Kotak merah, kotak yang dulu digunakan Carisa untuk menyimpan benda milik Sabrina. Benda berharga dan satu-satunya milik Sabrina.
"Ternyata disitu ya," girangnya.
Kalung putih bersinar, berhiaskan permata cantik berwarnakan ungu menghiasi kilau indahnya. Kalung yang menggugah untuk dimiliki oleh siapapun, tak termasuk Carisa.
"Kalau saja dulu papa nggak ngelarang aku buat ambil ini, pasti sekarang udah jadi milik aku."
"Suruh bocah tengik itu kesini dulu aja," segera ia mengirimkan pesan singkat pada Sabrina untuk datang menghampirinya.
"Beres," senangnya. Ia pun segera pergi meninggalkan gudang dan membersihkan dirinya dari debu yang bersarang ditubuhnya.
Sabrina begitu heran saat menerima pesan singakat dari Carisa, dalam benaknya ia bertanya-tanya mengapa ia diminta datang setelah diusir keluar dari rumah.
"Ada apa mama manggil aku ? Benda apa ya," gumamnya penuh tanda tanya.
Namun ia tak ingin banyak berfikir, h
Darma segera menghubungi ponsel milik Nio, namun tak satupun panggilan dijawab oleh anaknya tersebut."Dimana anak ini, apa dia lagi sama Sabrina ?" gumam Darma menatap layar ponselnya."Gimana pah," nampak khawatir Bulan. Darma hanya menggelengkan kepalanya."Mama," tangis Sasa.Kini langit senja telah berganti dengan kilauan bintang malam. Menampakan cantiknya sang rembulan."Udah malam loh pah, kenapa mereka berdua belum pulang ya?""Sabar dulu mah, kita tunggu sebentar lagi ya.""Papaa," teriak gadis kecil itu dengan langkah riangnya saat melihat kedatangan papanya."Aduh aduh aduh, anak papa yang cantik."Tanpa tahu apa-apa, Nio menggendong putri kecilnya tersebut dengan riang. Ia bahkan tak memperhatikan mata cantik gadis kecilnya yang sudah membengkak."Darimana saja kamu," tegur Bulan."Dari perusahaan mam, darimana lagi," duduk memangku Sasa dalam pangkuannya."Mama mana pah, tad
Dalam perjalanannya, Nio menghubungi papanya. Menanyakan dimana alamat Sabrina tinggal sebelumnya."Disini, tapi kenapa sepi ya?"Antonio menatap bangunan rumah megah didepannya dengan kerutan pada dahinya. Sepi, dan Nio yakin jika Sabrina tak berada disana."Kalau nggak disini, kemana si nakal itu?"Sudah 2 kali Nio berkendara berulang menyisir setiap jalan menuju rumah Max, namun ia tak juga melihat Sabrina.Namun matanya menangkap satu jalan yang belum ia lalui. Jalan yang nampak begitu sepi juga gelap."Jalan itu, apa dia lewat sini ya ?" gumam Nio ragu. Sebab jalanan itu begitu gelap juga tak ada tanda ada kehidupan disana."Gimana kalau memang disana!"Tiba-tiba saja ia begitu panik, kekhawatiran membuat Nio meyakinkan dirinya. Begitu yakin hingga ia menerobos kegelapan itu dengan mobilnya.Dan benar, begitu gelap hingga Nio sendiri kesulitan untuk sekedar melihat. Tubuh Nio tiba-tiba saja terasa
Antonio mengernyit heran saat mendengar lirih Sabrina bergumam. Nana, nama yang berulang disebut oleh Sabrina."Siapa Nana?" batin Nio meletakkan Sabrina dengan perlahan diatas ranjang."Mama," tangis Sasa masuk kedalam kamar."Ssstt, anak cantik jangan berisik ya. Mama lagi bobok," ucap Nio pada putri kecilnya.Bulan menurunkan Sasa diatas ranjang, perlahan tangan mungil itu membelai wajah lelah mamanya. Menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah ayu Sabrina."Pah, mama kenapa mukanya gini ?" polosnya bertanya."Oh, mama tadi habis main lumpur nak."Nio berkilah, ia berbohong pada putrinya agar ia tak merasa cemas."Nio, kamu bersihin badan dulu. Mama akan bantu Sabrina ganti baju dulu," ucap Bulan pada putranya."Yaudah, aku mandi dulu ma. Kalau ada apa-apa langsung kabarin ya.""Papa tenang aja ya, Sasa pasti jagain mama kok," polosnya."Anak pinter," membelai puncak kepala anaknya.Nio k
