Share

Bab 11

Author: Naiynana
last update Last Updated: 2025-10-10 12:51:30

“Semua orang mencarimu, dan kamu malah bersembunyi di sini.” Hamish berkata seraya membuka lembar-lembar buku sketsa milik Kalea.

“Jam berapa sekarang? Saya ketiduran! Saya belum merapikan makan malam Tuan.” Kalea grasak-grusuk. Sementara itu, Hamish justru duduk santai di kursi lipat kosong di sebelah Kalea.

“Jangan cemas, semua tugasmu sudah dikerjakan Diana. Sekarang sudah jam sepuluh.”

“Apa? Jam sepuluh?” Kalea memekik kaget.

Hamish tidak menanggapi. Perhatiannya terpusat pada salah satu halaman buku sketsa. Sampai kemudian, dia melihat satu gambar yang membuatnya terdiam cukup lama.

“Apa ini… aku?”

DEG!

Jantung Kalea serasa berhenti berdetak saat Hamish menanyakan hal itu. Ia baru teringat sesuatu!

Gadis itu membeliak dan langsung berusaha merebut buku sketsanya. Namun, dengan cepat Hamish menjauhkan buku tersebut hingga tak terjangkau Kalea. 

“Kamu diam-diam menggambarku?” Hamish berdiri dengan satu tangan menahan buku tinggi-tinggi. “Kenapa menggambarku tanpa izin?”

“I-Itu…” Kalea panik. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah. “T-Tuan jangan salah paham. Itu… saya hanya—”

“Apa wajahku sejelek itu?” potong Hamish datar.

“Apa?” Kalea terbelalak.

Hamish mengajaknya duduk kembali, lalu membuka halaman yang menampilkan sketsa dirinya. Ia menunjuk hidung dan dahi pria di gambar itu.

“Lihat. Gambarmu tidak merepresentasikan aku sama sekali. Aku tidak terima hidungku digambar pesek begini. Jidatku juga tidak selebar ini.”

Kalea menganga, lalu perlahan tertawa patah-patah. Meski dadanya masih berdegup kencang, ia mulai merasa lega karena Hamish ternyata tidak marah.

Hamish melirik Kalea. Tatapannya, tanpa sadar, bertahan lebih lama dari seharusnya.

“Tuan tahu dari mana saya ada di sini?” tanya Kalea hati-hati.

Hamish mengedip, lalu mengangkat bahu. “Hanya menebak.”

Pria itu kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah amplop cokelat, dan menyodorkannya.

“Gajimu. Ambillah.”

“Gaji? Saya menerima gaji?” Kalea menatapnya tak percaya.

Alis kanan Hamish terangkat, seakan pertanyaan Kalea terdengar begitu konyol. “Kamu bekerja, tentu saja digaji.”

“T-Tuan…” kata-katanya tercekat. “Tapi bukankah saya sudah… dibeli? Saya sudah tidak berhak dapat gaji lagi.”

Di saat itu, pandangan Hamish sedikit melembut, baru mengerti alasan gadis tersebut bertanya seperti itu.

“Itu benar, tapi aku tahu kamu butuh untuk keperluanmu. Beli baju, perlengkapan, atau apa pun. Gadis seusiamu seharusnya sedang senang-senangnya merawat diri. Jadi, gunakan uang itu untuk apa pun yang kamu inginkan—“ Kalimat Hamish mendadak berhenti saat Kalea tiba-tiba terisak sambil memeluk amplop gajinya. “Hei! Dasar cengeng! Jangan menangis!”

Kalea menggeleng, air matanya jatuh begitu saja.

“Air matanya keluar sendiri, Tuan. Saya tidak bisa mengendalikannya.” Dia berusaha menghapus air mata itu, tapi masih tidak cukup karena air mata tersebut tidak berhenti mengalir. “Tuan, apa Tuan dewa? Kenapa Tuan baik sekali? Ibuuu ... Apa ... apa Ibu di atas sana yang mempertemukanku dengan Tuan?” suara Kalea pecah, merasa sangat tersentuh.

