Widya merasa jauh lebih segar setelah mandi, sisa-sisa tenaganya akibat terkuras bersama Sam karena Bercinta sepanjang malam, kini berangsur pulih tersirat dari wajahnya yang ceria. Andai tidak karena keharusan untuk segera mendatangi suatu tempat bersama Sam, Widya masih betah berleha-leha di atas pembaringan, bergumul bersama Sam di bawah selimut yang sama.
Widya memutuskan tetap mengenakan pakaian kemarin sore; celana denim mini, kaos ketat tanpa lengan, dan jaket denim yang akan ia kenakan ketika di luar ruangan.
Sudah menjadi ritual khusus bagi perempuan berambut panjang seperti dirinya, Widya memerlukan waktu untuk mengeringkan rambutnya terlebih dahulu sebelum merias wajah alakadarnya. Duduk di tepian tempat tidur menghadap layar televisi, Widya terpancing ingin melihat acara televisi, sekedar mengundang suasana gaduh di dalam kamar agar tidak sepi selagi Sam di kamar mandi.
Layar televisi menampilkan stasiun T
Widya menebar pandang ke semua sudut pekarangan Rossline sejauh jangkauan penglihatannya. Pagar setinggi pinggang orang dewasa melindungi bagian depan Rossline, sedang dinding pagar di kiri-kanan Rossline berdiri kokoh tak kurang setinggi dua meter. Meninjau luasnya pekarangan Rossline, Widya menaksir pelataran Rossline memiliki luas lebih dari setengah luasnya lapangan sepakbola. "Sam, kita benar-benar akan memasukinya?" Widya mengamati bangunan di hadapannya mulai dari bawah hingga atap yang meruncing di atas sana. Widya perlu menengadah melihat puncak atap Rossline itu. "Kamu takut?" Sam menoleh-menatap ke wajah Widya yang nampak terpesona sekaligus terprovokasi-seram oleh bentuk bangunan Rossline. "Aku lebih suka menunggumu di hotel andai boleh memilih, Sam." "Mr. Ben seorang pengagum Borobudur. Seluruh bahan bangunan di hadapanmu itu seluruhnya dari batu," alih Sam. Widya me
Diikuti Tyo dan dua kawannya, Burhan memimpin rombongan kecil, mereka tergesa memasuki Rossline Pananjung, namun belum setengahnya memasuki ruangan Rossline yang luas itu, Burhan mengangkat sebelah tangan mengisyaratkan berhenti pada yang mengikutinya. "Tadi kita sudah ke sini. Dan gedung ini tak memiliki ruangan lain, Burhan! Utuhnya papan kayu penutup pintu pagar yang kamu rusak tadi itu, sebenarnya petunjuk kuat bahwa tidak ada yang memasuki gedung ini!?" protes Tyo. "Tadi waktu kita datang ke sini, tidak menemukan Landcruser di depan sana itu! Sekarang terbukti, mereka ada di sini!" "Kendaraannya tak terbantahkan, tapi orangnya? Mana mereka?" debat Tyo. "Bung, kalian lihat itu!?" kawan Burhan sang Pengemudi bersuara, telunjuknya menuding dua pasang jejak kaki berbeda terpatri pada lantai batu yang berdebu. Semua serempak memperhatikan jejak kaki di lantai, jejak kaki menuju k
Belum hilang keterkejutan Widya ketika Sam meninggalkannya seorang diri di dalam ruang rahasia kemudian tak lama masuk lagi memapah tubuh Tyo yang tidak sadarkan diri, kini berselang menit kemudian Sam kembali keluar dan masuk lagi membawa tubuh Burhan, juga tak sadarkan diri dengan bagian wajah berlumuran darah. "Sam! Kamu apakan orang-orang ini?" Widya tidaklah senang mengetahui dua orang yang sedang memburu dirinya hadir di hadapannya dalam keadaan tak berdaya, bagi Widya itu justru menambah beban ketakutannya merasa diburu dosa atas nyawa orang lain. "Dua orang ini hanya pingsan. Tidak mati," tukas Sam sembari berupaya menduduk-kan tubuh Burhan bersandar pada dinding sejajar dengan Tyo berjarak satu meter yang lebih dulu diduduk-kan tanpa kesadaran. "Tapi itu, Sam? Mulut Burhan berdarah begitu? Tidak-kah parah lukanya?" Sam tak bersahut, matanya mencari-cari sesuatu, tak ada yang menarik p
Sam menempelkan telinga kanannya ke dinding dekat celah-sambungan pintu rahasia yang merupakan dinding pembatas dengan ruang bawah tanah pertama. Berdetik-detik Sam menajamkan pendengarannya, namun ia tak lagi mendengar adanya suara dari gerakkan. Sam mempertimbangkan keluar untuk memastikan ada berapa orang di ruangan sebelah namun memperhatikan perhatiannya pada gerakkan kelemahan Tyo yang mulai terlihat. Sam merangsek mendekati Tyo dengan melewati Burhan terlebih dahulu. Di dekat Tyo, Sam menempatkan tubuh dengan sebelah siku siku ke lantai dan lutut lainnya menopangtnya.