Antonio masuk kedalam kamar, melihat dokter tengah membersihkan luka ditangan Sabrina."Papa, ssstt jangan berisik," bisik Sasa saat Nio masuk kedalam kamar.Nio hanya tersenyum mendengar peringatan anaknya, matanya begitu fokus menatap dokter yang tengah memegang tangan Sabrina."Dok," panggilnya."Saya tuan," membalikkan pandangannya."Bisa nggak dokter nggak usah megang-megang tangannya," serunya dengan wajah seriusnya.Semua orang menatap Antonio dengan pandangan penuh tanya, pandangan yang begitu heran atas yang ditunjukkannya."Papa, kan om dokter lagi obatin mama.""Iya nak, tapi-"Nio, kenapa sih nak kamu ini," heran Bulan"Enggak gitu mah, " jawabnya kebingungan."Kalau cemburu lihat-lihat kondisi nak," sindir Darma pada anaknya."Maaf, apa saya boleh mengobati lagi?""Silahkan dokter," ucap Darma. Namun ia menatap anaknya yang terlihat begitu kesal melihat Sabrina disentuh laki
"Kalung-"Iya kalung apa," tanya Nio."Kalung saya sewaktu kecil pak, kalung permata ungu."Nio menghela nafasnya, diusapnya puncak kepala Sabrina dengan penuh sayang."Tenang aja, kalungnya aman sama saya."Sabrina merasa lega, tubuhnya yang tegang kini terasa lemas seketika. Dan beruntung Nio sigap menopangnya hingga tak sampai membuat Sabrina terjatuh."Hati-hati," serunya panik."Makasih pak," lemahnya."Istirahat aja dikamar, nanti bibi yang bawa sarapan kesini.""Nggak, saya harus temenin Sasa kesekolah pak.""Nggak! Saya yang akan bicara sama Sasa, saya nggak mau kamu pingsan dijalan."**Dikampus, Aldo terlihat mengawasi setiap gerak-gerik mahasiswa yang berlalu-lalang. Rey teman satu genk nya merasa heran dengan sikap temannya."Loe lagi nyari siapa sih bro," melihat apa yang dilihat Aldo."Gue nyari cewek kemarin," ucapnya."Cewek apa lagi sih.""Udah diam loe!"
"Setelah ini datang keruangan saya."Santai Nio berucap, namun Sabrina meresponnya dengan sangat kesal."Matanya nanti keluar loh," ledek Nio membuat Bulan terkekeh geli."Nanti diganti mata sapi," ketus Sabrina."Enak tuh digoreng.""Ihhh, bikin kesel aja!"Meninggalkan ruang tengah, Sabrina membawa Sasa masuk kedalam kamarnya. Dengan penuh hati-hati mengobati luka putrinya penuh dengan kasih sayang.Sasa yang kelelahan menangis tertidur dipangkuan Sabrina, penuh perhatian Sabrina mengusap pipi gadis kecilnya."Mama sayang banget sama Sasa," gumamnya tak ingin membangunkan anaknya."Sasa juga sayang sama mamanya."Sabrina terkejut mendengar Nio menyahuti ucapannya. Sejak paka laki-laki itu disana ? Itu adalah pertanyaan pertama yang terlintas dalam pikirannya.Nio melangkah masuk, mendudukan dirinya dengan santai ujung ranjang putrinya."Tukang nguping," ketus Sabrina."Buka
Sabrina menatap lembaran kertas diatas meja milik Antonio, dahinya berkerut saat membaca tulisan yang tertera diatas kertas. "Dokumen pernikahan," gumamnya. Antonio hanya melipat tangan juga menganggukan kepalanya. "Maksudnya ini apa ?" "Udah jelas masih aja nanya, dasar aneh," cibir Nio dengan nada kesalnya. "Pak Antonio, bisa jelaskan dokumen apa ini," menunjukkan lembaran dokumen tepat dihadapan Nio. Dengan kasar Nio merebut kertas tersebut, kemudian ditempelkannya didahi Sabrina sambil berkata," Cepat isi dokumen ini." "Nggak!" "Oh jadi kamu lebih suka digosipin ya," ucap Nio dengan tak jelas. "Nggak usah bertele-tele deh pak, langsung aja," kesal Sabrina mendudukan dirinya dikursi. "Kamu nggak tahu ya jadi bahan gosip diarea rumah?" "Gosip? gosip apa memangnya," herannya penuh rasa ingin tahu. Antonio kemudian menjelaskan semuanya pada Sabrina, termasuk soal dirinya yang dianggap simpana
Sabrina mengisi dokumen itu dengan pengawasan Nio yang setia berdiri di sampingnya. Mata tajamnya itu tak lepas dari tangan Sabrina yang tengah fokus menulis. "Yang bener kalo ngisi," seru Nio dengan jahilnya. "Brisik banget!" Nio tersenyum mendengar gerutuan Sabrina terhadapnya, ia merasa seperti remaja yang tengah dimabuk asmara. "Lama banget deh ngisinya, keburu kantornya tutup nih," seru Nio. "Yang diisi itu banyak pak, jadi sabar dan jangan ganggu saya." Nio menggaruk kepalanya yang tak gatal itu, ingin rasanya ia terus menggoda wanita disampingnya melihat wajah lucu yang akan diperlihatkannya. Namun ia tak lupa jika wanita disampingnya juga bukan wanita lembut yang diam saja saat digodanya. "Nih," menyerahkan lembaran kertas yang telah diisinya. Nio meneliti semua isi dokumen yang Sabrina isi, senyum mengembang dari bibirnya saat merasa puas dengan apa yang dibacanya. Dikecupnya kepala Sabrina dan berlari keluar d