MasukAjeng masih tenang meskipun dituduh yang tidak-tidak, masa depan Ajeng suram? Justru kehadiran Juwita lah yang membuat hidup Ajeng menjadi suram.
“Kenapa Mama bilang seperti itu?” Suara Haekal terdengar dingin. “Kamu ini Haekal, bela aja terus istri kamu itu.” Suara Juwita terdengar sangat sewot. “Kalau adik ipar tidak mau ya udah, s harusnya aku udah terbiasa melakukan semuanya sendiri,” ujar Ajeng. ‘Apa dia sengaja sok sedih seperti itu?’ Juwita harus membela diri. “Apa maksud kamu mengerjakan semuanya sendirian?” “Kamu sengaja menjelek-jelekkan Mama di depan putra Mama sendiri? Kamu mengatai Mama malas? Iya?” “Kedengarannya seperti bukan pertanyaan, tapi pengakuan,” sarkas Ajeng. Juwita semakin geram, kemana Ajeng yang tidak pernah berani membalas ucapannya? Kalau seperti ini Juwita bisa mati cepet karena kesal. “Kamu ….” Juwita menunjuk Ajeng. “Ma cukup.” Haekal tidak ingin mendengar perdebatan apapun. “Nilam, kamu seharusnya lebih peka.” “Selama ini apa pernah kamu sedikit aja membantu kakak ipar kamu? Kamu juga tidak pernah mencuci piring,” lanjut Haekal. “Untuk apa Nilam mencuci piring? Dia akan menjadi wanita karir yang punya suami kaya, bukan bersih-bersih seperti pembantu,” bela Juwita. “Jadi selama ini Mama anggap aku pembantu?” Ajeng membuat Juwita tidak bisa berkata-kata. “Setelah ini Nilam akan membantu Ajeng cuci piring, kedepannya Nilam bisa mencuci bajunya sendiri,” putus Haekal yang tidak bisa diganggu gugat. Nilam mengode Juwita agar Juwita membelanya, lagipula kenapa Nilam harus sudah payah mencuci baju jika Ajeng bisa melakukannya? Wajah Nilam tertekuk kesal karena Juwita tidak kunjung mengatakan apapun, Nilam mana bisa menolak keputusan Haekal. “Bagaimana dengan baju-baju milik Mama?” tanya Juwita. “Mama bisa mencucinya sendiri, kalau keberatan Mama bisa meminta tolong pada Nilam,” balas Haekal. “Apa?!” Hati Nilam semakin kesal, sekarang perempuan itu bahkan harus mencuci baju-baju milik Juwita. “Benar-benar menantu durhaka, cuma mencuci baju Mama tapi dia tidak sudi melakukannya,” sinis Juwita. “Ajeng mau saja melakukannya, tapi aku tidak terlalu setuju. Tangan Ajeng pasti sangat kelelahan.” Haekal meraih kedua tangan Ajeng. Ajeng hampir saja mengangguk, perempuan itu langsung menggeleng cepat. “Itu bukan apa-apa.” Juwita menggenggam kuat gagang sendok yang ada di tangannya, entah apa yang sudah Ajeng lakukan pada putranya. Juwita harus membuat Ajeng paham kalau Ajeng harus tunduk di bawah perintahnya, jika tidak bisa mengendalikan putranya Juwita bisa mengendalikan Ajeng. “Jadi di mata kamu Ajeng lebih penting daripada Mama?” Juwita sengaja membuat Haekal serba salah. “Kalian sama-sama penting,” sahut Haekal. “Aku ikut saja yang kamu bilang meskipun aku merasa tidak enak pada Mama dan Nilam,” ujar Ajeng. “Aku yang mengambil keputusan di rumah ini, jadi kalau tidak setuju silahkan keluar dari rumah ini,” terang Haekal. “Mas Haekal tidak mengusir kalian, kita harus menghargai keputusan Mas Haekal karena pasti keputusan itu adalah yang terbaik,” timpal Ajeng. ‘Mau playing victim dan merasa diusir?’ Ajeng tidak akan membiarkan Juwita melakukan hal itu. •Beberapa menit kemudian• Ajeng mengantar Haekal sampai teras, lelaki itu memeluk Ajeng untuk beberapa saat. Mereka adalah pasangan yang sangat manis. Wajar saja Juwita tiap hari kepanasan melihat mereka yang begitu mesra, Juwita kesulitan mengendalikan Haekal karena putranya itu kecintaan pada Ajeng. “Kita benar-benar tidak perlu menyewa ART?” Entah sudah berapa kali Haekal menanyakan hal itu. “Ada Nilam yang mau membantu, jadi tidak perlu buang-buang uang untuk menyewa ART.” Suara Ajeng terdengar agak keras. “Kamu bilang saja kalau Nilam tidak mau menurut.” Haekal pasti akan mengurusnya. “Apa yang kamu lakukan kalau misal Nilam tidak mau menurut?” tanya Ajeng. “Melarangnya keluar rumah selama satu bulan,” balas Haekal. Ajeng hanya mengangguk pelan meskipun hatinya merasa sangat senang dengan keputusan Haekal, Nilam tidak bisa terlalu dimanjakan. “Kamu lebih berpihak padaku, Mama dan Nilam pasti sangat kesal,” ucap Ajeng. “Cuma berpihak pada yang benar, nanti pulang kerja aku bawakan kebab kesukaan kamu.” Mendengar hal itu Ajeng langsung mengangguk cepat. “Aku tunggu.” Setelah melambaikan tangan selama beberapa detik, Ajeng kembali masuk rumah untuk memastikan Nilam mencuci piring dengan benar. “Nilam, kamu bisa langsung pergi.” Juwita memanfaatkan kesempatan karena Haekal sudah tidak ada. “Kata siapa dia bisa pergi?” Ajeng langsung menghalangi Nilam. “Ma ….” Nilam langsung merengek pada Juwita. “Ajeng biarkan Nilam pergi, atau kamu mau Mama pukul?” Suara Juwita terdengar galak. “Jangan berani pergi atau kamu akan aku pukul.” Ajeng menunjuk Nilam dengan penuh peringatan. “Ajeng!” Juwita benar-benar emosi menghadapi kelakuan Ajeng. “Apa-apaan ini?” Kedua bahu Nilam didorong secara paksa membuat Nilam terpaksa berjalan meskipun enggan. Kedua bahu Juwita naik turun karena terlampau marah, Juwita pun langsung menyusul mereka. Ajeng sudah ditahap sangat berani bahkan sampai memaksa Nilam. “Lihat apa? Bawa semua piring kotor ke belakang,” ujar Ajeng. “Kamu tidak perlu melakukannya.” Juwita menahan tangan Nilam. “Kakak ipar sebaiknya menurut pada Mama,” tekan Nilam dengan suara rendah. “Cepat bawa semua piring kotor ke belakang.” Ajeng tiba-tiba mengambil centong nasi. “Ajeng letakkan itu, kamu mau membuat pakaian Nilam kotor? Nilam mau mencari kerja!” omel Juwita. “Bagaimana kalau Mama menggantikan aku?” Nilam berbisik pada Juwita. Juwita mencuci piring bersama dengan Ajeng? Mau dikemanakan mukanya jika Juwita sampai melakukan hal tersebut? Setelah Juwita pikir-pikir lagi, sebaiknya Juwita membiarkan Nilam mencuci piring untuk hari ini, tidak ada cara lain. “Kamu bawa semua piring kotor ini ke belakang.” Juwita akhirnya mengeluarkan suara. “Maaa ….” Nilam akhirnya melakukan hal tersebut dengan wajah yang tertekuk kesal. “Bawa yang benar, itu piring kotor bukan bangkai tikus.” Ajeng menatap Nilam tak habis pikir. “Beraninya kamu mengomentari Nilam–” “Jangan lupa minta putri Mama untuk mencucikan baju-baju milik Mama.” Ajeng dengan cepat memotong ucapan Juwita. Juwita belum sempat membuka mulut tapi Ajeng sudah sibuk membereskan beberapa makanan yang tersisa. Juwita pergi untuk memenangkan diri, perempuan paruh baya itu tertawa tak percaya, kelakuan Ajeng sangat tidak bisa diterima. ‘Aku masih hidup, kenapa malah dia yang menjadi Nyonya rumah ini?’ batin Juwita. *** Ajeng meminta orang untuk mengikuti Nilam, sekitar pukul sembilan lebih Ajeng dengan susah payah berhasil keluar rumah. Ajeng mendapatkan informasi jika Nilam berada di salah satu mall, oleh kerena itu Ajeng pergi ke mall untuk mencari tahu secara langsung. Ajeng juga sengaja mengenakan topi dan masker agar perempuan itu tidak sampai ketahuan, Ajeng mendapatkan beberapa kiriman foto. ‘Ini yang dia maksud mencari kerja?’ Ajeng melihat Nilam yang berjalan mesra dengan laki-laki yang mungkin seumuran dengan Nilam •Beberapa menit kemudian• Ajeng sibuk menatap sekitar dan mencari keberadaan Nilam, tapi Ajeng malah berakhir menabrak seseorang yang membuat dirinya terkejut. ‘Gawat.’ Ajeng sempat tercengang kala melihat orang yang dirinya tabrak. Bersambung….Untuk sesaat tubuh Ajeng membeku kala melihat laki-laki yang ada di foto, itu adalah laki-laki yang sempat jalan dengan Nilam.‘Hah?’ Awalnya Ajeng pikir lelaki itu sedang berjalan dengan Nilam, tapi nyatanya tidak.Ajeng lihat lelaki itu jalan dengan perempuan lain bersama dengan seorang anak. “Maaf.”Setelah itu Ajeng kembali lanjut jalan. ‘Aku mana mungkin salah lihat, dia laki-laki yang ada di foto.’‘Jadi … Nilam ditipu? Atau mungkin Nilam yang menjadi selingkuhan dia?’ Menurut Ajeng itu terlalu mengejutkan.Lelaki yang ada di foto itu sudah punya anak, Ajeng belum bisa langsung menyimpulkan karena tidak punya bukti lebih banyak.Sampai akhirnya, Ajeng kembali mendapatkan foto dari orang suruhannya. Orang itu sudah menemukan lokasi Nilam saat ini.“Apa lagi ini?” Untuk kesekian kalinya Ajeng dibuat shock karena kelakuan Nilam.“Apa dia udah tidak waras?” Kali ini Ajeng mendapatkan foto dimana Nilam sedang berjalan mesra dengan pria tua.“Jadi Nilam setiap hari melakukan itu? Jala
Ajeng masih tenang meskipun dituduh yang tidak-tidak, masa depan Ajeng suram? Justru kehadiran Juwita lah yang membuat hidup Ajeng menjadi suram.“Kenapa Mama bilang seperti itu?” Suara Haekal terdengar dingin.“Kamu ini Haekal, bela aja terus istri kamu itu.” Suara Juwita terdengar sangat sewot.“Kalau adik ipar tidak mau ya udah, sharusnya aku udah terbiasa melakukan semuanya sendiri,” ujar Ajeng.‘Apa dia sengaja sok sedih seperti itu?’ Juwita harus membela diri. “Apa maksud kamu mengerjakan semuanya sendirian?”“Kamu sengaja menjelek-jelekkan Mama di depan putra Mama sendiri? Kamu mengatai Mama malas? Iya?”“Kedengarannya seperti bukan pertanyaan, tapi pengakuan,” sarkas Ajeng.Juwita semakin geram, kemana Ajeng yang tidak pernah berani membalas ucapannya? Kalau seperti ini Juwita bisa mati cepet karena kesal.“Kamu ….” Juwita menunjuk Ajeng.“Ma cukup.” Haekal tidak ingin mendengar perdebatan apapun. “Nilam, kamu seharusnya lebih peka.”“Selama ini apa pernah kamu sedikit aja me
