Share

Bab 3

“Tidak salah lagi, maksudnya. Ya, masihlah, Ye, masih jauh dari nyawa ini,” ceplos Haneul seenak jidat.

Yeona menghela nafas yang beberapa menit telah tertahan di dada. Yeona mendengus kesal lalu konsentrasi lagi menghadap ke depan.

“Ye, sebenarnya perempuan tua ini siapa?” Tanya Haneul saat mobil berhenti di lampu merah.

“Dia, pembantu di rumah suamiku dulu,” sahut Yeona sekilas memandang ke belakang.

“Oh,” ucap Haneul singkat.

Sejak belakangan ini jika Yeona berbicara tentang suami, nafas Haneul menjadi sesak. Dari situlah Haneul yakin kalau dia sudah kenal dengan cinta sesungguhnya.

* * *

Mobil Yeona terparkir tepat di teras ruang ICU, tim medis dengan cepat membawa hospital bad mengarah pada mobil Yeona.

Yeona membuka pintu, Haneul mengangkat punggung Asih. Di bantu dengan dua tim medis, akhirnya Asih kini sudah terbaring di hospital bad. Asih di bawa tim medis untuk di rawat.

“Han, Aku masuk dulu, ya, isi formulir dulu,” ucap Yeona memandang Haneul. Haneul mengangguk.

Yeona masuk, dia tanda tangan di atas dua lembar kertas. Ada beberapa tempat yang harus dia tanda tangani guna bertanggung jawab atas pembayaran perawatan.

Yeona menoleh ke samping, terlihat Asih masih di rawat. Ada perawat yang membersihkan luka, ada yang mengusap-usap sebuah kapas di punggung tangannya untuk memasang infus, ada juga yang mondar-mandir mencari sesuatu.

“Terima kasih, Mbak,” ucap wanita muda di hadapannya sambil mengambil kertas formulir yang baru saja di tanda tangani oleh Yeona.

“Sama-sama,” sahutnya.

Yeona kembali ke luar, celingukan mencari Haneul di teras. Ternyata Haneul masih duduk bersama seorang satpam di pos dekat pintu gerbang.

“Haaan,” teriak Yeona dengan kedua telapak tangan menutupi kedua sisi bibir.

“Haaan,” teriaknya lagi. Yeona kesal karna Haneul tak kunjung dengar.

Yeona menghubungi Didin, seorang keamanan yang ada di rumahnya. Didin di perintahkan untuk menjaga Asih di sini.

“Balik gak, kamu?” ucap Yeona saat panggilannya beralih pada Haneul.

“Balik, ih,” sahut Haneul kesal.

Haneul berlari kecil menuju Yeona berdiri. Keduanya sama-sama masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan halaman rumah sakit.

* * *

Yeona berlari kecil menuju ke dalam kantor, karna dia tadi mengantar Asih ke rumah sakit dan balik lagi ke kafe mengantar Haneul, dia melampaui jam izin kerjanya.

Bruk!

“Aduh.” Yeona terjatuh, dia menabrak seseorang.

“M-ma-“ ucapannya terhenti saat matanya sudah menatap sepasang mata seseorang yang ada di hadapannya.

Dareen!

Dareen kembali lagi ke Indonesia setelah tiga tahun lamanya dia tinggal di luar negeri, memegang sebuah perusahaan milik sang ayah.

Yeona terperangah, dia merasa gugup saat tersadar bahwa yang di hadapannya sekarang ini adalah mantan suaminya.

Yeona mendehem, menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga. Dengan santai Yeona berjalan menuju kantor.

Dareen terpaku menatapnya. Kini Yeona menjadi jauh lebih cantik ketimbang saat Yeona menjadi istrinya dulu.

* * *

“Ye, persiapkan jadwal rapat dan dokumen penting lainnya untuk lusa,” ujar Queen Rania lewat telepon.

“Baik, Bu,” sahutnya.

Yeona masih saja salah tingkah setelah melihat Dareen tadi di depan kantor. Dia menyiapkan beberapa berkas di mejanya dengan pikiran melayang ke beberapa tahun silam.

Yeona terus menepis jika rasa sakit dalam hatinya menyala. Jujur Yeona belum bisa membuka hati untuk yang lain hingga saat ini.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu.

“Masuk!” sekilas Yeona menatap daun pintu terbuka.

“Bu, di bawah ada yang menunggu,” ujar seorang satpam muda, Anggara.

“Siapa? Laki-laki atau perempuan? Ada perlu apa?” sederet pertanyaan Yeona tanpa henti.

“Saya tidak tahu pasti apa maksud dan tujuannya mencari ibu. Yang pasti dia laki-laki.”

Degh ...

Jantung Yeona berdetak kala mengingat Dareen. Matanya sayu kala dia mengingat luka yang di goreskan di dalam hatinya.

“Suruh dia masuk!” ujar Yeona.

