu, raut wajah Hugo berubah menjadi keterkejutan. “Ambil saja punyaku karena golongan darah kita sama,” jawab pria itu. Sang dokter pun mengangguk mantap dan dia segera menyuruh supir untuk menjalankan ambulansnya menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, Hugo terus menatap Angel tanpa berkedip. Hatinya merasa ada yang janggal. Kebetulan, hanya ada mereka berdua di dalam ambulans. Axel dan Elea berada di mobil yang berbeda karena tidak terlalu mengalami luka serius. Axel mengalami retak tulang pada bagian tangan kanannya, sedangkan Elea hanya pingsan akibat pascatrauma kecelakaan. “Halo, Axton. Maaf, aku tidak bisa menghadiri rapat saat ini karena ada urusan yang mendadak. Sebagai gantinya, aku sudah menyuruh asistenku untuk pergi ke tempatmu. Di
“Hah, Daddy selalu saja berkilah. Aku sampai bosan mendengar alasanmu yang itu-itu saja.”Martin menyindir George dengan tatapan remeh. Pria itu sudah setengah kesal menghadapi ayahnya. Dia tahu, kalau George selalu membanggakan Hugo dibanding dirinya. “Bukan seperti itu, Son. Hanya saja…,” balas George, tapi menggantung ucapannya. “Hanya apa, Dad? Aku sudah lelah mengalah dengan Damian sialan itu! Sudah saatnya aku mendapatkan hakku sebagai putra di keluarga Cornelius ini!” bentak Martin tanpa sengaja. Mendengar hal itu, George mengusap wajahnya dengan kasar. “Dengarkan aku, Son. Ak–“ (ucapan pria itu terpotong karena kedatangan Melda secara tiba-tiba).“Kue jahenya sudah siap!” pekik Melda. Mata wanita itu kemudian meneliti dua orang pria yang saling berpandangan dengan intens, hingga membuatnya membuka suara kembali, “Hei, ada apa dengan kalian berdua?”George pun segera memutuskan pandangan dari sang putra, lalu tatapannya beralih pada istrinya. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Bena
“Anak siapa itu, Hugo?!”Hugo dan Angel refleks terlonjak karena mendengar suara George. Kemudian, pria itu pergi ke pojok ruangan dan menjelaskan mengenai apa yang terjadi. “Bisakah pelankan suaramu dulu, Dad? Ada orang sakit di sini,” sergah Hugo.“Aku tidak peduli dengan itu. Sekarang, jelaskan padaku semua apa yang telah terjadi sebenarnya!” tuntut George. Namun, Hugo malah bergeming. Mulutnya serasa memiliki lem yang menempel begitu eratnya. Dia tidak mungkin memberi tahu semuanya. Bisa-bisa, George dan Melda akan langsung datang kemari. Orang tua Hugo masih belum merelakan kepergian Elea. Mereka bahkan sering kali mengingat tingkah laku dari wanita tersebut. Apalagi, Elea digadang-gadang memiliki kemiripan dengan adik Melda yang telah lama meninggal. “Hugo, jawab pertanyaanku!” ucap George yang berhasil memecahkan lamunan sang putra. Hugo pun berdeham pelan. “Aku tidak bisa memberitahu apa pun untuk saat ini. Aku akan kembali besok seperti yang kau mau. Aku tutup dulu,” jaw
Tepat pukul 4 sore, Hugo memutuskan kembali ke hotel tempat dirinya menginap. Dia sengaja tidak menunggu Elea sampai terbangun karena dirinya tahu kalau wanita itu akan memberontak. Belum lagi, pascatrauma yang dialami Elea belum sembuh sempurna. Hugo tidak mau memperparah hal tersebut. “Selamat sore, Tuan. Maafkan saya karena tidak mampu untuk mendapat–“ (ucapan Jay terpotong karena seseorang menyerobotnya). “Ck, lupakan saja. Aku tidak mau membahasnya lagi. Toh, kerja sama itu tidak ada apa-apanya,” potong Hugo cepat. Kemudian, pria itu mulai melepas jas hitam yang membungkus tubuh kekarnya. Dengan sigap, Jay meraih jas tersebut dan hendak membawanya untuk dicuci. Namun sebelum dirinya beranjak, sebuah suara membuat pria itu refleks berhenti. “Besok, aku akan kembali ke Los Angeles … bersama Elea.”Mendengar itu, Jay sontak menoleh ke arah Hugo. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang kentara. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otaknya. “Bagaimana bisa? Apa Anda su
