Masuk“Semua orang mencarimu, dan kamu malah bersembunyi di sini.” Hamish berkata seraya membuka lembar-lembar buku sketsa milik Kalea.
“Jam berapa sekarang? Saya ketiduran! Saya belum merapikan makan malam Tuan.” Kalea grasak-grusuk. Sementara itu, Hamish justru duduk santai di kursi lipat kosong di sebelah Kalea.
“Jangan cemas, semua tugasmu sudah dikerjakan Diana. Sekarang sudah jam sepuluh.”
“Apa? Jam sepuluh?” Kalea memekik kaget.
Hamish tidak menanggapi. Perhatiannya terpusat pada salah satu halaman buku sketsa. Sampai kemudian, dia melihat satu gambar yang membuatnya terdiam cukup lama.
“Apa ini… aku?”
DEG!
Jantung Kalea serasa berhenti berdetak saat Hamish menanyakan hal itu. Ia baru teringat sesuatu!
Gadis itu membeliak dan langsung berusaha merebut buku sketsanya. Namun, dengan cepat Hamish menjauhkan buku tersebut hingga tak terjangkau Kalea.
“Kamu diam-diam menggambarku?” Hamish berdiri dengan satu tangan menahan buku tinggi-tinggi. “Kenapa menggambarku tanpa izin?”
“I-Itu…” Kalea panik. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah. “T-Tuan jangan salah paham. Itu… saya hanya—”
“Apa wajahku sejelek itu?” potong Hamish datar.
“Apa?” Kalea terbelalak.
Hamish mengajaknya duduk kembali, lalu membuka halaman yang menampilkan sketsa dirinya. Ia menunjuk hidung dan dahi pria di gambar itu.
“Lihat. Gambarmu tidak merepresentasikan aku sama sekali. Aku tidak terima hidungku digambar pesek begini. Jidatku juga tidak selebar ini.”
Kalea menganga, lalu perlahan tertawa patah-patah. Meski dadanya masih berdegup kencang, ia mulai merasa lega karena Hamish ternyata tidak marah.
Hamish melirik Kalea. Tatapannya, tanpa sadar, bertahan lebih lama dari seharusnya.
“Tuan tahu dari mana saya ada di sini?” tanya Kalea hati-hati.
Hamish mengedip, lalu mengangkat bahu. “Hanya menebak.”
Pria itu kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah amplop cokelat, dan menyodorkannya.
“Gajimu. Ambillah.”
“Gaji? Saya menerima gaji?” Kalea menatapnya tak percaya.
Alis kanan Hamish terangkat, seakan pertanyaan Kalea terdengar begitu konyol. “Kamu bekerja, tentu saja digaji.”
“T-Tuan…” kata-katanya tercekat. “Tapi bukankah saya sudah… dibeli? Saya sudah tidak berhak dapat gaji lagi.”
Di saat itu, pandangan Hamish sedikit melembut, baru mengerti alasan gadis tersebut bertanya seperti itu.
“Itu benar, tapi aku tahu kamu butuh untuk keperluanmu. Beli baju, perlengkapan, atau apa pun. Gadis seusiamu seharusnya sedang senang-senangnya merawat diri. Jadi, gunakan uang itu untuk apa pun yang kamu inginkan—“ Kalimat Hamish mendadak berhenti saat Kalea tiba-tiba terisak sambil memeluk amplop gajinya. “Hei! Dasar cengeng! Jangan menangis!”
Kalea menggeleng, air matanya jatuh begitu saja.
“Air matanya keluar sendiri, Tuan. Saya tidak bisa mengendalikannya.” Dia berusaha menghapus air mata itu, tapi masih tidak cukup karena air mata tersebut tidak berhenti mengalir. “Tuan, apa Tuan dewa? Kenapa Tuan baik sekali? Ibuuu ... Apa ... apa Ibu di atas sana yang mempertemukanku dengan Tuan?” suara Kalea pecah, merasa sangat tersentuh.
