Mendengar ucapan istrinya seperti itu Gara sedikit tercengang. Dalam pikirannya, benarkah Mia sudah berbicara seperti itu pada ibu? Padahal selama ini Gara mengenal baik Mia. Istrinya ini adalah wanita yang lembut dan penyabar. Lalu dia langsung bertanya, “Kamu bicara seperti itu pada ibu?” Mia menggelengkan kepalanya, “ Enggak kok, cuma di dalam hati saja. Mana mungkin juga Mia tidak bicara sopan pada ibu. Biar bagaimanapun, aku tidak akan mungkin berbicara seperti itu. Terus apa bedanya Mia dengan ibu kalau begitu, kan?”Gara ingin tertawa jadinya, dia mengira jika istrinya benar-benar sudah bicara kasar seperti itu pada ibunya. “Terus, tadi bicara apa saja?”Saat Gara di kamar mandi tadi Mia melihat ponselnya berdering. Saat diperiksa, ternyata itu adalah ibunya yang memanggil.Itu sebenarnya Mia ragu untuk menjawab panggilan, tapi tidak bisa dipungkiri jika hatinya memang selalu merindukan ibunya. Rindu bukan karena telah lama tidak bertemu. Tetapi merindukan sentuhan tangan dan
"Iya. Nanti kapan-kapan ibu akan meminta maaf pada suamimu. Sekarang, bisakah ibu minta bantuan kamu dulu, Mia?" Jawab ibu terdengar begitu berterus terang jika perlu bantuan."Iya bu, bantuan apa? Kalau masalah biaya berobat ayah, tidak perlu khawatir. Suamiku sudah berencana untuk membawa ayah berobat ke rumah sakit besar dengan dokter spesialis agar Ayah sembuh dan tidak kambuh-kambuh lagi."Itu sudah pasti, Mia memang sudah pernah merundingkan ini dengan suaminya. Tujuan utama agar ayahnya bisa sehat kembali tanpa harus bolak balik berobat rutin bulanan. Tujuan yang kedua, Mia bisa menebak jika suatu hari nanti sakit ayahnya, bisa menjadi alasan Ibu dan saudaranya untuk memanfaatkan suaminya. Tentu saja Mia tidak ingin itu terjadi.Disamping dia ingin Ibu dan saudaranya sadar, agar bisa sedikit menghargai apa arti kekeluargaan tanpa harus memandang kedudukan dan uang, di samping itu juga, dia tidak ingin Gara salah paham jika sampai di manfaatkan oleh mereka. Sebagai istri, Mia
Iya, suami Dinda benar pengusaha. Tapi kalimat hanya orang kepercayaan, ditambah Perusahaan cabang kecil Gara, itu sudah cukup menjadi semacam kata hinaan halus dari Mia untuk suami Dinda yang ibu bangga-banggakan sampai rela berhutang kesana-sini.Dan kenyataan memang seperti itu adanya, selama persiapan pesta sampai pesta berakhir, seperak pun yang namanya Alex belum memberi bantuan kepada pihak keluarga wanita."Ya sudah, Mia. Ibu mau coba ngomong sama Dinda dulu." Suara ibu lemas, menutup panggilan tanpa sempat mengucapkan salam.Lemas sudah tubuh Bu Rita. Apa yang dikatakan oleh Mia tadi semua benar.Malu jika harus meminjam uang pada Gara, menantu yang dihina semasa ada di rumah ini.Penyesalan Bu Rita, kenapa tidak berbaik sedikit saja pada Gara kala itu? Kalaupun tidak suka setidaknya jangan diperlihatkan. Mungkin saat ini dirinya akan aman.Ada tempat meminta atau untuk menghutang.Terus sekarang dia mau kemana?Mana sejak pagi tadi Bibi Wati terus menelponnya. Puluhan kali t
"Minum, sayang.." Gara mengulurkan Jus jeruk dingin untuk istrinya."Sudah selesai ya?" Mia mulai terlihat lelah."Sudah. Capek ya?"Mia mengangguk manja."Nanti malam, aku bisa pijitin. Pijat Plus-plus malah." Suara Gara menggoda di sisi telinga Mia.Mia tersenyum malu, sambil mencubit kecil pinggang suaminya.Setelah memastikan semua selesai,kemudian mereka berganti dan bergegas pulang.Riko yang setia, mengantar mereka sampai ke apartemen.Begitu sampai di kamar, Mia langsung mandi dan selesai mandi dia ambruk di atas ranjang. Seharian ini, dia benar-benar merasa lelah.Gara hanya tersenyum melihatnya dan bergantian melangkah ke kamar mandi.Malam ini mereka tidur dengan keadaan bahagia.Pagi harinya, Gara terbangun karena merasa geliatan tubuh yang sedang dipeluk.Dia memijat kepalanya yang terasa sedikit pusing. Mungkin karena semalam mereka terlalu bersemangat, hingga baru tidur lewat tengah malam setelah urusan dewasa mereka selesai.Gara duduk sambil mengamati wajah Mia yang