“Aku akan mempertemukanmu dengannya nanti. Dia masih istirahat sekarang.” Mata Hugo masih mengawasi Axel dengan intensnya. Sementara itu, Axel yang ditatap seperti itu pun langsung menunduk seketika. Dia tiba-tiba menjadi takut sekali dengan Hugo. Padahal, terakhir kali dirinya bertemu, dia tidak merasakan hal ini. Menurutnya, aura yang ditunjukkan oleh pria itu sekarang sangatlah menyeramkan. Hugo lantas berdiri dan hendak beranjak keluar dari ruangan. Namun sebelum pergi, dia mengatakan sesuatu yang cukup menohok perasaan Axel. “Jangan jadi anak laki-laki yang cengeng!”Setelah mendengar itu, Axel pun menjadi terdiam seribu bahasa. Bahkan, saat Pamela menuntunnya kembali ke ranjang, dia tidak memberontak sama sekali. Namun, jiwa dalamnyalah yang memberontak.“Tuan Muda, ayo sudah waktunya min–“ (ucapan Pamela terpotong karena seseorang menyelanya). “Ak–aku mau pulang. Aku tidak suka di sini. Aku takut …” lirih Axel. Namun, dia tidak menangis sekarang. Entah apa yang terjadi. Sep
“Tidak! Kau pasti tidak akan melakukan itu. Kau pasti bohong!”Elea meracau tak karuan. Bahkan sekarang, air matanya sudah turun tanpa diundang. Dia merasa bahwa kehidupan sudah tidak lagi memberinya keadilan. Sementara itu, melihat Elea yang menangis, hati Hugo langsung tersentil. Dia tidak tega saat mendapati wanita yang dicintainya menitihkan air mata. Dia ingin sekali mendekap tubuh lemah Elea sekarang. “Kenapa kau selalu tega padaku? Apa salahku padamu? Apa tidak cukup dengan kepergianku dulu? Atau aku harus meregang nyawa terlebih dahulu untuk membuat hidupmu tenang?!” sergah Elea. Hugo yang hendak melangkah pun langsung mengurungkan niatnya. Pria itu cukup tertegun dengan perkataan Elea barusan. Bagaimana bisa wanita tersebut mengatakan hal tak masuk akal seperti itu? Jangankan meninggal, Hugo saja sudah dibuat gila saat kepergian Elea. “Ketenanganku bukan soal kepergianmu. Ketenanganku adalah disaat kau kembali lagi padaku,” timpal Hugo yang akhirnya mampu untuk berucap.
Peluh mengucur deras dari dahi sampai ke pelipis Miranda. Wanita paruh baya itu baru saja mendapat telepon kalau Elea dan kedua anaknya kecelakaan. Dia sebenarnya tengah menahan amarah karena pihak rumah sakit tidak langsung menghubunginya. Alhasil, dirinya telat beberapa jam untuk mengetahui keadaan keponakannya. “Di mana korban kecelakaan di lampu merah kemarin?” tanya Miranda pada seorang perawat di meja resepsionis. Namun bukannya menjawab, perawat yang bernama lily itu malah terlihat kebingungan. “Korban kecelakaan kemarin? Maaf, Nyonya. Apakah Anda kerabat dekat dari korban?” tanya Lily memastikan. Mendengar itu, Miranda refleks menganggukkan kepala. “Ya, aku adalah Bibi dari Elea, wanita yang jadi korban kemarin,” jelasnya. “Maafkan saya, Nyonya. Tapi, Nyonya Elea beserta kedua anaknya sudah keluar dari rumah sakit ini sejak kemarin malam,” terang Lily dan berhasil membuat raut keterkejutan yang jelas di wajah Miranda. “Si–siapa yang membawa keponakanku? Seperti apa ciri-c
“Da–ddy.”Axel mencoba memanggil Hugo dengan sebutan yang tak pernah dia ucapkan selama hidupnya. Alhasil, suaranya pun terbata-bata layaknya anak yang baru saja belajar bicara. Sejujurnya, Axel ingin bertanya pada Hugo, mengapa dirinya harus memanggil pria itu dengan sebutan daddy? Apa ibunya akan menikah dengan Hugo? Memikirkan itu, kepala Axel jadi pusing sendiri. Jika benar itu terjadi, maka habislah riwayatnya. Mungkin, dia tidak akan bisa lagi hidup dengan tenang. Pasti Hugo akan sering mengaturnya dan tidak membiarkannya bebas. “Apa yang kau pikirkan, Boy?” tanya Hugo dan membuyarkan lamunan Axel. Kemudian, pria itu menurunkan anak tersebut dengan perlahan ke kursi kosong yang ada di samping Elea. “Tidak ada, Pa–ah, maksudku Daddy,” jawab Axel. Mendengar jawaban tersebut, Hugo merasa puas. Namun berbeda dengan dirinya, Elea justru membulatkan matanya sedikit. Dia merasa terkejut karena putranya begitu cepat untuk memanggil Hugo dengan sebutan daddy. Menurutnya, itu adalah