Kalea menangis bukan karena sedih, melainkan karena bahagia. Setelah hampir dua tahun terus-menerus disiksa oleh ayahnya, akhirnya ada orang yang memperlakukannya dengan begitu baik.
Kalea yakin, ibunya di atas sana ada andil dalam berkah ini.
“Jangan cium tangan! Aku bukan orang tuamu!” Pria itu mengantisipasi. Ia mengangkat kedua tangan begitu melihat Kalea menunduk. Sebelum-sebelumnya, gadis itu selalu mengambil kesempatan seperti ini untuk mencium punggung tangannya.
Kalea malah tertawa di sela tangisnya. Namun tiba-tiba lampu pijar di langit-langit berkedip cepat, membuat mereka mendongak. Sedetik kemudian, ruangan padam, menyisakan kegelapan.
Kalea yang takut gelap langsung mencengkeram tepian meja. Jantungnya berpacu, tubuhnya gemetar.
“Sepertinya lampunya rusak. Aku akan cek keluar—”
“Tuan.” Kalea cepat-cepat meraih tangan Hamish dan menggenggamnya erat. “Tolong, jangan tinggalkan saya. Ajak saya keluar.”
Hamish terdiam, merasakan jemari Kalea yang dingin dan bergetar.
“Kamu kenapa? Sakit?”
“T-tidak. Tidak apa-apa.” Napas Kalea mulai tersengal.
Hamish mengeluarkan ponsel dari saku dan menyalakan senter. Ruangan jadi lebih terang.
“Lea?” Ia menatap kaget sosok Kalea yang begitu pucat. “Kamu takut gelap?”
Kalea tersentak. Tapi, kemudian dia menunduk, lalu mengangguk perlahan. Mengakui walau malu membuat air mata kembali mengalir menuruni wajahnya.
“Maaf, saya menangis lagi,” ucapnya, menggigit bibir. “Tapi saya t-tidak apa-apa. Saya memang suka begini, gemetar sendiri. Tapi nanti kalau sudah agak lama, a-akan hilang. Ini hanya refleks. T-Tuan jangan cemas.”
Hamish menatap wajah Kalea yang tersorot cahaya senter.
“Apa ayahmu pernah melakukan sesuatu padamu… saat gelap?” tanyanya rendah.
Gigitan Kalea pada bibirnya menguat. Pelan, tapi pasti gadis itu mengangguk. Selama ini, luka dan trauma itu selalu dipendamnya sangat rapat. Dan selama ini pula tak ada satu pun yang bertanya tentang dirinya. Tak peduli meski keluar rumah dalam kondisi babak belur.
Di rumah, para tetangga tak ada yang mau ikut campur karena tahu bagaimana menyebalkannya sikap Dion jika sudah merasa terganggu.
“Apa yang dia lakukan?” Hamish merunduk agar sejajar dengannya.
“Dia… dia selalu menyiksa saya. Kalau kalah judi, dipecat, kehilangan uang, atau berkelahi, semua amarahnya dilampiaskan pada saya. Dia memukul, menendang, menarik rambut saya sampai rontok.” Kalea menutup mata, ekspresinya begitu pahit. “Bapak benci saya. Dia selalu bilang saya pembawa sial. Dia selalu menyalahkan saya atas kematian Ibu.”
Hamish terdiam. Rahangnya mengeras, otot wajahnya menegang menahan sesuatu yang mendidih di dalam dadanya. Bagaimana mungkin ada seorang ayah yang tega menyakiti putri kandungnya sendiri seperti ini? Bahkan singa pun begitu melindungi anaknya! Apa ayah Kalea itu lebih buruk dibandingkan hewan sebuas itu!?
Namun perlahan, Hamish menutup mata sebentar. Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Amarah itu ditekan, ditelan kembali ke dalam dada, diganti dengan sesuatu yang lebih lembut.
Ketika matanya terbuka lagi, sorot mata Hamish telah berubah tenang dan hangat. Dia pun mengulurkan tangan, jemarinya menyapu lembut pipi Kalea yang basah.
