"Dari mana saja, sih, kalian?!" bentak perempuan cantik itu."Tadi ada sedikit kendala, yang terpenting sekarang, kan, kita sudah sampai."Perempuan cantik itu mendengus kesal, ia terus-menerus menatapku. Persis seperti ingin menerkam mangsanya."Naya, pergilah ke sana." Hansen menunjuk ke arah balkon, ada sesi pemotretan di sana."Aku?" Hansen mengangguk. Beberapa karyawannya menuntun tanganku, sebagian lagi mengangkat sedikit gaun yang menjuntai ke belakang.Sekilas, aku melirik Hansen dan perempuan itu sedang bertengkar kecil. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.Fotografer memberiku pengarahan seperti apa nantinya. Tunggu dulu! Apa? Pemotretan? Apakah aku sedang menjadi model? Degup jantung semakin tak terkendali, ketika beberapa kali salah dan ulang kembali.Hansen mendekati diriku, "Baiklah, modelnya biar aku saja." Lalu, ia tersenyum dan berbisik padaku. "Tenang, santai aja. Anggap tidak ada siapa pun di ruangan ini," bisiknya.Meskipun masih salah, teta
Semua memang karena uang, aku kini terbiasa merias diri dan mulai merawat diri. Ya, aku merasakan perubahannya. Aku memuji bayangan yang ada di dalam cermin itu, cantik sekali. Hehehe. Selain diri sendiri yang memuji, siapa lagi?Fito masih di atas ranjang, memandangiku dari kejauhan. Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin, rencananya aku memang akan mengajak Fito ke rumah ibuku, dan mengajaknya bermain di mall lagi."Fito, sini kita ganti baju," titahku padanya.Anak itu langsung beranjak turun dari ranjang dan menghampiri diriku. Aku menggantikan pakaian Fito, selesai."Ayo, kita pergi.""Asiiik!"Tak lupa membawa uang dari Hansen, menaruhnya di dalam tas berukuran besar, lalu berjalan keluar kamar. Hari ini, aku meminta Pak Mamat untuk mengantarkan kami."Hey, mau ke mana kalian?" tanya Ambar dari lantai atas."Eh, kamu ada di rumah, toh? Aku kira pergi." Aku berhenti di ambang pintu. "Aku pinjem Pak Mamat dulu, ya? Pengen ke rumah ibuku," sambungku kembali.Supir Ambar ada tiga,
"Apapun yang terjadi, nikmati hidup ini. Hapus air mata, berikan senyummu. Kadang, senyum terindah datang setelah air mata penuh luka."***"Memangnya, abis ini kalian mau ke mana?" tanya Kak Okta sambil mengunyah makanannya."Ke mall aja, ajak Fito main.""Kita ikut, dong. Sudah lama, nih, aku sama Ibu gak ke mall.""Iya, kita siap-siap aja," timpal Ibal tak tahu malu."Yuk, ibu juga sekalian mau lihat-lihat."Akhirnya, aku tidak bisa melarang keinginan mereka. Mana mungkin aku tega, sedangkan ini adalah kesempatan kami untuk dekat kembali. Menjalin silaturahmi yang sempat menjauh, bahkan hampir terputus oleh keadaan."Baiklah, aku menunggu di dalam mobil aja, ya." Tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku segera menggendong Fito.Lagi-lagi tangan Ibal seperti disengaja, menyentuh jemariku. Aku segera menepisnya, dan berjalan keluar rumah. Dasar laki-laki tidak tahu malu, baru juga menjadi suami kakakku, tetapi tingkahnya sudah genit!Sepuluh menit kemudian, terlihat bayangan mereka ke
( Fakta Tentang Suami Kak Okta )*******Sudah dua jam kami mengitari mall ini, perlengkapan bayi pun sudah dibeli semua. Aku sengaja membelikan semua kebutuhan calon keponakan baruku.Dari pakaian, tempat tidur yang bisa bergoyang, peralatan mandi, hingga stroller bayi. Tidak ada yang kurang satu pun, aku tak ingin keterbatasan ekonomi membuat calon bayi itu menderita secara perlahan seperti Fito, anakku.Tanpa basa-basi, Ibal mengambil tas bayi dan gendongannya."Cih! Dasar tak tahu malu!" desisku."Fito mau beli apa?" tanyaku pada Fito yang dari tadi memandangi tumpukan mainan."Itu." Tunjuknya ke salah satu mainan.Aku mengambilnya dan langsung menaruhnya ke meja kasir, lagi-lagi Ibal menjajarkan barang yang ia pilih tadi di samping mainan Fito."Plastiknya dipisah aja, Mbak." Ibal bersuara kembali setelah aku membayar tagihan semuanya. Aku memutar bola mata dengan malas, ia malah menyunggingkan sebuah senyuman.Tidak ada rasa terima kasih, atau sekedar berbasa-basi untukku. Bukan
