Sejak Hamish memberinya satu set alat gambar untuk membuat desain, Kalea kembali mengurus meja makan untuk Hamish.
Gadis itu juga sudah tak pernah murung lagi. Lebih sering tersenyum dan bertingkah ceria. Ia juga mulai senang tertawa saat berkumpul dengan pekerja yang lain.
“Apa … Tuan sudah memutuskan?” tanya Jordi pada Hamish yang sedang duduk santai di balkon lantai dua yang menghadap ke halaman belakang.
Sudah setengah jam Hamish duduk diam di sana dengan mata tak putus memperhatikan ke para pekerjanya yang sedang merapikan rumpun-rumpun bunga. Di sana, ada May, Diana, Kalea, dan dua orang tukang kebun. Mereka sedang gotong royong sambil bersenda gurau.
“Memutuskan apa?” tanya Hamish tanpa menoleh. Matanya kini mengekori Kalea yang berlari gara-gara melihat seekor ulat bulu.
“Bukankah Tuan memperhatikan Kalea? Apakah Tuan akan menjadikannya salah satu wanita Tuan?”
Hamish sontak menegakkan tubuh, lalu menoleh tajam.
“Sejak kapan mulutmu selancang itu, Jordi?”
“Maaf, Tuan.” Jordi menunduk dalam-dalam.
“Bersihkan pikiranmu. Aku tidak sedang memperhatikan dia. Aku hanya mencari angin.” Suara Hamish mengeras, membuat Jordi buru-buru kembali minta maaf.
“Oh, iya, Tuan. Tentang undangan Mr. Bai bermain golf—”
“Bilang saja aku ada acara. Atau kau bisa cari alasan apa pun. Aku malas. Aku sedang ingin di rumah.”
Jordi mengangguk, meski sebenarnya dia heran. Akhir-akhir ini, tuannya itu lebih senang tak ke mana-mana. Bahkan hampir setiap hari, Hamish selalu mengusahakan pulang cepat agar bisa makan malam di rumah.
Pandangan Jordi pun beralih pada sosok Kalea yang kembali menjadi tujuan pandangan Hamish. Dalam hati, pria itu menghela napas. Andai tuannya itu jujur dan sungguh menjadikan Kalea wanitanya, bukankah semua ini akan lebih sederhana?
“Lagi pula, kalau terus menahan diri, akan ada saatnya perasaan itu akan meledak … dan itu tidak selalu diakhiri dengan hal baik,” gumam Jordi dengan ekspresi khawatir.
***
“Halo, Nona. Bagaimana kesehatanmu sekarang?” Stephen yang sedang datang berkunjung ke rumah Hamish menyapa Kalea. Pria bermata sipit dengan kacamata perseginya itu menatap Kalea yang sedang menyajikan teh untuknya.
“Berkat dokter, saya sudah jauh lebih baik. Terima kasih banyak,” jawab Kalea sambil tersenyum manis.
Hamish yang bersedekap langsung menukas, “Kamu hanya berterima kasih padanya? Padahal aku yang membayar jasanya.”
Kalea terperangah. “Mmm… saya sudah berterima kasih pada Tuan, malam itu.”
“Malam itu kamu hanya berterima kasih karena aku memberimu pakaian.”
Kalea menganga. Tak mengira Hamish sangat mendetail dan tukang ungkit.
“Astaga! Kamu perhitungan sekali, Bro!” Stephen tergelak.
Kalea terpaksa merunduk, setengah bercanda berkata, “Terima kasih, Tuanku yang baik hati.”
Hamish berdecak tak puas.
“Ucapan terima kasihmu tidak tulus. Pada dia kamu tersenyum, padaku wajahmu cemberut.”
Kalea menggigit bibir. Baru tahu jika majikannya bisa serewel itu untuk masalah sepele.
Kemudian, dia pun tersenyum lebar. “Terima kasih, Tuanku yang baik hati.” Ia bahkan membuat tanda hati dengan jarinya.
Hamish berdehem. Wajahnya tetap datar tak berekspresi, tetapi rahang dan sudut bibirnya jelas berkedut-kedut—Puas.
“Pergilah!”
Kalea mengangguk, lalu segera undur diri.
Stephen menatap Kalea tak putus sampai kepalanya berputar.
“Jaga matamu!” tegur Hamish. Stephen pun tertawa.
“Sekarang seleramu berubah jauh, Bro?”
Hamish mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
Stephen mengedikkan kepala ke arah Kalea pergi. “Matamu tidak bisa berbohong. Kau terpikat pada gadis semuda itu, kan?”
Wajah Hamish mengeras. “Dia hanya pelayan.”
“Ya, ya. Terserah kau mau bicara apa, tapi kalau memang benar … itu artinya kau sudah sembuh.”
Hamish melotot. “Bahas lagi, dan aku tarik semua investasiku dari rumah sakitmu.”
Stephen tertawa, lalu mengangkat kedua tangan.
“Okeee! Oke! Aku hanya bercanda, Hamish! Santai sedikit!”
***
Entah sejak kapan Kalea jadi lebih betah di gudang daripada di kamar yang ditempatinya bersama Diana. Setiap sehabis bekerja, ia yang kini bertanggung jawab dengan gudang pasti akan menghabiskan waktu di sana.
Tempat itu hening dan berhadapan dengan kebun belakang yang penuh pepohonan. Hatinya terasa lebih tenang, ia pun bisa menggambar lebih baik dengan suasana yang mendukung.
Gudang seluas tiga kali tiga meter persegi itu hanya setengahnya yang terisi kotak-kotak besar yang berisi barang-barang tak terpakai. Semua ditumpuk rapi sampai ke langit-langit. Sedang sisanya, hanya ruang kosong dengan buffet kecil, meja single, serta dua kursi lipat.
Dan malam itu, ia yang sedang menunggu Hamish serta Stephen selesai makan malam, mampir ke sana untuk melepas penat. Membuka buku sketsa dan mulai menggambar apa yang terlintas di kepalanya.
Hari ini, semua pegawai Hamish menerima transferan uang gaji. Hanya dirinya saja yang tak dapat dan ia tak mempermasalahkan itu. Sudah selamat dari ayahnya dan bisa hidup tanpa kelaparan pun sudah merupakan sebuah berkat baginya.
Gadis itu bertopang dagu sejenak. Menatap lampu pijar kekuningan yang menggantung di langit-langit sambil merenungi jalan hidupnya.
“Tetap hidup sehari lagi dan sehari lagi sepertinya tak begitu buruk,” gumamnya, lalu kembali menggurat pensilnya di kertas sketsa. Hingga tak terasa rasa kantuk menyerang dan ia terkulai perlahan di atas lengannya.
Entah sudah berapa lama tertidur, Kalea tak tahu pasti. Andai tak karena tepukan lembut di bahunya, ia mungkin akan terus berkelana di alam mimpi.
Gadis itu mengerjap dan samar-samar melihat seseorang berdiri di sisinya dengan sayup-sayup suara gemericik hujan sebagai latar.
“Sudah bangun?”
Kalea langsung segar seketika. Gadis itu duduk tegak dengan kepala mendongak. Suara itu … milik Hamish.
Matanya langsung membulat. Ia terperangah. “T-Tuan Hamish?”
Bagaimana mungkin pria itu ada di sini?!
Pria itu melumat dan menyesap bibir Kalea bergantian. Atas dan bawah, bergelora penuh desakan. Bahkan lidahnya ikut merangsek, menelusup mencari-cari lidah Kalea yang pasif, tak bergerak.Kalea kewalahan. Napasnya memburu, dadanya naik-turun tak terkendali. Ia belum pernah merasakan ciuman sama sekali. Semua terasa asing, terlalu cepat, terlalu mendebarkan. Gadis itu hanya bisa megap-megap, lalu pasrah. Membiarkan dirinya hanyut pada arus yang Hamish ciptakan untuknya.Tautan bibir mereka terlepas sejenak. Hamish mundur, menatap wajah Kalea yang memerah padam, rambutnya sudah berantakan. Napas pria itu berat, tersengal, namun tatapannya masih begitu membakar. Tanpa berkata apa pun, ia menggamit lengan Kalea untuk berdiri, lalu kembali meraih bibirnya.Kali ini, ciuman Hamish tak seburu-buru sebelumnya. Pria itu jauh lebih lembut dan perlahan seperti tahu bahwa lawannya masihlah sangat amatir. Dan kali ini, Kalea dengan malu-malu mulai membalas ciuman pria itu. Keduanya saling berpagut
Seperti terkena mantra beku, Kalea tak bergerak sama sekali. Kaku. Bahkan untuk sesaat, nyawanya seperti keluar dari tubuhnya.Ia tak percaya sama sekali dengan apa yang sedang terjadi. Kalea bisa merasakan bibir yang lembut dan hangat itu menempel di bibirnya. Benarkah Hamish menciumnya? Kenapa dia menciumnya?Namun, tiba-tiba Hamish menjauh. Pria itu tampak linglung sejenak, menatap Kalea, lalu berdehem sebelum duduk tegak kembali.“Ayo, kita keluar,” ucapnya seraya bangkit.Hamish menoleh karena Kalea tak ikut berdiri bersamanya. Gadis itu masih mematung di tempatnya.“Sudah malam,” ucap Hamish.Kalea yang masih kaget juga bingung akhirnya bangkit dan mengikuti langkah Hamish keluar dari sana.“Jangan salah paham. Aku … hanya ingin meredakan ketakutanmu,” ucap Hamish setelah beberapa saat hanya mereka habiskan dengan diam.“Besok aku akan suruh seseorang mengganti lampunya. Sekarang, pergilah tidur,” sambungnya, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Kalea.***Sejak malam itu, seja
