Sungguh, aku tidak tahan dengan keadaan ini apalagi sendirian di rumah. Tanpa mengulur waktu, aku mengirim pesan pada Melinda memintanya datang ke rumah. Bertindak sendirian akan lebih berbahaya apalagi dalam keadaan hamil lima bulan.
Hati yang tidak tenang membuatku membuang napas kasar berulang kali. Takdir kali ini bagai disambar elang. Bernasib buruk sekali.
Hampir dua jam duduk termangu di ruang tamu, kini aku mendengar suara ketukan di pintu. Pasti itu Linda. Aku beranjak dari kursi, membuka daun pintu perlahan.
"Mas Agung?" Aku terkejut bukan main melihat suami sendiri pulang secepat ini padahal seharusnya sedang bekerja.
"Mas lupa bawa ponsel, Dek." Mas Agung tersenyum manis, lalu masuk rumah tanpa kata lagi.
Sialnya aku malah tidak tahu hal itu karena setelah mereka pergi tadi, aku belum beres-beres rumah melainkan melamun banyak hal.
Aku menyusul masuk kamar, dia terlihat mengotak-atik benda pipih itu. Namun, mataku fokus pada sesuatu yang mencurigakan. Kaki menuntun mengikis jarak, tanganku kini memegang daun telinga Mas Agung.
"Mas, telingamu kenapa merah kayak ada bekas gigitan?"
Mas Agung terperanjat sambil menepis kasar tanganku. "Ini digigit semut tadi. Sudahlah, mas mau balik ke kantor."
"Mas!" tekanku dengan suara keras.
Perempuan mana yang akan percaya ketika melihat bekas gigitan manusia yang dikata semut. Anak kecil saja bisa membedakan itu. Akan tetapi, Mas Agung gegas pergi dengan langkah cepat.
Sekali lagi aku hanya bisa mengelus dada. Belum ada bukti tentang perselingkuhan Mas Agung sehingga aku terpaksa diam. Jika bertindak tanpa bukti malah akan melukai hati sementara dia tertawa senang dengan kekasih gelapnya.
Pintu rumah kembali terketuk, aku yakin kali ini adalah Melinda. Dengan napas yang masib memburu aku keluar kamar dan membuka pintu utama. Dia datang dengan senyum manis.
"Masuk, Lin!"
"Kamu yakin Mas Agung selingkuh?" tanya Melinda setelah aku ceritakan perkara semalam dan kejadian serupa sebelumnya.
"Yakin banget, Lin. Dia manggil sayang dan ngasih kecupan. Tadi aja Mas Agung sempat balik karena lupa ponselnya, aku lihat ada bekas gigitan di telinganya." Akhirnya, air mata jatuh tanpa permisi.
Melinda mendekat, dia duduk di sampingku dan membawa diri ini dalam pelukannya. Aku menangis sedu sedan karena luka yang menohok hati.
Pernikahan dengan Mas Agung baru setahun kami jalani, tetapi sudah ada sosok yang menggoyahkan bahtera kami. Ada rasa khawatir yang menguasai diri karena sadar kami menikah lewat perkenalan singkat.
Tidak ada pacaran, hanya kenal biasa. Dalam waktu satu bulan, Mas Agung datang menemui bapak berkeinginan untuk melamar. Kala itu, beberapa saudara menentang karena kami belum mengenal terlalu jauh, hanya saja sikap Mas Agung yang sopan serta perhatian berhasil membuka hati ini begitu mantap.
"Bukannya sebelum menikah sudah ada gelagat aneh, Ning? Makanya aku bilang periksa ponselnya." Melinda mengurai pelukan, dia menatapku dalam.
"Lin, aku percaya banget sama Mas Agung itu karena lihat sikapnya. Apalagi dia rajin salat dan mengirim voice note mengaji."
"Seminggu sebelum menikah kita melihat Mas Agung jalan dengan seorang perempuan, 'kan? Sayang sekali perempuan itu pakai masker."