Sebagai seseorang yang sudah cukup lama berada di dunia bisnis, tentu saja Gara sudah paham. Apalagi ini adalah detik-detik hari menuju peresmian pernikahannya.Apalagi saat ini, Gara belum sempat menempatkan beberapa penjaga khusus untuk menjaga Mia. Dia harus waspada dulu. Tidak ingin ada sesuatu yang bisa saja terjadi diluar dugaan, sampai pesta besar mereka nanti.Setelah itu Gara berencana akan membawa Mia untuk tinggal di rumahnya yang penuh pelayan dan penjaga."Gara, kamu tidak pergi kerja hari ini?""Hanya setengah hari. Ada pertemuan penting. Jika tidak, aku sebenarnya malas. Hari ini aku ingin seharian bersamamu."Wajah Mia merona ,merasa sangat diagungkan oleh suaminya."Aku mandi dulu." Gara bergerak untuk mengambil handuk.Sementara Mia masih dengan balutan selimut mengambil ponselnya.Ada banyak panggilan tak terjawab. Mia menggelengkan kepala ketika melihat jika sebanyak itu adalah panggilan dari Ibu. Kemudian dia membuka pesan Chat.Ibu mengiriminya pesan, kembali mem
"Apa Gara mau menangkap kita ya bu.?" Bisik Silvia penuh kecemasan."Menangkap kita bagaimana? Memang kita punya kesalahan apa?' bisik ibu kembali. Hatinya juga susah berdebar tak karuan."Kan kita sering menyakiti mereka dengan hinaan. Siapa tagu Gara tidak terima.""Iya ya. Ya Ampun, bagaimana ini?" Ibu sudah pucat."Bagaimana Pak, Bu?" Pria itu kembali bertanya."Ini maksudnya bagaimana ya? Menjemput untuk apa?" Wibowo yang bertanya."Jadi begini, Besok adalah hari dimana pesta pernikahan Tuan Gara dan Nyonya akan digelar. Jadi pihak keluarga Nyonya sudah harus ada di sana malam ini, untuk persiapan besok agar tidak terburu-buru."Hah! Ibu dan Silvia melompong. Baru saja ingin bertanya lebih lanjut, ponsel ibu berdering, kontak atas nama Mia yang memanggil.Ibu buru-buru mengangkat.“Mia," suara ibu menyapa begitu Lembut.Mia hampir tidak percaya."Bu, apa orang suruhan kami sudah datang?""Iya. Ini mereka ada di rumah. Maksudnya bagaimana?""Oh, begini Bu, kalian ikut saja ya kesini
"Ayah," Mia meraih tangan ayahnya dan mencium beberapa kali lalu memeluk Wibowo.Rita menurunkan kedua tangannya yang masih menggantung di udara dengan tatapan hampa. Kemudian menelan senyum pahitnya sendiri."Terima kasih sudah mau kesini ya, ayah." Ucap Mia sambil melepaskan pelukannya."Sama-sama, nak. Kami yang sudah merepotkan kalian.""Enggak kok. Ayo, ayo." Mia menarik tangan Pria yang sudah nampak tua itu tanpa memperdulikan kehadiran Silvia dan Farhan. Padahal Silvia juga ingin disambut tangannya oleh adiknya yang sekarang cantik jelita bak putri kerajaan itu."Kalian duduk disini dulu. Aku panggil Gara. Dia sedang di ruangan kerja. Sebentar ya…" Mia berlari kecil menyusul suaminya.Mereka duduk di Sofa empuk dengan Televisi sebesar bioskop di hadapan mereka.Silvia memutar kepalanya. Rupanya Apartemen seperti ini bentuknya.Walaupun hanya satu lantai, tetapi memiliki luas yang lebih besar dari rumah ibu. Dilengkapi ruangan dapur khusus yang cantik dan ruangan lain yang ent
"Iya sih. Tapi kan tidak seenak masakanmu." "Maklum lah, kan baru-baru memasak. Kalian masih ingat tidak, pertama kali aku belajar memasak, kalau tidak salah bertepatan aku masuk sekolah. Ibu menyuruhku memasak sebelum pergi sekolah. Masakanku sama sekali tidak enak. Kak Silvia sampai memuntahkan makanan. Lalu ibu marah dan membuang semua masakanku. Wajar, kan baru belajar. Tapi karena setiap hari aku memasak, lama kelamaan jadi enak juga. Saking enaknya, harus aku yang memasak Setiap hari. Sampai kalau kalian mau nasi goreng tengah malam saja, bangunin aku untuk masak nasi goreng untuk kalian.. ingat kan?"Mendengar perkataan panjang Mia, raut ibu yang tadi mulai tenang, berangsur memerah kembali. Mia sepertinya bukan sekedar ingin bercerita tentang masa lalu, tetapi seperti sengaja menyindir masa lalu. Masa lalunya yang kurang menyenangkan.Silvia juga menyesal, kenapa harus bercerita segala? Seharusnya tidak perlu, Mia jadi menyinggung masa lalunya. Masa lalu yang tidak indah saat