Kalea menangis bukan karena sedih, melainkan karena bahagia. Setelah hampir dua tahun terus-menerus disiksa oleh ayahnya, akhirnya ada orang yang memperlakukannya dengan begitu baik.

Kalea yakin, ibunya di atas sana ada andil dalam berkah ini.

“Jangan cium tangan! Aku bukan orang tuamu!” Pria itu mengantisipasi. Ia mengangkat kedua tangan begitu melihat Kalea menunduk. Sebelum-sebelumnya, gadis itu selalu mengambil kesempatan seperti ini untuk mencium punggung tangannya.

Kalea malah tertawa di sela tangisnya. Namun tiba-tiba lampu pijar di langit-langit berkedip cepat, membuat mereka mendongak. Sedetik kemudian, ruangan padam, menyisakan kegelapan.

Kalea yang takut gelap langsung mencengkeram tepian meja. Jantungnya berpacu, tubuhnya gemetar.

“Sepertinya lampunya rusak. Aku akan cek keluar—”

“Tuan.” Kalea cepat-cepat meraih tangan Hamish dan menggenggamnya erat. “Tolong, jangan tinggalkan saya. Ajak saya keluar.”

Hamish terdiam, merasakan jemari Kalea yang dingin dan bergetar.

“Kamu kenapa? Sakit?”

“T-tidak. Tidak apa-apa.” Napas Kalea mulai tersengal.

Hamish mengeluarkan ponsel dari saku dan menyalakan senter. Ruangan jadi lebih terang.

“Lea?” Ia menatap kaget sosok Kalea yang begitu pucat. “Kamu takut gelap?”

Kalea tersentak. Tapi, kemudian dia menunduk, lalu mengangguk perlahan. Mengakui walau malu membuat air mata kembali mengalir menuruni wajahnya.

“Maaf, saya menangis lagi,” ucapnya, menggigit bibir. “Tapi saya t-tidak apa-apa. Saya memang suka begini, gemetar sendiri. Tapi nanti kalau sudah agak lama, a-akan hilang. Ini hanya refleks. T-Tuan jangan cemas.”

Hamish menatap wajah Kalea yang tersorot cahaya senter.

“Apa ayahmu pernah melakukan sesuatu padamu… saat gelap?” tanyanya rendah.

Gigitan Kalea pada bibirnya menguat. Pelan, tapi pasti gadis itu mengangguk. Selama ini, luka dan trauma itu selalu dipendamnya sangat rapat. Dan selama ini pula tak ada satu pun yang bertanya tentang dirinya. Tak peduli meski keluar rumah dalam kondisi babak belur.

Di rumah, para tetangga tak ada yang mau ikut campur karena tahu bagaimana menyebalkannya sikap Dion jika sudah merasa terganggu. 

“Apa yang dia lakukan?” Hamish merunduk agar sejajar dengannya.

“Dia… dia selalu menyiksa saya. Kalau kalah judi, dipecat, kehilangan uang, atau berkelahi, semua amarahnya dilampiaskan pada saya. Dia memukul, menendang, menarik rambut saya sampai rontok.” Kalea menutup mata, ekspresinya begitu pahit. “Bapak benci saya. Dia selalu bilang saya pembawa sial. Dia selalu menyalahkan saya atas kematian Ibu.”

Hamish terdiam. Rahangnya mengeras, otot wajahnya menegang menahan sesuatu yang mendidih di dalam dadanya. Bagaimana mungkin ada seorang ayah yang tega menyakiti putri kandungnya sendiri seperti ini? Bahkan singa pun begitu melindungi anaknya! Apa ayah Kalea itu lebih buruk dibandingkan hewan sebuas itu!?

Namun perlahan, Hamish menutup mata sebentar. Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Amarah itu ditekan, ditelan kembali ke dalam dada, diganti dengan sesuatu yang lebih lembut.

Ketika matanya terbuka lagi, sorot mata Hamish telah berubah tenang dan hangat. Dia pun mengulurkan tangan, jemarinya menyapu lembut pipi Kalea yang basah.

“Jangan takut. Mulai sekarang, dia tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Kamu di sini bersamaku.” Suaranya lembut, hampir berbisik, saat ia kembali menghapus air mata gadis itu.

