Kecemasan menghinggapi perasaan Bunga. Dia tahu, pasti Kakek Bram akan mengetahui kalau dia mendengarkan semua itu. Bunga tak punya alasan pada Kakek Bram, sudah tidak mungkin untuk mengatakan kalau dia tidak mendengar semuanya."Itu artinya kau harus segera pergi dari sini. Aku ingatkan kau sekali lagi. Enyahlah dari kehidupan kami," ujar Kakek Bram. Suaranya terdengar sangat tegar. Namun, ada kekhawatiran di dalam intonasi suaranya yang terdengar terlalu cepat."Kali ini aku pergi, sepertinya ada pengganggu kecil di rumahmu ini. Lain kali aku akan datang lagi, sampai kita mencapai kesepakatan." Suara Sarah terdengar tak kalah lantang.Bunga masih berdiri kaku, menutup mulutnya. Dia ketakutan pada konsekuensi. Tidak mungkin Bunga pergi dan menghindar dari segala pertanyaan yang nanti mungkin dicetuskan Kakek Bram padanya.Dari tempatnya berdiri, Bunga bisa mendengar langkah kaki perempuan paruh baya itu menuju pintu. Sesaat kemudian, Bunga bisa mendengar suara mesin kendaraan yang te
Belum lagi Bunga sempat me jawab permintaan Kakek Bram, telepon genggamnya sudah berbunyi kencang. Kakek Bram terdiam dan mengalihkan pandangan matanya dari Bunga. Seolah memiliki firasat, kalau Alvaro sudah mulai mencari Bunga.“Sebentar ya, Kek. Ini telepon dari Alvaro,” ujar Bunga meminta waktu pada Kekal Bram. Lelaki tua itu mengangguk.“Halo, sebentar ya, aku mencarikan file yang dibutuhkan kemudian segera kembali,” jawab Bunga dengan ragu-ragu ketika menerima sambungan telepon dari Alvaro.“Halo, kenapa lama sekali? Kau baik-baik saja, kan? Kau membuatku khawatir,” ujar Alvaro. Bunga kembali mencoba menenangkan Alvaro. Dia tidak ingin Alvaro merasa khawatir sekaligus tidak ingin berdusta pada Alvaro. Bunga merasa di berada di dalam dilema.“Jangan terlalu lama disana, tapi kalau di jalan juga jangan terburu-buru. Berkendara dengan pelan saja,” pesan Alvaro sebelum Bunga menutup panggilan teleponnya.“Apa dia bertanya? Dia curiga karena kau terlalu lama disini?” tanya Kakek Bram.
Leo menanti Bunga bercerita lebih lanjut tentang pertanyaannya. Namun Bunga tetap terdiam. Wajahnya tampak berpikir. Itu membuat Leo sendiri merasa tak yakin Bunga tadi mendengarkan pertanyaannya atau tidak.“Hei, kau baik-baik saja, kan?” tanya Leo.“Eh, ya Leo. Ya, aku baik-baik saja,” ujar Bunga.Pertanyaan Leo membuat pikirannya kembali tersadar. ‘Mungkin sebaiknya aku tidak usah menceritakan pada Leo. Aku tidak yakin dia tidak akan bercerita pada Alvaro,’ pikir Bunga. Bunga tahu persis kalau Leo adalah sahabat Alvarosejak dulu. Mungkin saja lelaki itu loyal pada Alvaro.“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi sejak kembali ke kantor hari ini kau tampak sedikit galau,” ujar Leo. Dia kembali memancing jawaban dari Bunga. Bunga yang sadar kalau dia sedang dipancing oleh Alvarolangsung berdiri dan merapikan mejanya dari kotak makanan untuk makan siangnya tadi.“Tidak apa-apa, Leo. Aku hanya ingin tahu. Aku sedikit galau karena tadi kelaparan, sekarang aku galau karena keke
Ketika jam kantor selesai, Alvarosudah berdiri di depan pintu ruangannya. “Leo, suruh seseorang mengantarkan mobilku ke rumah nanti,” perintah Alvaro. Dia memberikan kunci mobilnya kepada Leo.“Baik, lalu bagaimana Bapak akan pulang?” tanya Leo.“Menumpang mobil sekretarisku, bukan mobilmu, mobil Bunga.” Senyum usil Alvarolangsung mengembang di wajahnya. Leo langsung ikut tersenyum geli saat Bunga berubah tegang. Leo tentu saja paham, mungkin Alvarodan Bunga ingin pergi berkencan.Bunga memandang ke sekitar mereka. Setelah memastikan tidak ada pegawai lain di sekitarnya, Bunga memandang Alvaro. “Karyawan bisa melihatmu naik ke mobilku,” ujar Bunga.“Apa salahnya? Aku berulang kali naik ke atas mobil Leo, tak ada yang mempermasalahkan,” jawab Alvaro lugu. Menyadari kalau pada saat ini sudah selesai jam kerja, Leo tertawa lebih bebas untuk bercanda dengan Alvaro.“Tentu saja mereka tak akan mempermasalahkan, kalian kan normal,” gerutu Bunga.“Siapa yang tahu normal atau tidak, Nona Sekr
