"May, biar aku aja. Mendingan sekarang kamu pulang." Davin meraih piring kotor yang akan dibawa Maya ke tempat pencucian piring.
"Nggak pa-pa, biar aku aja. Kamu siap-siap aja dulu. Mau ke cafe, kan?" tolak Maya sambil tersenyum manis.
"Iya, tapi aku nggak enak aja. Lain kali, kalau mau ke sini, kamu bilang dulu, ya. Entar ada yang baper."
Maya mengangguk. "Okey."
"Sip. Aku siap-siap sebentar." Davin lantas beranjak menuju kamarnya.
Pada saat Davin menanggalkan pakaiannya, Maya tahu-tahu membuka pintu kamar.
"May? Ngapain ke sini?" tanya Davin. Ia mengambil kemeja dan memakainya.
Maya mendekat, tatapannya dalam, membuat perasaan Davin tak nyaman.
"Dav, kamu tau kan, aku nggak bisa kehilangan kamu?"
Davin mengulum bibir, lalu berkata, "May, kita udah bicarakan ini baik-baik, kan?"
Halo, apa kabar? 🤭🤭🤭****"Ri, lo lihat sepatu futsal gue nggak?" Davin bertanya sambil berjalan menuju ruang keluarga, di mana beberapa menit yang lalu dia melihat Kaori sedang menonton di sana."Lah? Malah tidur...." Davin mendekati Kaori yang tengah tertidur pulas di atas sofa. "Tumben jam segini udah tepar? Biasanya juga masih gentayangan tengah malam."Davin melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Sebenarnya dia ada janji untuk main futsal dengan teman-temannya malam ini. Namun melihat Kaori tidur sekarang, membuatnya enggan meninggalkan Kaori sendirian di rumah."Oi, bangun! Tidur itu di kamar," ucap Davin, berniat membangunkan Kaori untuk menyuruhnya pindah ke kamar dan mengunci pintunya. Dengan begitu, Davin tidak akan begitu khawatir meninggalkannya sendirian.Tapi, tubuh itu tidak bergerak."Ri, gue mau keluar sebentar. Lo
Koreksi kalau ada kesalahan, aku nggak baca ulang, hehehe.****Kaori terbangun saat merasakan ada sesuatu yang menekan wajahnya. Sesuatu yang berat dan berbulu. Ketika dia membuka mata lebar-lebar, barulah dia tahu itu apa. Kaki Davin, yang entah bagaimana ceritanya bisa berada di wajahnya. Kaori lalu mengambil posisi duduk dan terkejut bukan main sewaktu melihat Davin berada di kasurnya.Sejak kapan mereka tidur seranjang???Kaori menarik bulu kaki Davin kuat-kuat sampai si empunya kaki terbangun dan meringis kesakitan."Aduh!" Davin menarik kakinya dan terduduk. Dengan terkantuk-kantuk, dia menoleh ke sekeliling. "Kenapa sih?!""Ngapain lo tidur di kasur gue? Sampe tuh kaki ke muka gue lagi!" semprot Kaori.Davin mengerjapkan matanya. "Masa?""Iya! Lo kemarin cuma modus doang, kan? Ngaku nggak lo udah ngapain gue tadi malam? Lo nggak gr
Halo, yang lupa ceritanya gimana, baca ulang ya wkwkwkwkw.***Sepuluh menit berlalu, tapi Davin dan Maya belum juga keluar rumah. Apa mereka masih di dapur? Atau jangan-jangan sudah pindah ke kamar? Huft! Pikiran Kaori benar-benar kacau. Kenapa dia selalu berpikir macam-macam tentang mereka berdua sih? Gimana enggak? Mereka itu kan pernah pacaran. Secara juga putus pas lagi sayang-sayangnya. Nah, kalau ada kesempatan, bisa saja kan mereka saling memberi harapan lagi?"Ri, kenapa? Kok, melamun?" tegur Kafka sehingga membuat Kaori terkesiap."Eh, ini, kepalaku tiba-tiba pusing. Terus, aku mual juga."Padahal, sebenarnya tidak. Hanya alasan semata. Pikiran Kaori sekarang tertuju pada Davin dan Maya. Sedang apa mereka di dalam sana? Suaranya juga nggak kedengaran. Mencurigakan...."Ya udah, mendingan sekarang kamu masuk deh. Aku pulang aja.""Serius, nggak ap
Davin cepat-cepat turun dari atas tubuh Kaori lalu bangkit dan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Kaori pun langsung bangkit dan berdiri di sebelah Davin dengan salah tingkah. Dia menginjak kaki Davin dan menekannya kuat sampai-sampai Davin meringis kesakitan, tapi Kaori tak menghiraukannya."Eh, Mama sama Mami dateng!" seru Kaori dan menghampiri keduanya. Dia menoleh sesaat ke arah Davin dan melotot."Kamu udah sembuh, Ri?" tanya Kintan."Udah, sih. Cuma agak lemas aja, Mi.""Oh, gitu. Kamu nggak kerja, Dav?"Davin mendekat seraya menjawab, "Enggak, Mi. Mau di rumah aja jagain Kaori. Kasihan kalo ditinggal sendirian."Kaori menyipitkan mata dan tersenyum. "Mama sama Mami dari mana?""Tadi habis nyalon. Jadi, sebelum pulang, kami mampir dulu ke sini lihat kamu. Kan kemarin sakit. Tapi, Alhamdulillah kalo kamu udah merasa lebih baik sekarang,