Tangannya masih merangkum pipi Kalea. Dan entah bisikan setan apa, hingga tanpa sadar Hamish menunduk, memupus jarak, lalu mengecup bibir Kalea.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rnatashya
satset sekali tuan hamish...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencuri Hati Tuan Hamish   Bab 13

    Pria itu melumat dan menyesap bibir Kalea bergantian. Atas dan bawah, bergelora penuh desakan. Bahkan lidahnya ikut merangsek, menelusup mencari-cari lidah Kalea yang pasif, tak bergerak.Kalea kewalahan. Napasnya memburu, dadanya naik-turun tak terkendali. Ia belum pernah merasakan ciuman sama sekali. Semua terasa asing, terlalu cepat, terlalu mendebarkan. Gadis itu hanya bisa megap-megap, lalu pasrah. Membiarkan dirinya hanyut pada arus yang Hamish ciptakan untuknya.Tautan bibir mereka terlepas sejenak. Hamish mundur, menatap wajah Kalea yang memerah padam, rambutnya sudah berantakan. Napas pria itu berat, tersengal, namun tatapannya masih begitu membakar. Tanpa berkata apa pun, ia menggamit lengan Kalea untuk berdiri, lalu kembali meraih bibirnya.Kali ini, ciuman Hamish tak seburu-buru sebelumnya. Pria itu jauh lebih lembut dan perlahan seperti tahu bahwa lawannya masihlah sangat amatir. Dan kali ini, Kalea dengan malu-malu mulai membalas ciuman pria itu. Keduanya saling berpagut

  • Mencuri Hati Tuan Hamish   Bab 12

    Seperti terkena mantra beku, Kalea tak bergerak sama sekali. Kaku. Bahkan untuk sesaat, nyawanya seperti keluar dari tubuhnya.Ia tak percaya sama sekali dengan apa yang sedang terjadi. Kalea bisa merasakan bibir yang lembut dan hangat itu menempel di bibirnya. Benarkah Hamish menciumnya? Kenapa dia menciumnya?Namun, tiba-tiba Hamish menjauh. Pria itu tampak linglung sejenak, menatap Kalea, lalu berdehem sebelum duduk tegak kembali.“Ayo, kita keluar,” ucapnya seraya bangkit.Hamish menoleh karena Kalea tak ikut berdiri bersamanya. Gadis itu masih mematung di tempatnya.“Sudah malam,” ucap Hamish.Kalea yang masih kaget juga bingung akhirnya bangkit dan mengikuti langkah Hamish keluar dari sana.“Jangan salah paham. Aku … hanya ingin meredakan ketakutanmu,” ucap Hamish setelah beberapa saat hanya mereka habiskan dengan diam.“Besok aku akan suruh seseorang mengganti lampunya. Sekarang, pergilah tidur,” sambungnya, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Kalea.***Sejak malam itu, seja

  • Mencuri Hati Tuan Hamish   Bab 11

    “Semua orang mencarimu, dan kamu malah bersembunyi di sini.” Hamish berkata seraya membuka lembar-lembar buku sketsa milik Kalea.“Jam berapa sekarang? Saya ketiduran! Saya belum merapikan makan malam Tuan.” Kalea grasak-grusuk. Sementara itu, Hamish justru duduk santai di kursi lipat kosong di sebelah Kalea.“Jangan cemas, semua tugasmu sudah dikerjakan Diana. Sekarang sudah jam sepuluh.”“Apa? Jam sepuluh?” Kalea memekik kaget.Hamish tidak menanggapi. Perhatiannya terpusat pada salah satu halaman buku sketsa. Sampai kemudian, dia melihat satu gambar yang membuatnya terdiam cukup lama.“Apa ini… aku?”DEG!Jantung Kalea serasa berhenti berdetak saat Hamish menanyakan hal itu. Ia baru teringat sesuatu!Gadis itu membeliak dan langsung berusaha merebut buku sketsanya. Namun, dengan cepat Hamish menjauhkan buku tersebut hingga tak terjangkau Kalea. “Kamu diam-diam menggambarku?” Hamish berdiri dengan satu tangan menahan buku tinggi-tinggi. “Kenapa menggambarku tanpa izin?”“I-Itu…” Ka

