Home / Rumah Tangga / Membalas Mertua dan Suamiku / Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku

Share

Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-05-18 09:47:33

Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku

“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.

Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.

“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.

Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.

“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang melayang. “Uangnya tidak ada, bagaimana mau beli lebih.”

Setelahnya, aku beranjak menuju dispenser air dan menuang segelas untuk diri sendiri. Kemudian, mendekati meja makan yang sudah terhidang nasi uduk serta ayam penyet milikku.

Ah, aku kelaparan serta kelelahan. Tapi masih harus menjelaskan kenapa hanya beli sebungkus makanan pada orang-orang yang tidak sadar diri itu.

“Masa tidak cukup? Kamu kan ....”

“Apa, Bang? Mau ngungkit nafkahmu buatku?” sambarku cepat. “Nafkah lima belas ribu itu?”

“Tiap bulan aku beri kamu uang. Pakai saja uang itu untuk membeli makan. Apa susahnya beli lebih?”

“Bang, harga sebungkusnya saja delapan belas ribu rupiah, sedangkan uang harianku dari Abang cuma lima belas ribu. Kalau Abang dan Ibu mau makan juga, kalikan saja delapan belas ribu dengan tiga, totalnya lima puluh empat ribu. Itu untuk satu kali makan!” jelasku tanpa mundur meski hanya selangkah. “Uang makan saja lima belas ribu, tapi minta beli makanan enak tiap hari. Mimpi, Bang!”

Bang Agam terdiam sejenak. Keningnya yang bersih berkerut sampai alisnya hampir bertaut.

Kepala pintarnya itu pasti tidak pernah menghitung sampai sebegini, kan? Tapi, mana mungkin dia sama sekali tidak tahu, mengingat tempatnya bekerja dan lingkungan yang dihadapinya di luar sana. Pastilah Bang Agam tahu betapa mahalnya barang-barang sekarang dan menutup mata akan kondisiku di rumah ini.

“Kenapa, Bang? Kaget? Jangankan dapat nafkah yang layak seperti istri orang lain, makan saja seringnya hanya sisa. Jatahku lima belas ribu, kalau Ibu dua belas juta. Luar biasa.”

Aku menghela napas setelahnya. Sungguh buruk sikapku pada Bang Agam.

Kududukkan tubuh di kursi, lalu mulai menata menu makan malamku yang sungguh lezat ini. Sesuap demi sesuap aku mengisi perut sendirian, membiarkan Bang Agam menatap dengan ekspresi marah, serta ibu mertua yang terus tersedu.

Dua anak-beranak itu terus memeragakan lakon paling terluka di hadapanku, seakan seluruh dunia dan seisinya merundung mereka secara bersamaan. Terlebih, sikap Bang Agam yang berbicara begitu lembut pada ibu mertua, menyalahkan diriku yang tega membuat mereka kelaparan hingga malam hari.

Di meja luas itu, aku sendirian. Sebungkus nasi uduk tidak lagi menggugah selera. Aku berdosa karena membentak Bang Agam, menyakiti perasaannya juga menyinggung ibu mertua.

Air mataku berjatuhan, tidak memberi peringatan. Bagi dua orang yang seharusnya bersikap hangat malah sibuk menyalahkanku di ruang tamu, hingga membuat sesalku barusan menguap begitu saja.

“Nanti Agam yang akan mengajari Ima lagi, Bu. Memang kelakuannya sudah kelewatan selama ini.”

“Iya, Gam. Ibu sedih, Gam. Ibu lapar tapi Ima malah meninggikan suaranya di depan Ibu. Kenapa kita tidak dibelikan juga, Gam? Padahal selama ini kamu beri uang untuk Ima. Ke mana uang-uang yang kamu beri itu, Gam?”

Sayup-sayup aku mendengar Ibu Mertua dan Bang Agam berbicara. Suara keduanya cukup keras, memantul jelas ke dapur rumah nan luas ini.

Meski demikian, aku menutup mata, menghabiskan makanan yang baru saja kubeli. Mengabaikan perkataan lain dari Bang Agam pada Ibu mertua hingga makan malamku usai.

Satu jam berlalu usai insiden tersebut. Aku baru saja mandi dan mengganti pakaian dengan piyama yang sudah pudar warnanya.

