LOGIN
“Akh!” pekik Kanaya saat melihat seorang pria yang tertidur di sebelahnya. Seorang pria yang dikenalnya belum lama melalui sebuah aplikasi teman curhat, sekarang ada di ranjang bersamanya.
Hidup di kota besar membuat Kanaya terpaksa memiliki pekerjaan lebih dari satu untuk menyambung hidup.
Bekerja sebagai tim marketing di perusahan besar ternyata tidak cukup untuk menambal biaya hidupnya.
Apalagi setelah ibunya memberi kabar bahwa sang adik membuat masalah lagi. Makanya dengan terpaksa Kanaya menerima tawaran side job dari Lala teman kantornya.
“Kerjanya gampang, Nay. Cuma dengerin curhat doang,” ucapnya menyakinkan Kanaya.
Berkembangnya zaman, ternyata banyak pekerjaan aneh yang muncul sekarang. Awalnya, Kanaya ragu dengan pekerjaan itu. Tapi Lala menjelaskannya bahwa pekerjaan ini aman dan bayarannya juga besar.
Singkatnya, sekarang banyak orang yang kesepian dan memerlukan orang lain untuk berkeluh kesah.
Tapi, siapa sangka yang awalnya jadi teman curhat, bisa jadi teman tidur seperti ini.
Kanaya melirik ke arah pria di sebelahnya. Dadanya masih berdebar kencang, kikuk dan gugup. Pria itu terlihat sangat pulas tidurnya, dengkuran halus terdengar lembut di telinga Kanaya.
Berkali-kali Kanaya memejamkan matanya. “Apa yang sedang kau lakukan, Kanaya?” batin Kanaya mengumpat diri sendiri.
Dia langsung melompat pelan dari atas ranjang. Tubuhnya masih tanpa busana, bajunya sudah berserakan di lantai bercampur dengan kemeja pria itu.
Kanaya memukul kepalanya berkali-kali tanpa suara. Dia tidak tahu kenapa bisa terbawa suasana sampai berakhir di ranjang bersama orang asing. Meski sudah berhubungan beberapa waktu melalui chat dan telepon, tapi mereka tetap orang asing karena baru bertemu sekali.
Kanaya menutup matanya sejenak, merutuki kebodohannya.
Setelah itu, buru-buru dia memakai bajunya asal, dan keluar dari kamar hotel itu. Tak peduli meski partner tidurnya masih terlelap.
Kanaya pergi tanpa mengatakan apapun. Wanita itu menghilang begitu saja dari balik pintu hotel.
***
Beberapa hari sebelumnya.
Kanaya mendapat satu pesan di sebuah aplikasi yang disarankan Lala untuk mendapat pengguna jasanya. Teman Curhat.
Terlihat konyol tapi itu berjalan lancar. Kanaya dibayar hanya dengan menanggapi seseorang berkeluh kesah tentang kehidupannya yang melelahkan melalui chat dan telepon.
Awalnya itu berjalan lancar. Kanaya menanggapi cerita orang yang ada di seberang, mulai dari pesan teks sampai telepon.
Tapi, malam itu entah kenapa Kanaya mengiyakan ajakan pria yang sering disapanya dengan Husky Man.
Pria itu memasang foto profil yang tampak hanya matanya. Mata yang tajam, teduh, tapi menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Intinya mata itu memikat Kanaya tanpa sadar.
Kanaya menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya mengetik balasan untuk si Husky Man.
[Oke, aku datang.]
Dadanya berdebar kencang, antara gugup, takut, bercampur rasa penasaran.
Jujur saja, Kanaya cukup terpesona dengan mata pria itu. Suara beratnya saat berbicara di telepon membuat hatinya berdebar.
Kanaya membuka profil si Husky Man. Mata itu muncul lagi memenuhi layar ponselnya. Tanpa sadar bibirnya melengkung ke atas.
“Mata seindah ini, wajahnya setampan apa, ya?” gumamnya sambil tertawa kecil.
Tak lama kemudian ada pesan balasan dari si Husky Man.
[Ini lokasinya ya, Nay. Aku tunggu kamu.]
Isi pesan Husky Man.
Di atas pesan itu sudah terkirim peta lokasi tempat mereka akan bertemu.
“Hotel?” alis Kanaya mengernyit saat membuka peta lokasi, dan itu berada di hotel.
Ada rasa ragu dalam hatinya. Dia menarik napas panjang, lalu berdiri dari tempat tidurnya.
