Beberapa minggu sudah berlalu dan Delena tetap tinggal di kediaman Heins. Dalena juga sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan.
Namun, beberapa hari ini ia absen bekerja lantaran Dalena merasakan tubuhnya lemas dan selalu mual tiap kali usai makan dan menghirup aroma daging.Pagi ini pun Dalena mual-mual di dalam kamar mandi, hingga mengundang curiga Heins yang beberapa hari ini terus memperhatikannya.“Dalena,” panggil Heins masuk ke dalam kamar Dalena dengan berhati-hati.Laki-laki itu menatap Dalena yang kini keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat.“Berbaringlah, aku akan memeriksamu,” ujar Heins membantu Dalena.Gadis itu berbaring. Heins mengambil peralatannya sebelum memeriksa betul-betul kondisi Dalena.“Aku tidak papa kan, Heins?” tanya Dalena lemah.Heins tertegun. Bagaimana mungkin ia akan diam saja dengan pemeriksaan yang cukup mengejutkankannya ini?“Maaf kalau aku lancang. Tapi kalau boleh aku bertanya, apa kau mengalami terlambat masa datang bulan?” tanya Heins menatap Dalena ragu.“Aku...” Dalena menggantung ucapannya dan mulai menyadari hal ini. “Aku memang terlambat bulan ini.”Ekspresi Dalena jauh lebih pucat, telapak tangannya meraba perutnya yang rata di balik dress abu-abu yang dia pakai dan membuatnya terdiam dipenuhi rasa takut.“Kau sedang hamil, Dalena,” ungkap Heins pada akhirnya.Tubuh Dalena seakan dihantam batu besar. Ia menatap Heins antara ingin menjerit tak percaya dan marah pada fakta yang terjadi.Air mata lolos di pipi putihnya, seketika terbayang malam panas waktu itu dengan laki-laki yang kini menjadi sosok yang coba Dalena lupakan diam-diam.Gadis itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan menangis sesenggukan.“Tidak mungkin, Heins, ini tidak mungkin! Kau pasti salah!”Tapi dugaan Heins tidak salah, Dalena memang benar-benar hamil.Dia sering menerima pasien dengan keluhan yang sama seperti Dalena, tapi satu hal yang membuat Heins bertanya-tanya. Bagaimana bisa?“Tenang Dalena, tenang!” bujuk laki-laki itu sabar.“Bagaimana aku bisa tenang, Heins? Aku tidak mungkin bisa menghidupi anak ini di saat aku bahkan nyaris tidak bisa menghidupi diri sendiri!” sentak Dalena frustrasi.Hidupnya terpontang-panting tanpa orang tua maupun sanak saudara, menumpang di rumah temannya, dan kini ia sedang hamil anak pria asing yang tidak mungkin Dalena minta pertanggung jawaban.Pria itu adalah pebisnis ternama dan paling disegani di kota Barcelona. Sosok laki-laki yang hidupnya selalu disorot karena kekayaan dan kesuksesan besar.Damien Escalante ….Mana mungkin Dalena berani meminta tanggung jawab pada laki-laki itu! Dia hanya akan dianggap orang rendahan tak penting olehnya!Menatap wajah takut Dalena, Heins pun mengusap pundak gadis itu dengan penuh rasa iba.“Siapa pria itu, Dalena?” tanya Heins.Raut wajah Dalena memerah ketakutan. “Di-dia, dia tidak mungkin bisa bertanggung jawab. Jangan, tidak boleh, aku tidak mau...”Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tangisannya semakin pecah seketika Dalena mengingat wajah tampan laki-laki malam itu.“Bagaimana bisa kau sampai melakukan hal itu, Dalena...” Heins mengusap air mata Dalena, kepedihan sahabatnya pun ia rasakan juga.“Aku dijebak Heins. Bibi dan sepupuku berniat menjualku dan membuatku mabuk, Kelara memasukkan obat di dalam minumanku dan aku malah ... Malam itu aku dan laki-laki asing, dia—”Dalena tak kuasa bercerita, dia kembali menangis terluka. Heins memeluk Dalena dan memintanya untuk tetap tenang.“Kau tidak sendirian, ada aku di sini. Aku akan membantumu, Dalena.”“Heins, aku tidak ingin anakku tahu siapa Papanya. Jangan sampai aku bertemu dengan pria itu lagi.”Mendengar hal itu, Heins pun semakin curiga sebenarnya siapa laki-laki brengsek yang telah menghamili Dalena.Sekuat mungkin Dalena berusaha tegar dan berdamai dengan keadaan menyedihkan yang menimpanya kini. Ia sudah berjanji akan membesarkan buah hatinya dalam keadaan apapun.Dalena tertunduk menatap perutnya yang datar.‘Jangan khawatir, aku akan menjaga dan merawatmu. Aku akan membawamu pergi jauh setelah ini.’**PRANG!“Tidak berguna! Bodoh kalian semua! Bodoh!”Teriakan keras bersamaan dengan suara terlemparnya beberapa barang di atas meja kerja karena sapuan tangan seorang Damien.Laki-laki dengan tuxedo hitam tersebut tengah marah besar pada semua orang suruhannya yang mengatakan kalau gadis yang dia cari selama ini telah pergi dari kota itu.“Kalian tidak bisa mengelabui aku! Gadis itu pasti masih ada di Barcelona!” berang Damien berapi-api.Dia frustrasi mencari keberadaan gadis yang membuatnya tidak bisa tidur setiap malam. Gadis yang selalu ingin Damien genggam, tepatnya setelah malam panas yang terjadi di antara mereka.“Maaf Tuan … sekali pun ada, mungkin akan sulit ditemukan. Kami tidak tahu latar belakang gadis itu,” jelas Thom, tangan kanan Damien.Satu bulan lebih dia mencari-cari gadis itu hampir ke seluruh pelosok kota Barcelona. Damien yakin kalau gadis itu tidak jauh, dia pasti bersembunyi.Semakin memikirkannya, semakin besar pula rasa ketertarikan Demien Escalante pada gadis itu.Damien tidak akan melepaskan apa yang sudah pernah menjadi miliknya, termasuk gadis yang kini menjadi buruannya.“Aku akan mencarinya sendiri!” tegas Damien.Thom menatap Tuan Mudanya yang kini berdiri dengan kedua tangan terkepal.“Tapi Tuan, ke mana Tuan akan mencarinya?”“Ke semua tempat! Aku pasti akan menemukan gadis itu!”Sudah lelah Thom dengan Tuannya ini. Laki-laki dua puluh delapan tahun itu sosok yang keras kepala, pemarah, dan segala yang ia inginkan harus dia dapatkan.“Apa yang akan Tuan Damien lakukan bila Tuan menemukan gadis itu?”Damien menatap Thom dengan tatapan tajam. “Aku akan menikahinya!” katanya dengan rahang mengeras.“Gadis itu membuat kesabaranku habis. Aku sendiri yang akan menangkapnya!”Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela