Share

Dua

Author: Dewanu
last update Last Updated: 2025-08-26 12:58:59

Mata Bagas menatapnya tak berkedip. Sepertinya Bagas penasaran dengan rencana Asih.

"Kau yakin dengan apa yang kau katakan?"

"Tentu saja. Aku tidak bisa bertahan begini terus, apalagi dikhianati."

Percakapan itu berakhir dan Asih hanya bisa terduduk lemas karena shock.

Asih termenung, memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan uang sebesar itu. Dadanya penuh sesak oleh harapan. Selama ini ia hanya merasa terlalu miskin dan naif, direndahkan dan dihina tanpa pernah bisa punya kekuatan untuk melawan. Namun kini, semua akan berubah.

Brak!

Suara pintu yang didorong kasar mengejutkan Asih. Ibu mertuanya, Melly, berdiri di ambang pintu dengan wajah kesal. "Heh, bukannya bantu-bantu malah santai di rumah? Malah sok kenal pula dengan atasan Helena segala? Cepat ke rumah bantuin kerjaan rumah," titahnya dengan suara keras.

"Atasan Helena? Apa maksudnya Mas Ba..." Asih mencoba bertanya, bingung dengan tuduhan itu.

"Sudah sana, enggak usah banyak alasan! Cuci piring dan beresin dapur Ibu!" perintah Melly lagi, tanpa memberi Asih kesempatan untuk menjelaskan.

Asih bergegas ke rumah ibu mertuanya. Benar saja, dapur sudah seperti kapal pecah. Ia menghabiskan dua jam untuk membersihkan semuanya, merasa ikut bertanggung jawab sebagai bagian dari keluarga Hardi.

Dua jam kemudian, dapur ibu mertuanya sudah bersih dan rapi. Tak lama kemudian terdengar suara beberapa mobil memasuki pekarangan rumah. Asih mengintip dari balik kaca dan pandangan matanya terpaku pada sosok pria yang menggandeng Helena mesra. Seketika jantungnya berdegup kencang. "Tidak mungkin, dia enggak mungkin Arif," gumamnya gemetar, ketakutan mulai merayapi benaknya. Bayangan traumatis masa lalu sedikit mengganggunya.

Asih mulai ngeri, jika ternyata mantan kekasihnya itu bakal jadi iparnya.

"Tidak, ini nggak mungkin," gumamnya menyangkal.

"Asih!" suara keras ibu mertuanya tiba-tiba memanggilnya, membuyarkan lamunannya.. Asih segera menemui Melly.

"Iya, Bu."

"Siapkan air panas buat Helena dan tunangannya , mereka mau mandi air hangat."

"Baik, Bu." Asih mengangguk dan hendak beranjak.

"Tunggu!"

Asih berbalik.

"Kalau mereka bertanya, jangan bilang kalau kamu istri Hardi. Bilang saja kerabat jauhku yang lagi bantu-bantu di sini, mengerti?"

Asih mengangguk, ia sudah tidak terkejut, sudah biasa jadi pesuruh di rumah ini. Seperti rencananya, ia akan menjadi menantu penurut untuk sementara waktu. Ya, sementara waktu!

Meskipun kesal, Asih melakukan perintah ibu mertuanya dengan patuh. Dengan ember plastik, Asih membawakan air panas ke kamar tamu tempat Helena dan tunangannya berada. Namun, Asih lupa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Ceklek!

Asih melangkah masuk dan melihat pemandangan yang sangat tidak ingin dilihatnya. Dengan cepat ia meninggalkan ember, berbalik dan berlari ke arah dapur dengan napas tersengal. Bagaimana tidak, gaya hidup hedonis Helena memang berbeda dengannya. Asih tidak terbiasa dengan pemandangan sensitif begitu.

Terdengar langkah mendekat. Asih berusaha terlihat tenang.

"Asih, Helena meminta baskom. Calon suaminya mau merendam kaki dengan air panas. Cepat bawa ke kamarnya ya," perintah Melly.

"Sial, kalian ini memang harus diberi pelajaran! Bukannya aku kakak ipar yang seharusnya dihormati? Tapi inilah yang kalian lakukan padaku?" gerutunya sambil mengambil baskom.

Asih berjanji pada dirinya, semua ini tidak akan lama, bahkan jika perlu, ia akan membuat Helena yang tidak punya sopan santun itu berantakan, tekadnya.

"Cepat isi dengan air," pinta Helena.

Saat Asih menuang air panas di baskom tepat di hadapan Arif, jemarinya terasa dingin membeku. Pria itu hanya melihatnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan laptopnya.

Setelah baskom terisi, Arif memasukkan kedua kakinya. "Akh! Ini panas sekali!" pekiknya tertahan.

Helena langsung bereaksi. "Mbak! Apa kau memasukkan seluruh air panasnya?"

Asih terkejut. Ia memasukkan ujung jarinya ke dalam baskom. "Rasanya tidak terlalu panas..." gumamnya, bingung dengan reaksi berlebihan Helena.

"Tidak terlalu panas bagaimana?!" sentak Helena. "Bagaimana sayang, apa kau baik-baik saja?" Helena menenangkan Arif dengan mesra. "Aku akan ambilkan air dingin supaya tidak terlalu panas, ya."

Asih menyunggingkan senyum sinis. "Kenapa tidak dari tadi kau kerjakan sendiri?" Asih meletakkan ember dengan keras, menatap tajam ke arah Helena.

"Pergilah! Aku yang akan menyiapkan!" bentak Helena pada kakak iparnya itu.

Asih tak berkata-kata, tetapi ia merasa ada yang salah dengan apa yang tadi dilihatnya. "Arif Raharja, bagaimana dia bisa menjadi adik iparku tapi seolah tidak mengenalku?" gumamnya.

Ia pun melangkah pergi, mencari sosok suaminya, mengabaikan persangkaan bagaimana Helena berhubungan dengan Arif.

Ternyata Asih melihat Hardi sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Iapun teringat dengan cerita Bagas soal selingkuhan suaminya. Dengan tatapan menelisik, ia semakin memperhatikan wanita itu.

Pura-pura tidak terjadi apa-apa Asih pun mendekati Hardi.

Namun, ibu mertuanya menghadang langkahnya, seolah melarangnya untuk mendekati suaminya itu.

"Mau ke mana?" tanya Melly dengan suara dingin.

"Bu, aku cari Mas Hardi buat antar pulang. Sudah capek," ketus Asih.

"Terus?" tanya Melly sambil mengangkat sebelah alisnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status