“Ya ampun, Nay… kamu kenapa sih? Ketemu di hotel kan nggak mesti tidur di kamar! Bisa jadi kan dia ngajakin ketemu di resto atau kafe bar hotelnya,” gumamnya sambil melihat pantulan dirinya di cermin.
Dia mencoba menenangkan dirinya.
Kanaya sampai di hotel pukul tujuh malam. Dia langsung menghubungi Husky Man, dan saat itu ada seorang pria dengan jas formal berjalan ke arahnya.
Kanaya sempat lupa caranya bernapas. Pria itu berjalan dengan percaya diri dan penuh kharisma. Cahaya restoran di belakangnya memberikan siluet tinggi, dan postur tegap pria itu.
Semakin dia mendekat, semakin dada Kanaya berdebar cepat.
“Kanaya?” suaranya rendah dan berat. Sangat sexy.
Kanaya sampai tak sadar bibirnya terbuka sedikit. “Husky Man?” suaranya keluar begitu saja.
Pria itu tersenyum, yang membuat Kanaya hampir meleleh di tempat. “Ya Tuhan, apa boleh ada makhluk setampan ini?” gumamnya dalam hati, ah dia tidak yakin benarkah kalimat ini diucapkan dalam hati.
“Namaku Adrian.” Pria itu mengulurkan tangannya.
Adrian Prakasa, si Husky Man. Pria yang berakhir di ranjang bersama Kanaya pagi itu.
***
Hening. Tidak ada yang bersuara antara Kanaya ataupun Adrian. Kanaya lebih banyak diam dan menunduk di kursinya. Sedangkan, Adrian fokus menyetir. Mereka sedang perjalanan pulang, Adrian mengantar Kanaya ke kosan. Lebih tepatnya memaksa untuk mengantarkan wanita itu.Jalanan macet menambah canggung suasana di dalam mobil bersama Adrian. Kanaya menahan napasnya setiap kali Adrian mengerem mobilnya. “Ehem!” Adrian berdehem. Kanaya menoleh ke arah pria di sebelahnya. Mata mereka bertemu. “Apa kamu suka mendengarkan musik?” tanya Adrian tiba-tiba.Kanaya mengangguk. “Genre musik apa yang kamu sukai?” “Oh, saya suka mendengarkan musik pop,” Kanaya tersenyum saat menjawabnya. Setelah itu Adrian memutar lagu pop dari salah satu musisi dalam negeri. Kanaya tersenyum lebih lebar karena lagu kesukaannya yang diputar. Adrian melirik singkat ke arah Kanaya yang mulai bersenandung lirih. Sudut bibir pria itu terangkat. “Syukurlah, dia menyukainya,” batin Adrian. Setengah jam berlalu, dan
Langit sudah menggelap saat Kanaya berdiri di depan gedung kantornya. Kepalanya menunduk melihat kakinya sendiri. Keadaan kantor sudah hampir sepi, hanya menyisakan beberapa karyawan yang lembur di beberapa divisi. Lobi sore itu tidak banyak orang lalu lalang. Kanaya menoleh ke kanan dan kiri mencari seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang.“Kenapa belum datang juga?” gumamnya. Dia janji bertemu dengan Adrian jam lima tepat. Tapi ini sudah lewat setengah jam dan pria itu tidak muncul juga. Apa mungkin perkataannya tadi tentang membahas pernikahan itu bohong. Mana mungkin seorang Adrian Prakasa mau menikah dengan gadis biasa seperti Kanaya. “Apa aku terlalu jauh berharap padanya?”Sesal menjalar di hati Kanaya, dia sudah terlanjur mengatakan bahwa janin yang ada di perutnya adalah milik Adrian. Bagaimana kalau pria itu berubah pikiran? Kanaya mulai menerka-nerka kemungkinan tidak datangnya Adrian.“Aku pulang saja,” katanya menyerah menunggu pria itu. Lalu melangkahkan kakinya