“Baik, Bu,” Anggara berlalu sambil meraih hendel pintu lalu menariknya sampai pintu tertutup.

Yeona mencari kesibukan supaya dia tidak terlalu gugup jika bertemu dengan seseorang yang menunggunya tadi.

Samar-samar terdengar suara langkahan kaki menuju ruangannya, secepatnya Yeona mengambil sebuah berkas dan melihat-lihat tulisannya seolah sedang membaca.

Kreeekk...

“Selamat sore, Bu,” ucap seseorang setelah membuka pintu.

“Astagaaaa, kamu, Haneul! Bikin gugup saja.”

Wajah Yeona merengut. Beberapa menit sudah Yeona merasakan sesak nafas, menunggu seorang laki-laki yang akan datang menemuinya. Ternyata malah Haneul sang perusuh.

“Hayo, ada apa bisa gugup gitu?” tanya Haneul menggoda.

“Gak ada,” sahutnya dengan pipi merah merona.

Yeona tersenyum semringah saat Haneul duduk di kursi tepat di depan kursi Yeona.

Haneul merasa Yeona bahagia atas kedatangannya. Haneul meletakkan sebuah ponsel di meja.

“Eh, itu gawai aku, ya?” tanya Yeona.

Dia mengambil lalu memencet tombol on-off di samping gawai.

“Itulah, barang sendiri tertinggal pun tak sadar,” ucap Haneul.

“Makasih, yaaaa,” ucap Yeona mencium layar gawai.

“Dih, aku gitu yang di cium,” Haneul menggerutu.

“Apa?” tanya Yeona tak mengerti.

“Enggak, Aku pamit, ya,” ucap Haneul.

Yeona menganggukkan kepala tapi tetap menatap layar gawai. Gawai yang kini ada di tangannya adalah gawai kenangan di saat dia menikah dengan Dareen.

Kado itu di belikan Dareen setelah dua hari mereka menikah.

Seketika Yeona mengingat, Emilio, secepatnya dia bereskan meja kerjanya dan langsung beranjak dari tempat duduk.

“Bu!” sapa seorang wanita saat dia melintas menuju luar.

“Iya,” sahutnya tersenyum.

Yeona membatalkan pulang malam, tadinya dia berniat pulang malam akan ke rumah sahabatnya terlebih dahulu.

Tapi kala mengingat Dareen sudah kembali ke Jakarta, Yeona mengurungkan niatnya. Memang saat ini Dareen tidak tahu tempat tinggal mereka, tapi perasaan Yeona jadi terasa tidak enak.

* * *

“Ma, sejak kapan Papa meninggal?” tanya Emilio mendongak menatap Yeona.

Emilio kini ada di pelukan Yeona, mereka sedang bersantai duduk di depan televisi.

“Lama, sejak kamu ada di dalam rahim, Mama,” ucap Yeona sambil mengelus kening putranya.

“Jadi, Papa belum tahu Emil?” tanya Emilio polos.

Yeona menghela nafas lalu menggelengkan kepala. Yeona duduk sambil membenahi rambutnya yang terurai.

“Tuan kecil, kita tidur, yuk!” ajak Mis Erina tiba-tiba berdiri di dekat mereka.

“Sebentar, ya, Mis,” ujar Emilio sekilas menatap Mis Erina.

Wanita muda dengan mengenakan seragam putih itu, dengan sabar menunggu tuan kecilnya bercerita bersama Nyonya. Dia duduk bersimpuh dengan tangan yang menyandar di sofa.

Matanya merah, tubuhnya terlihat lelah karna Mis Erina belum terbiasa bekerja. Dalam hidupnya ini kali pertama dia bekerja.

“Ma, aku tidur dulu, ya,” ucap Emilio sambil mencium pipi kanan dan kiri Yeona. Yeona membalas ciumannya.

“Nyonya, permisi,” ucap Mis Erina menganggukkan kepala menghadap Yeona.

Yeona memandangnya sambil tersenyum dengan sedikit menganggukkan kepala.

Yeona meraih gawainya di meja. Dia membuka aplikasi hijau berniat kirim pesan pada, Arsana, sahabatnya.

[Ar, Dareen sudah pulang ke Jakarta.] Pesannya centang dua. Tidak lama kemudian berwarna biru.

[Ha? Masa? Kapan kamu lihatnya?] Balas Arsana.

[Tadi di kantor.]

Arsana tidak membalas, tulisan online di bawah fotonya hilang.

“Ada apa dengan Arsana?” batinnya.

Yeona memandang jauh ke depan, rasa senangnya kini berubah seratus delapan puluh derajat setelah Yeona mengingat masa lalu.

Masa di mana dia di khianati oleh sahabatnya, Arshinta. Dareen membawa Arshinta pulang ke rumah saat usia pernikahan mereka sudah menginjak tiga tahun.

Waktu itu...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status