Mengayun kaki keluar dari kamar, sorot mataku beradu dengan kehadiran ibu mertua di ruang tamu. Beliau duduk sendirian, menghitung rentengan emas yang melilit lengan. Sepanjang mata memandang tidak terlihat sosok Bang Agam, bahkan di kamar kami juga dia tidak muncul sejak tadi.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam gelang emas nan tebal ... belum termasuk cincin yang ditatanya di atas meja hingga seperti toko emas kecil-kecilan. Sungguh, hatiku panas hingga hampir meledak.

Dulu, tidak pernah kudapati ibu mertua menyimpan emas sebanyak ini. Setelah tinggal bersama kami, Ibu Mertua jadi glamour, menyukai emas lebih dari apa pun, meski itu berarti harus menghancurkan rumah tangga kami. Perihnya lagi, dia tidak peduli.

“Eh, Ima! Sini, Ibu mau tunjukkan sama kamu gelang yang baru saja Ibu beli tadi, Ma. Kata penjualnya, ini model baru.”

Sinis aku tersenyum. Relung dadaku memberontak, ingin sekali menyerukan rasa sakit yang selama ini tersimpan rapi di dalamnya.

Emas Ibu Mertua ratusan gram jumlahnya, sedangkan aku tidak mampu mengganti piyama atau daster dengan yang baru jika menunggu pemberian dari Bang Agam. Bahkan celana dalam dan bra sudah kendur hingga memalukan untuk dijemur.

“Bagus, Bu. Sering-sering beli!” balasku sembari nyengir lagi.

Aku berniat menyindir ibu mertua, tapi beliau merespons, “Iya, bulan depan nanti Ibu beli lagi, tunggu Agam gajian dulu. Kata yang jual, bulan depan sudah keluar model lain yang lebih bagus.”

“Apa?” Aku berseru.

Tidak cukup bulan ini beliau meminta emas pada suamiku, sekarang beliau ingin meminta dibelikan lagi bulan depan? Tidak hanya saat Bang Agam menerima bonus, tapi setiap gajian?

“Iya, Ima. Agam gajinya besar, bisa belikan Ibu emas. Aduh, Ibu senang sekali punya anak seperti Agam. Kamu juga harus bersyukur karena Agam yang jadi suamimu, hidupmu jadi enak, Ma. Besarkan anak kalian nanti dengan baik juga, biar hidupmu sama kaya Ibu pas sudah tua. Tinggal menikmati saja, Ima.”

“Ya Allah!” sahutku. “Sungguh, aku bersyukur sekali, sampai rasanya mau nangis, Bu.”

“Nah, itu ....” Ibu mertua tidak melirik ke arahku. Beliau tersenyum cerah, masih sibuk dengan dunianya yang keemasan itu sampai tidak sadar jika aku sedang menyindir dirinya.

“Oh ya, Bu. Apa dulu Bapak juga begitu, membelikan mertua Ibu emas setiap bulan? Apa sampai menghabiskan semua gaji untuk beli emas? Apa Ibu dapat uang bulanan empat ratus ribu sebulan?”

Berkata demikian, aku berjalan dengan belagu ke arah ibu mertua. Lidahku bersilat kasar sebab sakit hati yang terus-menerus mendera.

Memang beliau tidak memukuliku, tapi sikapnya juga tidak lebih baik dibanding ibu mertua yang memukuli menantu mereka. Siang dan malam tiada jeda, setiap kali bibir ibu mertua terbuka yang keluar hanya kata emas dan emas semata.

“Tidak, mana mungkin begitu. Kalau setiap bulan bapaknya Agam membelikan emas untuk ibunya, sudah pasti Ibu akan protes. Lagian, uang empat ratus ribu mana cukup untuk beli makan!”

“Terus, kenapa Ibu lakukan hal itu padaku dan Bang Agam?” balasku kembali saat sudah berdiri di depan beliau.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Asih Sekarsari
ini cerita keterlaluan...sebego2nya perempuan inimah sangat33333x bego..author terlalu mendramatisir ada perempuan 3 thn dikasih dsegitu nasih diam...aneh
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
rasain jdi wanita bodoh ,ini kisah othor pembodohan terhadap wanita kisahnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Membalas Mertua dan Suamiku   (TAMAT) Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 38: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 37: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 36: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status