Share

Menjual Warisan Demi Harga Diri
Menjual Warisan Demi Harga Diri
Penulis: Dewanu

Satu

Penulis: Dewanu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 13:18:28

Di tengah persiapan pertunangan Helena adik iparnya, Asih merasa kesal karena suaminya berkeras melarangnya hadir di acara pesta. Padahal pada kesempatan itu mau Asih manfaatkan untuk bertemu kerabatnya yang telah lama tak bertemu.

"Jadi, kau tidak mengijinkan aku hadir di acara Helena? Kenapa? Apa ada masalah? Kau bertengkar dengan Helena?" Asih mencecar Hardi, mengira Hardi ada masalah dengan Helena. Terkadang mereka memang sering terlibat keributan kecil.

Hardi menatap Asih tajam, sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan. "Masalahnya bukan aku, tapi kamu," katanya dingin dan meremehkan. "Kamu tahu kan Helena sudah jadi artis, dia nggak mau orang tahu kalau punya kakak ipar ndeso," celetuk Hardi, ucapannya menusuk ulu hati Asih.

Asih terdiam, mencoba mencerna kata-kata suaminya. "Mas, kau ini ngomong apa sih? Kita sudah menikah lima tahun, kenapa Helena memungkiri kalau aku kakak iparnya?" suaranya sedikit bergetar.

Percakapan itu terasa aneh bagi Asih.

Hardi menghela napas acuh tak acuh. "Itu adalah permintaan Helena. Dia nggak mengundang kamu." Ia melanjutkan tanpa sedikit pun empati. "Calon suaminya itu pengusaha sukses, acara pertunangan ini digelar besar-besaran di hotel bintang lima. Kalau kau mau datang, ya sudah, datangnya di rumah ibu saja, bantu-bantu di sana."

Pernyataan Hardi membuat hati Asih dipenuhi amarah. Mereka menyiapkan pesta mewah, tapi menganggap dirinya, istrinya sendiri tidak pantas berada di sana?

Merasa kesal pada suaminya itu, kesal dengan ibu mertuanya juga sering merendahkannya. Asih seorang menantu yang tidak pernah dianggap di keluarga Hardi . Bahkan rasanya kebahagiaan mereka dibangun di atas penderitaannya.

"Kau menganggap aku tak berharga, Mas?" tanya Asih, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap Hardi, mencari setitik penyesalan di matanya. Namun, Hardi hanya bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja.

Hari pertunangan Helena tiba. Asih memilih diam di rumah, membiarkan kekosongan menggerogoti jiwanya. Terkadang Asih merasa kesal, merasa marah atas ulah keluarga Hardi, tapi Ia terlalu lelah untuk menangis. Apa mereka ingin ia hancur?

Tidak, ia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Di hari bahagia keluarga Hardi, Asih termenung seorang diri. Rasa lelah, sepi dan terasing membuatnya malas untuk beranjak dari tempat tidur.

Akan tetapi suara bel rumah membuatnya terpaksa bangun dan beranjak ke pintu.

Iapun membuka pintu dengan malas.

Ceklek!

Betapa terkejutnya ia melihat siapa yang datang.

"Bagas? Kenapa kau tiba-tiba ada di sini?"

Asih terkejut karena Bagas tiba-tiba sudah ada di depan pintu rumahnya, keluarga yang selalu ia rindukan.

"Iya, Asih. Aku mencarimu di pesta, tapi tak melihatmu."

Asih langsung gugup, tidak pantas rasanya mengatakan semua luka yang ia dapatkan dari keluarga Hardi pada keluarganya. Biarlah hanya dirinya yang merasakan, sehingga hanya berita baiklah yang mereka dengar.

"Beda, Gas. Aku kan ambil bagian yang paling penting, jadi tugasku bukan di sana. Ayo masuk," Asih mengalihkan pembicaraan dan membawa Bagas masuk.

"Aku nggak lama, cuma mau sampaikan pesan ibu."

Asih mengerutkan dahi, "Pesan ibu?"

"Iya, soal vila itu, rencana ada yang mau membeli dengan harga fantastis."

Asih melihat ke sekitar, seolah khawatir ada yang mendengar. "Maksudmu?"

"Vila itu, apakah kau percaya nilainya seratus miliyar?"

Jantung Asih berdegup kencang. "Se-seratus miliyar?"

"Iya. Gimana, mau dijual?"

Tangan Asih mengepal, inikah kesempatan itu? batinnya.

Sejenak ia tersenyum pada sepupunya, "Kalau nggak dijual sekarang, kapan lagi ada orang yang menawar dengan harga tinggi?"

Tapi Bagas malah mendesah, seolah tak rela Asih menjualnya. "Kau yakin? Tapi ... apa kau tidak akan menyesal menjual peninggalan satu-satunya keluargamu?"

Asih menepuk pundak Bagas pelan. "Tidak. Yang aku takutkan sekarang bukan penyesalan, tapi kesempatan yang hilang."

Bagas menghela napas, terlihat cemas. Tiba-tiba saja Bagas menyinggung soal Hardi, "Bukankah... suamimu..."

"Kenapa?" tanya Asih, menyipitkan mata. Ia sudah merasa ada yang tidak beres.

"Ada skandal besar di timku," bisik Bagas, suaranya terdengar takut-takut. "Salah satu artis pemula katanya punya hubungan khusus dengan suamimu, apa kau pernah mendengarnya?"

Asih mengatupkan bibirnya.

Pernyataan Bagas bagaikan petir yang menyambar. Hati Asih yang tadinya hanya perih, kini terbakar amarah. Cukup.

"Kau serius, Gas?"

Bagas mengangguk.

"Jadi apa pendapatmu, Gas?"

Bagas menarik nafas panjang. "Entahlah, sejak awal aku tidak menyukai Hardi. Kau tau itu kan?" Asih berdehem, menenangkan emosinya. Ia tak akan membiarkan siapa pun tau penderitaan di keluarga Hardi ditambah tapi pengkhianatan ini...

"Bagas, kalaupun Hardi berani begitu, kamu tidak usah khawatir," ucap Asih, suaranya kembali datar. "Ini tidak ada kaitannya dengan penjualan vila."

Dia harus mengendalikan diri dan fokus pada uang.

"Tapi... bagaimana kalau dia memaksamu untuk minta bagian?" tanya Bagas, terdengar cemas. Ia tahu betapa rakusnya keluarga Hardi.

Asih menyeringai. Tentu saja Hardi akan melakukannya. Keluarga itu tidak mungkin membiarkan dirinya tenang setelah memiliki uang sebanyak itu. Itu adalah hal yang sudah bisa ia tebak.

"Kalau begitu, kau harus membantuku, Bagas," kata Asih, tatapannya dingin dan tajam. "Kau harus tutup mulut. Biarkan saja mereka mengira aku istri bodoh yang patuh." Senyumnya melebar penuh arti. "Lalu, aku akan membalas Hardi dengan caraku sendiri!."

"Aku masih belum mengerti," tanya Bagas.

"Bukankah lebih baik bagiku untuk bercerai?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status