“Semua orang mencarimu, dan kamu malah bersembunyi di sini.” Hamish berkata seraya membuka lembar-lembar buku sketsa milik Kalea.“Jam berapa sekarang? Saya ketiduran! Saya belum merapikan makan malam Tuan.” Kalea grasak-grusuk. Sementara itu, Hamish justru duduk santai di kursi lipat kosong di sebelah Kalea.“Jangan cemas, semua tugasmu sudah dikerjakan Diana. Sekarang sudah jam sepuluh.”“Apa? Jam sepuluh?” Kalea memekik kaget.Hamish tidak menanggapi. Perhatiannya terpusat pada salah satu halaman buku sketsa. Sampai kemudian, dia melihat satu gambar yang membuatnya terdiam cukup lama.“Apa ini… aku?”DEG!Jantung Kalea serasa berhenti berdetak saat Hamish menanyakan hal itu. Ia baru teringat sesuatu!Gadis itu membeliak dan langsung berusaha merebut buku sketsanya. Namun, dengan cepat Hamish menjauhkan buku tersebut hingga tak terjangkau Kalea. “Kamu diam-diam menggambarku?” Hamish berdiri dengan satu tangan menahan buku tinggi-tinggi. “Kenapa menggambarku tanpa izin?”“I-Itu…” Ka
Sejak Hamish memberinya satu set alat gambar untuk membuat desain, Kalea kembali mengurus meja makan untuk Hamish.Gadis itu juga sudah tak pernah murung lagi. Lebih sering tersenyum dan bertingkah ceria. Ia juga mulai senang tertawa saat berkumpul dengan pekerja yang lain.“Apa … Tuan sudah memutuskan?” tanya Jordi pada Hamish yang sedang duduk santai di balkon lantai dua yang menghadap ke halaman belakang.Sudah setengah jam Hamish duduk diam di sana dengan mata tak putus memperhatikan ke para pekerjanya yang sedang merapikan rumpun-rumpun bunga. Di sana, ada May, Diana, Kalea, dan dua orang tukang kebun. Mereka sedang gotong royong sambil bersenda gurau.“Memutuskan apa?” tanya Hamish tanpa menoleh. Matanya kini mengekori Kalea yang berlari gara-gara melihat seekor ulat bulu.“Bukankah Tuan memperhatikan Kalea? Apakah Tuan akan menjadikannya salah satu wanita Tuan?”Hamish sontak menegakkan tubuh, lalu menoleh tajam.“Sejak kapan mulutmu selancang itu, Jordi?”“Maaf, Tuan.” Jordi m
“Hah?”“Apa kamu tuli?”Kalea mengerjap, lalu buru-buru bangkit dan berlari menuju mobil Hamish.Pria yang selalu tampil perlente dan rambut tersisir rapi ke samping itu menyusul, lalu membukakan pintu mobil untuk Kalea. “Masuk!”Kalea menurut, duduk kaku di kursi depan. Hamish pun masuk ke sisi kemudi.“Besok mau sembunyi di mana lagi?” tanyanya dingin. “Apa kamu tidak lelah terus-terusan menghindariku?”Kalea menelan ludah. “Apa selama ini Tuan tahu?” batinnya.“Tapi… bukankah itu perintah Tuan? Tuan melarang saya menampakkan diri. Saya hanya menjalankan perintah Tuan.”Hamish terdiam sejenak, lalu mengangguk pendek.“Tuan… apa saya akan dikirim kembali pada ayah saya?” Kalea memberanikan diri bertanya dengan perasaan was-was.Hamish menatapnya. Melihat wajah Kalea yang pucat dengan mata berkaca-kaca, ia memilih menjawab singkat.“Tidak.”Mendengar itu, Kalea langsung meniup napas lega sambil memegangi dada. “Lea,” ucap Hamish ketika mobil berhenti di halaman rumah. “Ikut aku ke r
Sudah dua hari Hamish tidak melihat keberadaan Kalea. Saat sarapan pun, meski ia datang lebih awal, gadis itu tak pernah tampak.“Apa Kalea sakit lagi?” tanya Hamish pada Diana yang sedang membereskan meja.“Tidak, Tuan. Kalea sehat.”“Lalu kenapa dia tidak pernah terlihat? Maksudku, kenapa sekarang yang bertugas di meja makan bukan dia lagi?”“Kami bertukar tugas, Tuan. Kalea meminta pekerjaan di gudang dan area belakang.”Hamish terdiam. Ingatannya kembali pada kejadian di tepi kolam renang.“Apa Tuan mencari Kalea?” tanya Diana hati-hati.“Apa? Tidak!” Hamish menjawab terlalu cepat.Selepas sarapan, bukannya bersiap ke kantor, Hamish justru berjalan ke belakang rumah, menyusuri petak-petak halaman luas yang dipenuhi pepohonan langka. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat Kalea sedang membawa sapu sambil berbicara pada sebatang pohon.Sesekali gadis itu berkacak pinggang dengan wajah marah, bahkan mengacungkan tinju berkali-kali ke arah pohon, seakan batang kayu itu la