"Aku sudah menanyakan itu, Lin. Katanya mereka saudara sesusuan. Waktu menikah dia tidak datang, entah karena apa. Aku tidak ingin bertanya terlalu dalam, takutnya disangka suudzon," jelasku dengan suara parau.
Melinda menghela napas panjang, kemudian mengatup bibir. Perempuan yang selalu cantik dengan jilbabnya itu menunduk, mungkin memikirkan jalan keluar.
Kalau saja boleh jujur, aku cemburu pada Melinda yang suaminya setia sekalipun kerja di Kalimantan. Sampai sekarang kabarnya rumah tangga mereka baik-baik saja padahal belum dikaruniai anak di usia pernikahan menuju lima tahun.
"Kayaknya lebih baik bertanya langsung sama Mas Agung daripada terus berprasangka seperti sekarang. Kalau semua sudah jelas, kamu tinggal memintanya memilih ingin hidup dengan istri atau selingkuhannya."
Aku menatap Melinda yang baru saja mengangkat wajah. Di mata itu ada binar luka, memang hal wajar sebagai seorang sahabat.
"Tidak, Lin. Aku tidak akan pernah menanyakan itu pada Mas Agung. Lihat kondisiku sekarang, lagi mengandung anaknya. Khawatir anak ini lahir tanpa sosok ayah." Tangan kananku mengelus perut perlahan dengan derai air mata.
Melinda menutup mata, mungkin menelan luka yang sedang menggerogoti jiwa. Seandainya marah pun, aku akan tetap diam karena Melinda selalu mengingatkan bahwa lelaki yang sedang mendekatiku belum tentu bertabiat baik.
Saat itu aku marah, menuduh Melinda cemburu karena Mas Agung lebih tampan dari suaminya. Tentu tersinggung, tetapi dia tidak berubah bahkan turut berbahagia di hari pernikahanku.
"Malam nanti, awasi pergerakan Mas Agung. Kalau bisa kamu pura-pura tidur saja tanpa ada masalah biar dia tidak curiga. Aku akan membantumu dari jauh nanti, apa pun yang terjadi kita harus saling menguatkan. Kamu bersedia?" Melinda mengulur tangannya.
"Aku bersedia," balasku.
"Jangan lupa foto dia kalau sedang mainin ponsel, ganti kata sandi agar Mas Agung tidak bisa mengecek galeri dan percakapan kita. Kalau ponselnya disimpan, kamu harus bisa membukanya!"
"Ponsel Mas Agung dikunci dengan sidik jari, apalagi What$App, tentu diamankan dua kali." Aku mendesah putus asa mengingat sudah pernah mencoba membuka aplikasi hijau itu.
Berbeda dengan Melinda, dia malah tersenyum dan membisikkan sesuatu padaku. Tentu saja cara membuka aplikasi yang terkunci dengan sidik jari. Walau sedikit susah karena harus mencari tahu kata sandi utama, tetapi aku bersikeras akan melakukannya.
"Kita akan berhasil, Lin? Kamu yakin?"
"Tentu saja. Cara itu sudah pernah aku lakukan ketika membuka aplikasi sosial media milik Mas Tono. Beruntung tidak ada kontak perempuan selain aku, ibu dan saudara kandungnya. Kontaknya juga sangat sedikit, jadi tidak ada kemungkinan dia bermain api di Kalimantan."
Aku mengangguk paham, sambil menghafal cara yang dibisikkan Melinda tadi. Nanti malam biar menguping lagi, kalau ada kesempatan tinggal foto. Nah, besok saat Mas Agung mandi, aku bisa mengotak-atik ponsel itu.
"Apa kira-kira akan cukup waktu, Lin? Mas Agung itu mandi sekitar setengah jam." Aku bertanya ragu.
"Tentu saja cukup. Aku malah mengecek waktu Mas Tono ke masjid untuk salat subuh. Singkat banget, kan? Lagian bisa kali ngeceknya dicicil asal tidak ketahuan suami aja."