**Hasil perjuangan nulis setelah drama bocil yang membagongkan. Selamat membaca gais! *** Kaori membuka mata ketika merasakan suhu kamarnya meningkat. Bukan hanya menjadi pengap, sekelilingnya pun berubah gelap gulita. Mati lampu? Sekarang jam berapa? Kaori pun perlahan bangkit dan mencari ponselnya di sekitar kasur. Seingatnya, tadi sehabis mandi sore, dia menaruhnya di atas bantal. "Mana, sih?" cetusnya kesal. Akhirnya, Kaori pun beranjak dari sana lalu berjalan sambil meraba-raba untuk mencari pintu. Di luar, sepertinya hujan sangat deras dan sesekali terdengar suara petir menyambar. Mungkin itulah sebabnya ada pemadaman listrik. "Pintunya mana lagi?" Kaori meraba dinding dan belum juga menemukan di mana pintu kamarnya berada. Davin mana, ya? Apa dia di rumah? Soalnya, seingat Kaori, tadi sehabis makan siang di
Setelah semalaman tidur dalam keadaan gelap gulita dan digigiti nyamuk, akhirnya pada jam tujuh pagi listrik sudah kembali menyala. Saat itu, Kaori belum sepenuhnya bangun, dia masih rebahan di ranjang sambil memeluk guling. Kaori masih belum ingat kalau dia sedang berada di kamar Davin sampai pria itu keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk. Kaori mengendus ketika mencium aroma cologne yang segar dan manis, namun matanya belum membuka sepenuhnya lantaran silau akan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kaca yang terbuka lebar. Selain mencium aroma yang mencurigakan, Kaori juga mendengar ada suara seseorang sedang bernyanyi kecil, juga suara lemari dibuka dan ditutup. Kaori kemudian membuka matanya lebar-lebar dan terkejut begitu melihat Davin berdiri di depannya dengan bertelanjang dada. Cowok itu bahkan sedang memegang underwear berwarna hitam ketika mereka saling menatap. "Lo ngapain?!" teriak Kaori lantang, seolah-olah nyawanya s
Rasa benci bisa membuat seseorang menjadi egois. Tetapi, rupanya selain itu bisa juga membuat seseorang merasa gelisah tak menentu, persis seperti yang sedang Kaori rasakan. Kaori benci Davin, kata hatinya. Namun, di sisi lain, dia marah jika Davin mengacuhkannya. Paham, nggak? Enggak, kan? Sama, Kaori juga nggak paham. Kenapa tiba-tiba dia jadi merasa seperti istri yang tersakiti, sih? Kaori nggak suka kalau Davin lebih akrab dengan Putri, ya walaupun si Putri itu sahabatnya. Lagian, Putri juga keterlaluan deh. Dia ke sini kan buat ketemu Kaori, kenapa malah jadi berduaan sama Davin di dapur? Ngapaaaaain coba? Bener-bener ya tuh anak! Minta disentil ulu hatinya. "Ri! Makan, yuk!" Pintu kamarnya membuka dan menampilkan sosok Putri yang wajahnya berbinar-binar. "Lo ngapain sih deket-deket sama si Keong Racun? Lo pasti udah diracuni sama dia," cetus Kaori, belum mau beranjak dari ranjan
🌼 Jika ada yang mengatakan masa SMA adalah masa yang paling indah, mungkin ada benarnya. Di mana saat itu, jatuh cinta adalah hal yang paling indah. Seperti yang orang-orang bilang, berjuta rasanya. Dan ya, itulah yang Kaori rasakan saat itu. Dia jatuh hati pada seorang cowok berjambul dengan wajah manis yang tak bosan-bosan dipandang. Awal mula hati itu terpanah adalah ketika di suatu hari yang panas terik, di tengah lapangan saat jam olahraga berlangsung, cowok itu datang dan menawarkannya sebotol minuman. Dia tersenyum manis sekali, membuat remaja perempuan di sekitar mereka meleleh dan salah tingkah. Namun, tidak dengan Kaori. Dia membeku, seiring jantungnya yang berdetak kencang seperti pacuan kuda. Kaori