( Korban rumah tangga )*****Tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu. Sudah satu bulan aku berkerja di tempat Ambar, selama itu juga aku tidak tahu tentang kabar Azam maupun suamiku dan keluarganya. Sejak hari itu, aku tidak lagi berkunjung ke rumah ibuku. Malas rasanya melihat suami Kak Okta, beberapa kali kakakku menelepon menyuruhku datang. Namun, aku menolaknya dengan alasan sibuk bekerja.Pundi-pundi rupiah telah aku kumpulkan, sudah lebih dari cukup rasanya jika ingin membuka usaha. Tetapi, kata Ambar nanti saja kalau modal benar-benar matang. Sebenarnya aku berniat untuk mencari rumah, tetapi Ambar menahanku lagi. Katanya, lebih baik aku menumpang tinggal dengannya saja, tunggu aku sudah memiliki rumah baru pindah. Lucu memang, kenapa bukan adik-adiknya saja yang ia suruh tinggal di sini. Hahaha. Aku tertawa tanpa sebab.***"Jul, Okta kapan lahiran?" tanya Ambar saat kami sedang duduk di kursi taman."Katanya, sih, kalau gak salah denger bulan depan. Gak tau juga, memangnya
( Kenangan Terakhir )*****Aku memandangi bayi mungil yang sedang tertidur di atas ambal tanpa kasur, memang tidak layak sekali untuk berbaring di sana. Rumah ini, tidak ada barang-barang berharga, selain piring-piring, gelas, dan panci-panci yang tergantung di dinding rumah."Anakmu itu, apa gak sakit tidur di situ?" tanyaku. Pandangan mata tetap tertuju pada manusia kecil itu."Sudah biasa," ucap ibunya Eka.Keterbatasan ekonomi, membuat mereka terpaksa hidup menderita. Menahan rasa malu dan cemoohan orang-orang disekitarnya, bahkan tak segan-segan Eka dan keluarganya dihina habis-habisan. Mereka selalu menyindir, tentang Eka yang memiliki anak yang banyak, suami pemalas, dan lain sebagainya. Itu yang kudengar dari cerita Eka."Kasian, loh. Apa suamimu itu, tidak pernah sekali pun membeli kasur untuk anak-anaknya?" tanyaku lagi.Eka hanya menggeleng, bagaimana nasib kakakku nanti? Bisa-bisa, Kak Okta yang bekerja dan menghidupi suaminya. Aku membuang napas dengan berat. Setelah cuku
( Menginap di Hotel )"Hidup itu seperti mengendarai sebuah sepeda. Untuk menjaga keseimbangan kamu harus terus bergerak."~ Albert Einstein ~*****"Sebaiknya kamu istirahat aja dulu, mungkin kamu itu kecapean." Aku membuatnya untuk berdiri, tetapi lagi-lagi Ambar bersikap aneh."Gak! Gak mau, kita tidur di kamarmu aja, ya!" serunya.Tiket sudah dipesan, mau tak mau aku batalkan dan membiarkannya hangus. Aku dan Ambar berjalan beriringan, langkahnya seperti orang ragu. Sebentar-sebentar ia berhenti, mengamati setiap jengkal rumahnya, lalu ketakutan lagi. Aku jadi bingung sendiri dengan tingkah lakunya malam ini.Sementara Fito masih di kamar Mbak Ina seperti biasanya, aku benar-benar semakin menjauh dari anak itu."Jul, nanti sebagian uangku, kamu simpen, ya." Ambar menyerahkan beberapa kartu ATM padaku. "PINnya dicatat biar gak lupa," sambungnya lagi.Ambar memberitahu PIN ATM miliknya, semua akses pribadinya. Bahkan, sampai tempat penyimpanan emas pun tak luput dari sebutannya. Satu
( Hotel Berhantu )****Aku terbangun pukul tujuh malam, keadaan kamar begitu gelap. Fito tertidur pulas di sampingku, entah sejak kapan. Televisi masih menyala, membuat ruangan ini begitu temaram oleh pantulan cahayanya. Aku menyalakan lampu, dan membereskan sisa-sisa makanan yang ada di atas ranjang, bekas makan Fito tadi.Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Pak Mamat, apakah dia tidak lapar? Aku bergumam sendiri. Kakiku melangkah ke kamar mandi, bersiap diri untuk makan malam dan ke rumah almarhumah Erna nantinya.Aku menyalakan kran air, memenuhi bathtub dan menaruh beberapa tetes esensial oil aromaterapi ke dalamnya. Aku berendam selama 15 menit sambil memejamkan mata, tidak lupa memutar lagu instrumen Fur Ellise dari Beethoven, untuk merilekskan tubuh.Namun, baru saja aku menikmatinya, suara ketukan terdengar dua kali. Aku membuka mata dan menajamkan pendengaran, sayup terdengar suara rintihan dari balik tembok kamar mandi ini."Siapa yang nangis itu, ya?" ucapku tanpa sadar