Jiwa berdenyut nyeri begitu mengingat kejadian semalam. Aku memantapkan hati sekaligus memberi kekuatan pada diri sendiri agar tidak lemah. Seorang istri tidak boleh diam saja ketika ada benalu yang mencoba merebut suami kita.
Sungguh aku mencintai Mas Agung dengan tulus, tetapi dia malah berkhianat. Suatu hari dia pasti menyesal, lalu bertekuk lutut meminta maaf.
Itu suara ayah mertua. Untung saja Mas Darwis sudah duduk di sisiku. Mereka serentak menjawab salam bersamaan dengan ibu mertua yang keluar membawa Fatir. "Anak siapa itu, mirip sekali sama Agung?" Pertanyaan ayah meyakinkan diri ini kalau dia belum pernah bertemu Fatir atau sekadar mengetahui perselingkuhan anaknya. Memang sejak awal menjadi menantu di rumah ini, ayah bilang sudah menganggap aku sebagai putri sendiri. Terbukti, dia selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah dengan dalih seorang putri terkadang harus dimanjakan. Namun, aku hanya menanggapi dengan senyum, lalu membantu ibu di dapur. "Ningsih, datang kenapa gak bilang-bilang? Agung bilang kamu ngidamnya itu tidak mau melihat muka suami, makanya mama sama mas kamu datang. Sekarang sudah rindu?" Ayah mertua bertanya dengan nada menggoda. Sepertinya memang belum tahu keadaan yang sebenarnya. Senyum lelaki berperut besar itu merekah sempurna apalagi setelah melihat perutku. Dia berdoa agar anak ini sehat wal afiat. "M
"Bukan urusan aku?!" Melinda tersenyum sinis. "Sejak sebelum kamu menikahi Ningsih, dia memang sahabat aku. Jadi, urusan dia, urusan aku juga!""Mema–""Bayar duit aku kalau kamu masih punya muka!" kataku ketus.Sekarang bukan masanya menghargai suami yang telah menipu dan menghancurkan masa depan kita. Persetan pula dengan rasa cinta, semuanya sudah lenyap.Aku berusaha kuat bukan karena tidak ingin dikata perempuan lemah dan bodoh, tetapi memang ingin menguak kebenaran. Tidak mungkin kita terus mengagungkan cinta pada lelaki penipu."Beri aku waktu, Ning. Selama ini kan kamu juga menikmati gaji aku," lirih Mas Agung.Aku heran kenapa dia bisa memelankan suara sekaligus merubah ekspresi padahal tadi angkuh sekali. Suara hati menolak tegas untuk mengasihaninya."Aku menikmati uangmu, kamu menikmati tubuhku. Ini bukan tentang pelacuran, tetapi nafkah! Kamu pikir nafkah batin cuma perkara hubungan badan? Hati istri juga harus dipikirin, Mas. Lah gimana kamu mau mikirin istri kalau terny
Ditemani Mas Darwis dan Melinda, aku benar-benar meluncur ke rumah ibu mertua sementara mama menjaga rumah sekaligus mencari tahu info tentang Ainun.Aku sengaja duduk di belakang bersama Melinda agar dia tidak canggung-canggung amat. Dalam perjalanan, kami menonton video di beberapa aplikasi."Viral!" pekik Melinda ketika aku baru saja menoleh ke jendela samping kiri."Apa yang viral?"Melinda tidak menjawab karena bibirnya melengkungkan senyum yang merekah indah. Aku lihat itu postingan Bu Yuyun di Facebo0k waktu di rumah Pak RT tadi.Ada ribuan komentar, ribuan laik bahkan ratusan orang yang share tanpa izin. Beragam kalimat umpatan dan sumpah serapah tertuju pada Ainun dan Mas Agung."Mereka memang pantas mendapatkan itu, Lin," kataku kemudian.Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Mas Agung telah berani menghancurkan masa depanku. Sekolah yang aku perjuangkan selama bertahun-tahun terasa sia-sia. Namun, tidak mengapa karena pasti ada hikmah di balik semua ini.Aku harus kuat demi ana