"Kamu berada di ruangan tersembunyi, Burhan! Sekeras apapun suaramu berteriak, tidak akan ada yang mendengarmu!" Sam berjongkok di depan Burhan. "Benarkah kamu sepengecut ini, Sam? Mengikat kaki dan tanganku? Menutup mataku? Menyumpal mulutku?" "Kain itu berguna menahan darahmu. Nyatanya lidahmu masih dapat mengeluarkan kain penyumpal mulutmu?" "Lantas apa maumu,Sam? Sampai aku diperlakukan seperti ini?" "Mauku? akui apa yang aku dengar dari Tyo, soal Bos-mu. Dance. Benarkah Dance yang merencanakan semua ini?" "Merencanakan apa?" "Percuma kamu tutupi Bos-mu, Burhan. Tyo sudah menceritaiku bagaimana dia bisa dilibatkan ikut denganmu mengejarku. Andai aku tidak mengeluarkan Widya dari hotel, mungkin aku sendiri tak akan pernah tahu, kamu disuruh Dance mencarikan orang untuk teman Mr. Ben, juga kamu disuruh menyamar jadi pelayan hotel untuk mengganti semua
"Bagaimana, Sam?" Widya nampak cemas sekaligus senang mendapati Sam kembali. "Kita keluar sekarang!" kata Sam tapi kedua tangannya meraih cermin mengembalikannya ke tempat semula menggantung pada dinding kemudia ia menyambar kotak besi, "ayok cepat!" Sam mengapit kotak besi di tangan kanannya sedang tangan kirinya menuntun tangan Widya. Widya mengimbangi langkah cepat Sam serasa diseret keluar dari ruang rahasia hingga menaiki anak tangga, setelah tiba di puncak anak tangga Sam berhenti sejenak memperhatikan Tyo yang baru saja keluar melewati pintu utama Rossline. "Ke sini!" Sam menuntun Widya berjalan cepat-merapat ke dinding sisi kanan Rossline menuju bagian muka gedung. Widya terus mengikuti Sam tanpa sedikitpun tubuhnya melakukan penolakkan. Widya berserah sepenuhnya kepada Sam apa pun yang harus ditempuhnya. Di muka Rossline, Tyo lebih mempercepat langkahnya karena beban tub
Baru setengah perjalanan ditempuh dari Rossline Pananjung menuju hotel tempat Widya menginap bersama Sam, Minivan melintasi jalan tepian pantai Pangandaran yang sepi, di kiri-kanan jalan tergelar lahan kosong ditumbuhi pohon kelapa jarang-jarang dengan hamparan rumput liar dan semak belukar. Tyo tak lagi cepat melajukan Minivannya, sedari ia duduk berdekatan dengan Widya, mata Tyo tak henti mengerling nakal pada Widya di sebelahnya. Kulit Widya yang belum bersih dari sisa keringat akibat suhu ruang rahasia menjadikan kaos putih ketat tanpa lengan yang dikenakannya terlihat transparan hingga memunculkan bayangan Bra di dalamnya. Rambut Widya tak beraturan kian menggugah gairah berahi Tyo. Tadi Tyo telah menyaksikan dengan mata sendiri, Widya nampak akrab sekali dengan Sam. Kenyataan itu sungguh sulit ia terima. Sejak kali pertama jumpa dengan Sam, telah tumbuh benih cemburu direlung Tyo, terlebih sekarang setelah tahu Widya begitu mempercayai S
Masih didera rasa sakit disekujur tubuhnya setelah dipecundangi oleh Sam, Pengemudi dan temannya baru saja berhasil membebaskan Burhan dari ikatan. "Kalian berdua tidak bisa membekuk Sam sialan itu?" umpat Burhan setelah tubuhnya terbebas dari ikatan. "Apakah kamu dan Tyo tadi di dalam sana mampu membekuknya? Kalian berdua pun tadi dipecundangi Sam?" bela Pengemudi. "Haish, Tyo sialan itu, jangan sebut namanya di depanku! Pengkhianat! Aku dijatuhkannya dari atas Minivan serupa karung kosong aaja. Di mana dia sekarang?" "Dia membawa lari kendaraan kita." "Aku tahu. Tapi kamu bisa mengetahui keberadaannya, bukan? Minivan itu ada GPS nya, kan?" Burhan mencak-mencak tak keruan. "Oh, ya, ada," Pengemudi seperti baru tersadar. "Lekas periksa di ponselmu!" titah Burhan. "Dia belum jauh ternyata? Sekitar dua kilometer dari si