Alvarolangsung menutup mulut Bunga ketika gadis itu hampir berteriak. Bunga menutup bagian depan tubuhnya, menyadari suaminya bereaksi ketika melihatnya dalam balutan busana seksi seperti itu.“Jangan berteriak,” bisik Alvaro. Setelah Bunga mengangguk, Alvarobaru melepaskan tangannya dari mulut Bunga. “Apa kau ingin mereka menyangka kita melakukan hal yang tidak-tidak di dalam ruang ganti?” tanya Alvaro. Bunga menggeleng cepat.“Tapi kau jangan usil seperti itu, menakutkan,” ujar Bunga sambil menutupi tubuhnya dengan pakaian kerja yang tadi dilepaskannya untuk mengenakan lingerie.“Aku tidak sengaja,” ujar Alvarodengan sunyum usil. Bunga meringis mendengar pengakuan tak sengaja dari Alvaro.Bunga lantas mengganti pakaiannya kembali. Dia merapikan semua pakaian yang tadi dicobanya. “Apa kau sudah ‘tenang’? Kalau sudah, kita keluar dari ruang ganti ini,” kata Bunga. Alvaromenarik nafas pelan dan panjang untuk menguasai dirinya, mengatasi hasrat yang bergejolak di kepalanya tadi.“Sudah
Alvaroduduk diam di depan meja rias Bunga. Dia menaruh telepon genggamnya yang tidak pernah berhenti berbunyi sejak tadi, bahkan sebelum Bunga masuk ke dalam kamar mandi. Setelah deringnya selesai, disusul oleh dering berikutnya. Mungkin sudah lebih dari lima kali Sarah menyambungkan telepon pada Alvaro.“Apakah ini benar-benar hal yang serius?” gumam Alvaro.Sebenarnya Alvarotidak mau menerima panggilan itu, namun entah mengapa pikirannya tiba-tiba saja terganggu. Terlebih bila membayangkan raut wajah dan suara Sarah yang seolah sangat dikenalnya. ‘Lebih baik aku menerima saja, supaya aku tahu apa yang sedang terjadi,’ batin Alvaro.“Halo, Ibu Sarah, apakah ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya Alvaro.“Halo, Pak Al, maafkan kalau saya menghubungi. Tapi ada sesuatu yang terjadi pada Alexa ketika kami sedang mengerjakan video untuk kepentingan perusahaan,” ujar Sarah.“Sesuatu? Apa yang terjadi? Mohon diterangkan dengan jelas, Bu,” jawab Alvaro. Alvaromemang sedikit kesal. Urusan pembuata
Bunga sedang berusaha mengatur detak jantungnya agar lebih tenang. Hari ini perusahaan tempatnya bekerja mengelar acara penghargaan untuk karyawan-karyawan berprestasi.Gadis dua puluh empat tahun sudah mengerahkan seluruh penampilan dalam bersolek. Ia tidak ingin melakukan kesalahan sedikitpun dalam acara penting semacam ini.“Bunga Lestari.”Suara pembawa acara menggema di setiap sudut ruangan. Menyerukan namanya yang menjadi karyawan terbaik di tahun ini.Dengan perasaan senang ia berjalan menuju panggung. Menerima plakat penghargaan.Tepuk tangan riuh menghiasi ruangan, Bunga mengucapkan terima kasihnya dan sedikit memberi pidato, ia turun dengan membawa penghargaan di tangannya, ucapan selamat tak henti-hentinya Bunga dapati.Namun benar kata pepatah semakin tinggi pohon maka akan kencang angin menerpanya, Vanesa dengan sengaja menghujatnya, dan mengatakan jika selama ini Bunga hanya mengandalkan fisiknya untuk memikat hati manager.Padahal semua orang tau, Bunga bekerja dengan se
MenikahBunga mematut dirinya di depan meja rias matanya menatap lesu pada bayangan seorang gadis yang telah mengenakan baju pengantinGaun panjang berwarna putih dengan make up Flawless menambah kecantikan gadis itu ia terlihat begitu Anggun dan mempesonaGadis dalam bayangan itu nampak terlihat lebih dewasa dari biasanya rambutnya disanggul rapi menggunakan penjepit rambut yang begitu sederhana namun tetap terlihat eleganGaun putih panjang yang sedikit mengekspos pundaknya membalut tubuhnya yang ramping namun berisi dengan begitu sempurnaTak ada yang spesial dengan gaun pengantinnya itu hanya saja saat Bunga yang mengenakan gaun pengantin itu gaun itu begitu pas dan cantik membalut badannya lagi-lagi helaan nafas terdengar dari mulut gadis itu atau lebih tepatnya seorang wanita yang sebentar lagi akan menyandang status istri dari seseorang sedikitpun Tidak terpikir di benak Bunga bahwa dia akan menikah semuda ini, jika saja di izinkan, saat ini ia sangat ingin kabur dan melarikan d