"Kamu menikahi aku dengan pura-pura menjadi laki-laki baik padahal itu semua untuk menutupi aib kamu. Berulang kali aku memergokimu teleponan sama Ainun dan kamu pikir aku gak merekam dan mengambil fotomu, Mas?!" Aku membuang napas perlahan. "Semua bukti ada di ponselku!""Tenang, Bu," kata Pak RT. Kali ini sepertinya dia lebih simpatik sama aku."Berhari-hari aku menyimpan sesak sendirian, Mas. Aku terluka, batinku tersiksa dalam keadaan hamil begini. Kamu itu suami pezina dan tidak pantas punya muka!" teriakku lagi sambil memukul kepalanya."Astagfirullah, ternyata Fatir itu bukan anaknya Haiqal!" tukas Bu Ana.Aku berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Ainun dan Mas Agung bergantian. "Kalian pikir aku ini bodoh apa?! Setiap Ainun datang ke rumah minta nebeng, aku tahu kalau itu cuma modus. Makanya aku berusaha bersabar. Kalian brengsek!" pekikku.Bu RT langsung membawaku dalam pelukannya meminta agar bisa sedikit tenang apalagi sedang mengandung. Kalau saja tidak berdosa, sudah la
Di rumah Pak RT tidak begitu ramai, hanya ada istrinya juga semua orang yang ada di rumah. Jantung sedikit berdegup lebih cepat ketika melirik pada Ainun yang menajamkan pandangan serupa elang yang mencari mangsa.Aku tidak takut padanya, hanya enggan mencari ribut. Sejak dulu aku benci perdebatan dan juga masalah, tetapi sekarang masalah datang dengan kapasitas yang sangat besar.Sampai aku tidak bisa lari. Sampai aku tidak bisa mengelak. Sampai aku sering merasa kalah."Jadi benar kalau Ningsih selingkuh dengan Haiqal, sementara Agung dengan Ainun?" tanya Pak RT. Dia menatap penuh intimidasi."Ya enggaklah, Pak. Yang bener itu Ningsih berusaha ngerebut suami aku," jawab Ainun dengan tawa meremehkan.Tatapannya yang seperti sedang mengejek semakin membangkitkan rasa semangat dan keberanianku untuk mempermalukan mereka di sini. Biar saja viral karena aku tahu, Bu Yuyun sedang menyalakan kamera."Bohong!" elakku tegas."Tunjukkan bukti-bukti. Kalian tidak bisa menuduh atau mengelak tan
"Menduakan apa? Aku gak ngerti, Gung, kenapa kamu datang dengan muka sepucat itu seperti habis dikejar setan aja!" cebik Mas Darwis. "Eh?" Mas Agung tersentak. Keringat di pelipisnya semakin banyak. Bibir itu gemetar, tetapi berusaha dia tutupi dengan melipatnya kuat-kuat. Aku tertawa pelan melihat reaksi Mas Agung. Dia pasti mengira aku sudah cerita semuanya pada masku. Ya memang belum sih, tetapi tetap saja dia sudah tahu karena mendapat inbox itu. Namun, melihat adegan ini membuatku ragu kalau pemilik akun itu adalah Mas Agung. Tidak mungkin dia sebodoh itu sampai ketar-ketir padahal sudah memberi tahu Mas Darwis. Tersangka selanjutnya adalah Ainun. Ah, entahlah. Bisa jadi perempuan itu sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai kami sampai akhirnya bercerai karena diadu domba. "Tadi kamu bilang apa, Mas? Berpaling pada Mas Haiqal?" Aku tersenyum miring. "Sejak kapan aku suka sama suami orang? Aku juga masih punya harga diri." "Memang kamu suka sama Haiqal, kan?" Mas Agung m