“Jangan takut. Mulai sekarang, dia tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Kamu di sini bersamaku.” Suaranya lembut, hampir berbisik, saat ia kembali menghapus air mata gadis itu.
Tangannya masih merangkum pipi Kalea. Dan entah bisikan setan apa, hingga tanpa sadar Hamish menunduk, memupus jarak, lalu mengecup bibir Kalea.
“Apa kita tak berpamitan dulu pada Pak Elias?” tanya Kalea. Ia menonton Hamish yang sedang menutup koper kecilnya di ambang pintu flatnya.“Buat apa? Tak perlu!” jawab Hamish pendek.“Dan aku tak ingin kamu berkomunikasi dengan pria tua itu! Kalau dia menghubungimu, bilang padaku! Aku harus tahu apa saja yang dia bicarakan denganmu. Jangan meladeninya! Dan jangan pernah mau diajak bertemu lagi. Kamu hanya boleh menemuinya jika bersamaku!”Kalea mengerjap, tetapi tak ada pilihan selain mengangguk.“Pria tua bangka itu malah mau jadi duda, lagi! Sialan!” Hamish mengerutu. Kesal dengan status yang akan disandang ayahnya. Tak dipungkiri jika dalam dadanya tersimpan was-was ayahnya akan menggatal pada Kalea.Tentu saja kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan, pengalaman di masa lalu sudah memberikannya trauma mendalam.“Kamu yakin akan membiarkan dua temanmu itu ikut mengantar sampai ke bandara?” Hamish berbisik pada Kalea, lalu melirik ke belakang, ke dalam ruangan flat. Di sana, Ginna dan
Hamish mondar-mandir gelisah di depan kamar mandi. Kalea lama sekali di dalam sana. Membuatnya benar-benar khawatir.Ia tak bisa masuk untuk melihat keadaan gadis itu karena pintu terkunci dari dalam.“Lea, lagi apa? Kamu kalau kesulitan tak apa minta tolong padaku. Aku mau bantu.” Hamish mengetuk lagi pintu kamar mandi.“Kamu sedang sakit, Lea. Kamu jangan malu.” Pria itu tak putus asa. Sesekali menempelkan telinganya ke daun pintu.“Aku janji akan menutup mataku. Aku bukan pria mesum, Lea. Aku hanya mencemaskanmu.”Di dalam, Kalea memang kesulitan. Mengandalkan satu tangan dan tangannya pun tersambung ke selang infus. Ia harus dengan sabar melakukan segalanya pelan-pelan dan bergantian.Saat gadis itu menyelesaikan urusannya, ia keluar dengan bagian depan piyama yang basah dan selang infus yang berdarah karena terlalu banyak bergerak.Hamish menghela napas melihat Kalea. Tetapi tak banyak bicara.Pria itu hanya memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.“Aku sudah menyuruh
Langit seakan langsung mendung kelabu saat dokter menyatakan bahwa tangan Kalea memerlukan pemulihan hingga satu sampai dua bulan untuk kembali ke kondisi semula. Ada bagian syaraf yang terkena ujung pisau yang membuat fleksibilitas jari-jari Kalea terganggu. Dan itu artinya, Kalea tak bisa menggambar hingga selama itu.“Bagaimana project tugas akhir saya?” Kalea menatap hampa ujung ranjang pasiennya. Padahal ia tengah semangat-semangatnya.Ia juga sudah merencanakan banyak hal termasuk menyelesaikan kuliah di tenggat waktu yang sudah dirancang sedemikian rupa dari jauh hari. Ia bahkan sudah membayangkan hari wisudanya.Dengan tangan seperti ini, bagaimana ia mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan tepat waktu? Bisa-bisa ia tak bisa lulus tahun ini bersama Ginna dan Brady.“Masih ada waktu sedikit lagi sampai tenggat akhir biar bisa ikut wisuda tahun ini. Kalau pun memang tak bisa, tak apa, Lea. Kamu masih bisa ikut wisuda tahun depan. Tak perlu terburu-buru. Yang terpenting tangan