Adrian terkesiap melihat ruangan miliknya dipenuhi orang-orang, padahal dia hanya memanggil Kanaya saja ke ruangannya. Tapi, kenapa ada Pak Damar, Kepala Divisi Marketing dengan seorang pria lainnya. “Kamu siapa?” tanya Adrian menatap lurus ke arah Nathan. “Saya Nathan, Pak. Ketua Tim Marketing 1, atasan langsung Kanaya. Ada apa Pak Adrian memanggil bawahan saya? Kalau dia melakukan kesalahan dalam bekerja, saya yang akan bertanggung jawab.” jelas Nathan. Nathan berpikir kalau Adrian memanggil Kanaya karena terkait pekerjaan di kantor. Kanaya sendiri masih diam di belakang, menggigit bibir bawahnya cemas. “Ada apa ya dia memanggilku? Apa ini karena dia melihatku di rumah sakit waktu itu?” gumamnya dalam hati. Wanita itu diam di belakang Nathan dan Pak Damar. Sedangkan, Adrian memiringkan kepalanya berusaha melihat Kanaya dari tempat duduknya sekarang. “Saya hanya ada urusan dengan Nona Kanaya. Tidak ada hubungannya dengan kalian. Jadi, kalian bisa keluar dari ruangan saya,” suru
Kenyataan paling menyebalkan kalau kamu masih menjadi karyawan marketing biasa adalah kamu tidak boleh mengambil cuti lebih dari dua hari. Karena itu akan membuatmu kehilangan waktu untuk mencapai target penjualan. “Eungh!!!” Kanaya menguap lebar sambil merentangkan tangannya di atas ranjang. Dengan mata yang masih mengantuk dia berusaha mengangkat tubuhnya. Baru selangkah, Kanaya merasa aneh. Ada sesuatu yang mendesak keluar dari tubuhnya. “Ugh!” desisnya pelan.Reflek Kanaya menutup mulutnya. Lalu berlari ke kamar mandi dengan setengah terhuyung.Wanita itu langsung memuntahkan seluruh isi di dalam perutnya ke dalam kloset. Dia memencet tombol flush, menutup kloset dan duduk di atasnya.Napasnya memburu, hampir seisi perutnya ia keluarkan pagi itu juga. Kepalanya juga terasa pusing seketika. Dia memijat pelipisnya sesaat untuk menghilangkannya. Setelah sedikit membaik, Kanaya berdiri di depan wastafel. Memutar kran air lalu membasuh wajahnya yang terlihat pucat. Wanita itu mem
Kanaya membeku sempurna melihat Adrian yang berdiri di depannya dengan wajah yang serius. “K-kenapa Anda ada di sini?” tanyanya dengan suara terbata. Meski tadi Kanaya sudah melihat Adrian dengan tunangannya, dia berpura-pura tidak melihat apapun. “Kamu sendiri kenapa ada di sini?” sahutnya cepat. “Apa?” Kanaya kaget sekali diberi serangan pertanyaan seperti itu. “S-saya… Di sini… karena…” dia tidak tahu harus menjawab apa. Sampai seseorang memanggil Adrian. “Kak Adrian!” Pria itu pun menoleh ke sumber suara, begitu juga Kanaya. Reina memiringkan kepalanya melihat ke arah Kanaya, wajahnya mengerut keheranan sambil berjalan mendekat. “Dia siapa?” tanyanya saat sudah di samping Adrian. “Dia, karyawan di perusahaan,” jawab Adrian. Reina mengangguk, lalu mengaitkan lengan pada Adrian. Namun, Kanaya entah kenapa merasa sedih mendengar jawaban Adrian. “Aku baginya hanya karyawan perusahaan,” gumam Kanaya dalam hatinya. Sedih rasanya. Kenangan tentang kedekatan mereka mel
Suara tangisan bayi terdengar saat Adrian dan Reina membuka pintu sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu ada sepasang suami istri dan satu wanita paruh baya di sana. Si suami sedang menggendong seorang bayi, dan istrinya masih setengah duduk di ranjang perawatan selesai melahirkan. “Adrian, kamu sudah datang, Nak?” sapa wanita paruh baya itu. Adrian tersenyum tipis. “Hai Mam, gimana keadaanmu Kak?” sahutnya sambil menyapa kakak perempuannya. “Seperti kelihatannya, aku selamat melahirkan keponakanmu.” Wanita yang berbaring tadi adalah kakak perempuan Adrian. Sheila Purnama, kakak perempuan satu-satunya Adrian. “Hai Rein, makasih ya sudah datang.” Sheila melihat ke arah wanita di sebelah adiknya. “Selamat atas kelahiran anak pertamanya Kak Sheila dan Kak Bara.” Reina memberikan sebuah kado pada Sheila. Dia melirik ke arah Bara sekilas sambil tersenyum. “Nak Reina ini, kenapa repot-repot sekali,” ujar Mama Adrian, Delina. “Nggak repot kok, Ma,” sahut Reina lalu memeluk Delina denga