Rasanya tidak puas jika Juwita belum berhasil membuat Haekal memarahi Ajeng habis-habisan, itu salah satu alasan Juwita terus berulah. “Mama menyinggung Ajeng lagi?” Sudah berkali-kali Haekal memperingatkan Juwita. “Kak, Mama jatuh karena istri Kakak. Kenapa Kakak malah menuduh Mama yang tidak-tidak?” protes Nilam. “Memangnya kamu lihat sendiri kakak ipar kamu mendorong Mama?” Haekal mana mungkin tidak tahu kelakuan Juwita dan Nilam. “Kejadiannya kan tadi pagi, kalau aku lihat sudah pasti aku dorong balik perempuan kampungan itu,” desis Nilam. “Jaga bicara kamu.” Haekal menatap tajam Nilam. Nilam langsung memeluk lengan Juwita erat-erat, perempuan itu tidak mengerti kenapa kakaknya itu terus berpihak pada Ajeng. Juwita sudah sesedih itu pun tidak ada tanda-tanda Haekal peduli dan berniat mengamuk pada Ajeng karena telah membuat mamanya sedih. “Mas, kok masih berdiri di dekat pintu?” Ajeng mengambil alih tas yang dipegang oleh Haekal. “Kamu pasti capek.” “Lebih baik-baik bersi
Juwita sudah teriak-teriak, berharap Ajeng segera keluaran kamar. Tapi usaha Juwita berujung sia-sia karena Ajeng seolah tak peduli.“Ada apa dengan dia?” Juwita duduk di sofa karena merasa lelah.Tatapan Juwita tertuju pada tumpahan jus yang ada di lantai. “Dia tidak mau membersihkan tumpahan jus itu?”“Itu artinya dia menyuruh aku membersihkannya?” Dengan ekspresi kesal Juwita mendengus tak percaya.“Lihat saja, sampai kapan dia betah di kamar.” Juwita tentu tidak mau membersihkan tumpahan jus itu.Biasanya dipanggil sekali saja Ajeng langsung datang seperti anjing yang kelewat penurut, tapi sekarang sudah tidak lagi.Juwita menatap sapu yang tergeletak di lantai, Ajeng dengan beraninya melempar sapu itu dan tidak mengembalikannya ke tempat asal.“Apa dia mau membuat aku mati lebih cepat? Sudah bagus putraku mau menikahinya.”“Dia tinggal bersih-bersih rumah, tapi sekarang malah bertingkah dan berlagak mau menyewa pembantu.”“Mimpi!” Juwita tidak akan membiarkan Ajeng menghambur-ham
“Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot pasang dasi sendiri karena kamu sudah memiliki istri, oh iya ….”“Istri kamu kan tidak jelas asal-usulnya, dia mungkin cuma lulusan SD. Jadi tidak terlalu pintar dan tidak bisa memasang dasi dengan benar,” lanjut Juwita.Yang Ajeng lakukan hanya pura-pura tuli, ibu mertuanya itu memang bermulut pedas dan seperti punya dendam kesumat pada Ajeng.Bagi Juwita, Ajeng hanya menantu yang tidak jelas asal-usulnya. Orangtua Ajeng juga bahkan tidak tahu siapa.Ajeng mengaku dirinya yatim-piatu, meskipun begitu Haekal sangat mencintainya dan selalu menghargainya.“Masalah dasi saja dipermasalahkan, anak SMP saja bisa pasang dasi sendiri. Lagipula Ajeng sibuk di dapur, sebagai suami aku harus mengerti.”“Kamu ini terlalu memanjakan istri kamu, kalau seperti ini caranya dia bisa jadi tidak tahu diri.” Suara Juwita terdengar tidak suka.“Kalau aku sangat dimanjakan, aku tidak perlu repot-repot mengerjakan pekerjaan rumah. Aku cuma perlu duduk santai, menema