Mendengar pertanyaan Kalea, Hamish hanya mendengkus, lalu mencubit pipi gadis itu.“Aku lupa kalau kau juga perempuan. Perempuan senang sekali validasi, kan?” ucapnya, lalu menyimpan mangkuk di tangannya ke nakas.Ia menatap lekat Kalea. Keduanya pun bertatapan.“Kamu ingin tahu?” tanyanya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu hingga hampir tak berjarak.Kalea sontak memundurkan kepalanya, tetapi dengan cepat tengkuknya ditahan oleh tangan Hamish.“Ya. Aku cemburu!” bisik pria itu dengan suara parau.“Cemburu sampai rasanya ingin kupatahkan tangan siapa saja yang berani mengusikmu. Cemburu hingga rasanya ingin kumusnahkan siapa saja yang berani menggodamu.”Kalea meremang. Matanya memejam dengan tubuh menegang. Embusan hangat napas Hamish membelai kulitnya dan ia bisa merasakan bibir lembut pria itu menyentuh ujung hidungnya.“Kamu … milikku. Hanya milikku,” bisiknya lagi dan perlahan bibirnya turun, mengecup ringan bibir Kalea yang mengatup erat.Hamish tersenyum, lalu mengec
Elias panik. Ia tahu betul tempramen anaknya. Memang, sebelas dua belas dengannya.Putranya yang pemarah itu tak ada bedanya dengan dirinya ketika muda. Mudah meledak dan tak segan melakukan apa pun untuk mencapai sesuatu.Dan ia yakin Hamish akan lebih parah lagi karena didorong rasa sakit dan dendam yang dipendam sejak lama.“Tidak, Hamish! Hentikan!” Elias segera mendekat dan mencekal lengan putranya. Ia pun menoleh pada Jordi, meminta pria itu untuk mencegah Hamish melakukan hal gila.Akan tetapi, Jordi hanya bisa menggeleng lemah. Suatu kemustahilan baginya meredam amarah Hamish jika sudah seperti itu. Yang ada, ia akan menjadi bagian dari kegilaan atasannya tersebut.“Jangan ikut campur! Perempuan itu sudah terlalu banyak berulah!” sergah Hamish.“Tidak! Tolong jangan main hakim sendiri! Ini urusanku. Bagimanapun dia masih istri sahku!”Hamish menoleh perlahan. Menatap Elias dengan api kebencian yang menyala.“Jika kau dan istrimu itu tak ingin kusentuh, tak bisakah kalian biark
“Sabar dulu. Dengarkan dulu! Tak bisakah kamu atur sedikit emosimu yang meledak-ledak itu?” Elias berkata dengan tenang. Berusaha mendinginkan situasi.“Tidak! Aku tak bisa sabar jika itu menyangkut denganmu! Aku tak bisa menahan emosi jika itu ada sangkut pautnya denganmu!” balas Hamish dengan tajam.“Sekarang katakan! Kenapa Kalea sampai terluka? Kau apakan dia, hah?” Hamish benar-benar tak terkendali setiap bertatap muka dengan Elias. Dipaksa untuk tak emosi pun sangat sulit.Amarah yang sudah terlanjur tertimbun begitu lama membuatnya selalu ingin menyerang tiap kali melihat ayahnya dari dekat.“Tuan, tenang dulu. Lebih baik Anda lihat keadaan Nona Kalea dulu.” Jordi berusaha menengahi.Ia tak ingin ada pertumpahan darah lebih awal di rumah sakit.Hamish tersentak. Ia baru saja melupakan Kalea. Padahal ia begitu mencemaskannya dari sejak di perjalanan hingga sesak napas.Pria itu pun mendekati ranjang pasien dan Elias dengan cepat menyingkir. Tak ingin pergesekan mereka semakin me