  • Mencuri Hati Tuan Hamish   Bab 10

    Sejak Hamish memberinya satu set alat gambar untuk membuat desain, Kalea kembali mengurus meja makan untuk Hamish.Gadis itu juga sudah tak pernah murung lagi. Lebih sering tersenyum dan bertingkah ceria. Ia juga mulai senang tertawa saat berkumpul dengan pekerja yang lain.“Apa … Tuan sudah memutuskan?” tanya Jordi pada Hamish yang sedang duduk santai di balkon lantai dua yang menghadap ke halaman belakang.Sudah setengah jam Hamish duduk diam di sana dengan mata tak putus memperhatikan ke para pekerjanya yang sedang merapikan rumpun-rumpun bunga. Di sana, ada May, Diana, Kalea, dan dua orang tukang kebun. Mereka sedang gotong royong sambil bersenda gurau.“Memutuskan apa?” tanya Hamish tanpa menoleh. Matanya kini mengekori Kalea yang berlari gara-gara melihat seekor ulat bulu.“Bukankah Tuan memperhatikan Kalea? Apakah Tuan akan menjadikannya salah satu wanita Tuan?”Hamish sontak menegakkan tubuh, lalu menoleh tajam.“Sejak kapan mulutmu selancang itu, Jordi?”“Maaf, Tuan.” Jordi m

  • Mencuri Hati Tuan Hamish   Bab 9

    “Hah?”“Apa kamu tuli?”Kalea mengerjap, lalu buru-buru bangkit dan berlari menuju mobil Hamish.Pria yang selalu tampil perlente dan rambut tersisir rapi ke samping itu menyusul, lalu membukakan pintu mobil untuk Kalea. “Masuk!”Kalea menurut, duduk kaku di kursi depan. Hamish pun masuk ke sisi kemudi.“Besok mau sembunyi di mana lagi?” tanyanya dingin. “Apa kamu tidak lelah terus-terusan menghindariku?”Kalea menelan ludah. “Apa selama ini Tuan tahu?” batinnya.“Tapi… bukankah itu perintah Tuan? Tuan melarang saya menampakkan diri. Saya hanya menjalankan perintah Tuan.”Hamish terdiam sejenak, lalu mengangguk pendek.“Tuan… apa saya akan dikirim kembali pada ayah saya?” Kalea memberanikan diri bertanya dengan perasaan was-was.Hamish menatapnya. Melihat wajah Kalea yang pucat dengan mata berkaca-kaca, ia memilih menjawab singkat.“Tidak.”Mendengar itu, Kalea langsung meniup napas lega sambil memegangi dada. “Lea,” ucap Hamish ketika mobil berhenti di halaman rumah. “Ikut aku ke r

  • Mencuri Hati Tuan Hamish   Bab 8

    Sudah dua hari Hamish tidak melihat keberadaan Kalea. Saat sarapan pun, meski ia datang lebih awal, gadis itu tak pernah tampak.“Apa Kalea sakit lagi?” tanya Hamish pada Diana yang sedang membereskan meja.“Tidak, Tuan. Kalea sehat.”“Lalu kenapa dia tidak pernah terlihat? Maksudku, kenapa sekarang yang bertugas di meja makan bukan dia lagi?”“Kami bertukar tugas, Tuan. Kalea meminta pekerjaan di gudang dan area belakang.”Hamish terdiam. Ingatannya kembali pada kejadian di tepi kolam renang.“Apa Tuan mencari Kalea?” tanya Diana hati-hati.“Apa? Tidak!” Hamish menjawab terlalu cepat.Selepas sarapan, bukannya bersiap ke kantor, Hamish justru berjalan ke belakang rumah, menyusuri petak-petak halaman luas yang dipenuhi pepohonan langka. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat Kalea sedang membawa sapu sambil berbicara pada sebatang pohon.Sesekali gadis itu berkacak pinggang dengan wajah marah, bahkan mengacungkan tinju berkali-kali ke arah pohon, seakan batang kayu itu la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status