Langit Manhattan malam itu menggantung rendah, penuh lampu-lampu kaca dari gedung pencakar langit yang seolah tak pernah lelah menyala. Dari jendela kaca ruang rapat lantai tiga puluh tujuh, Nara Evans Claudya berdiri sendiri, memandangi dunia yang begitu sibuk di bawah sana.
Cahaya kota seharusnya menghibur, tapi yang ia rasakan hanya kelelahan yang tertahan, dan keheningan yang terlalu dalam untuk diabaikan. Di tangan kirinya, ada gelas wine putih yang bahkan tak disentuh sejak dituang oleh asisten pribadi setengah jam lalu. Rapat itu seharusnya selesai, tapi belum ada yang datang. Mereka bilang akan ada strategic consultant baru dari Eropa yang akan memimpin sesi evaluasi proyek. Tentu, Nara sudah terbiasa menghadapi orang baru. Tapi ada firasat aneh yang menempel di pikirannya sejak tadi pagi. Dering notifikasi muncul di layar tablet—pesan dari Rhea. 'Rumornya ganteng dan super brengsek. Jangan jatuh cinta, Nara. Aku serius!' Nara tersenyum tipis. Rhea selalu berlebihan. Ia hendak membalas ketika pintu ruang rapat terbuka pelan. Yang masuk pertama adalah Thom Harson, sang CEO. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar mantap. Nara tak langsung menoleh. Ia masih menyesap ketenangannya yang tipis sebelum harus kembali bicara dengan orang-orang yang hanya melihatnya sebagai pencetak angka. Sampai satu suara itu terdengar. Begitu dalam, halus, dan akurat. "Senang bertemu dengan Anda semua. Saya Bara Damien Dane. Akan menangani bagian strategi lintas regional mulai hari ini." Nara tidak bergerak. Detak jantungnya melonjak tanpa izin. Bara Damien Dane. Nama itu menggema dalam ruang yang terlalu sempit untuk menampung kenangan. Ia tak perlu menoleh untuk tahu suara itu—ia telah hidup dengan gema itu selama enam tahun, bahkan setelah ditinggal tanpa pamit. 'Sial.' Thom mulai memperkenalkan orang-orang di ruangan. Suara-suara bersahutan, saling menyebut nama, gelar, fungsi. Tapi semuanya terdengar seperti suara jauh di terowongan. Nara masih belum menoleh. Sampai akhirnya ... "Dan ini, Nara Evans Claudya. Marketing Director kami. Ia akan jadi partner utama Anda, Bara.” Perlahan, dengan senyum paling profesional yang bisa ia tempelkan di wajahnya, Nara berbalik. Matanya bertemu matanya, dan waktu terdiam. Tidak ada kata. Tidak ada anggukan. Tidak ada pengakuan akan masa lalu. Tapi di sana, di antara kedua pasang mata yang sama-sama tenang di luar dan porak-poranda di dalam, ada badai yang tak terlihat. Bara hanya mengangguk kecil. "Senang bekerja sama, Nara." Suaranya tetap rendah. Tetap tenang. Tapi nadanya—Nara bisa dengar perbedaan satu milimeter dari nada aslinya. Nara menjawab, "Kita akan lihat nanti seberapa senang Anda, Tuan Dane." Sebuah senyum tipis di bibirnya. Nyaris sinis. Tapi hanya ia yang tahu, tangan kanannya sedikit bergetar. --- Rapat berjalan normal. Begitu normalnya hingga rasanya menyesakkan. Setiap kalimat Bara di layar presentasi membuat Nara semakin muak—bukan karena isinya buruk, tapi karena otaknya masih mengenali cara pikir pria itu. Cara dia menyusun analisis, urutan logika, hingga pilihan kata. Bara belum berubah. Bahkan gaya mencoret grafik pun masih sama: garis lurus, satu ketukan pendek di ujung. Saat semua orang sibuk mencatat dan mengangguk, Bara berjalan pelan ke sisi tempat Nara duduk. Lalu—satu sentuhan kecil terjadi. Tangannya menyentuh sisi meja. Tidak menyentuh kulit Nara, tidak menyenggol kursinya. Tapi jarak mereka tak lebih dari lima sentimeter. Dan Nara bisa mencium aroma yang menghantui malam-malam sepinya, citrus dan kayu cedar. Aroma yang dulu menempel di bantalnya. Aroma yang membangkitkan luka. Ia tetap menatap layar. Tapi tubuhnya kaku. Ia tahu Bara berdiri terlalu dekat. Terlalu tenang. Terlalu menyebalkan. "Sepertinya kamu masih suka presentasi panjang ya," bisik Bara perlahan. Sangat pelan, namun hanya untuknya. Nara tak menoleh. "Dan kamu masih suka pergi tanpa peringatan." Sentakan itu pelan tapi tepat sasaran. Bara tidak menjawab. Ia menjauh dengan satu langkah pelan, kembali ke posisi di depan ruangan. Tapi Nara tahu, dia tidak baik-baik saja. Beberapa jam kemudian, ruang rapat telah kosong. Nara berdiri di depan kaca lagi, seperti awal sebelumnya. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Langkah pelan datang dari belakang. Refleksi di kaca menunjukkan siluet pria jangkung bersetelan abu-abu dengan dasi longgar. "Kenapa kamu kembali?" tanya Nara tanpa menoleh. "Karena akhirnya aku bisa." Jawaban itu datar, tapi suara Bara lebih pelan dari biasanya. Seolah takut menghancurkan dinding yang rapuh. "Kamu pikir kamu bisa masuk begitu saja setelah enam tahun?" "Aku tidak masuk. Aku hanya bekerja." Nara menahan napas. Matanya masih menatap kota. Tapi hatinya sudah penuh dengan kata-kata yang tak terucap. "Dan kamu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bara. Kali ini benar-benar lirih. Nara mengangkat gelas winenya, masih penuh. "Aku minum sendirian sekarang. Itu jawabanmu." Sunyi. Angin dari ventilasi menderu pelan. Di luar sana, Manhattan tetap sibuk. Tapi di ruang itu, dua hati yang dulu saling memiliki hanya bisa berdiri sejauh satu napas—dan satu masa lalu. --- Di lift yang membawa Nara turun ke lobi, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal masuk. 'Kalau kamu butuh ruang napas, rooftop 47 masih terbuka. Seperti dulu.' Nara memandangi pesan itu cukup lama. Ia tahu siapa pengirimnya. Ia tahu arti ajakan itu. Tapi ia juga tahu ... cinta yang datang lagi kadang hanya untuk menyiksa lebih dalam. Nara tidak membalas pesan itu. Bukan karena dia tak ingin, tapi karena dia tahu—kalau dia membalas, dia akan naik. Kalau dia naik, dia akan kembali membuka pintu yang selama ini ia jaga rapat-rapat dengan ego, dengan kesibukan, dengan karier yang menjulang tapi kosong di dalam. Langkahnya di lobi terdengar mantap, sepatu haknya berdentang seperti ritme yang ia kenal betul, disiplin, tegas, rapi. Seolah tak ada yang goyah. Tapi dadanya—masih menahan denyut yang tak mau diam sejak suara itu kembali mengisi ruangnya. Keluar dari gedung, malam sudah larut. Jalanan Manhattan masih dipenuhi lampu-lampu tak tidur. Taksi kuning melintas cepat. Hujan gerimis turun, menyapu kilap dari trotoar dan menyisakan aroma aspal basah yang familiar. Dulu, saat masih bersamanya, Bara sering bilang, "Aku suka bau hujan di kota. Sama kayak kamu—dingin, tapi bikin ketagihan." Nara memejamkan mata sejenak. Lalu tertawa kecil. Sangat Pelan, tapi pahit. 'Kenapa kamu harus kembali saat aku sudah nyaris lupa cara menyebut namamu tanpa rasa sakit?' --- Sementara itu, di lantai 47, Bara duduk di tepi rooftop, kemejanya dilepas setengah, dasi sudah longgar, dan rambutnya sedikit acak. Di tangannya ada dua gelas bir kaleng dari vending machine karyawan yang dulu mereka curi waktu bersama. Ia tidak tahu apakah Nara akan datang. Tapi ia tetap duduk di sana, untuk menunggu. Dulu, tempat itu tempat mereka kabur dari dunia—rooftop gedung lama, tempat diam-diam mereka menikmati dunia tanpa status. Tanpa label. Dua gelas. Satu kosong. Satu masih utuh. Hujan turun lebih deras. Tapi Bara tetap di sana. Bahkan saat ponselnya tetap sunyi. Di apartemennya yang tinggi, dengan interior hitam putih dan satu lukisan abstrak besar di ruang tengah, Nara berdiri menatap jendela. Tangannya masih memegang ponsel yang kini tergeletak di meja dapur, layar menyala dengan pesan yang tak dibalas. Dia membuka laci kecil. Di dalamnya, kotak kayu kecil yang sudah lama tak disentuh. Nara membukanya pelan. Di dalamnya. Sehelai tiket konser jazz yang sudah lusuh, sebuah kunci kamar hotel kecil di Prague tempat liburan mereka dulu, dan ... foto mereka berdua, dalam hitam-putih, sedang tertawa. Waktu itu sangat bahagia, meskipun cukup sederhana. Nara menatap foto itu lebih lama. Lalu meletakkannya kembali. Tapi bukan di laci. Ia meletakkannya di meja. Di atasnya. Karena meski ia tak tahu akan ke mana semua ini berakhir, satu hal pasti—malam ini, hatinya kembali bergetar setelah lama membatu. Di dalam hatinya, bagi Nara, cukup untuk membuat semuanya berantakan lagi.'Kamu di sini, Bara. Tapi kenapa aku merasa separuh hatimu berada di tempat lain?' pikirnya sendiri.Perlahan, Nara menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangannya melingkar di pinggang Bara, memeluk erat. Ia menarik napas dalam, berharap hangat tubuh Bara bisa meredam kegelisahan yang mengguncangnya sejak tadi.Bara bergerak sedikit, kelopak matanya setengah terbuka. Ia berbalik, menatap Nara dengan mata yang masih berat karena kantuk."Kenapa belum tidur?" suaranya serak.Nara menggigit bibirnya, menatap mata Bara yang gelap namun sulit dibaca. "Aku … ada yang mau aku tanyain.""Harus sekarang?" Bara menarik Nara ke dalam pelukannya, mencium puncak kepalanya. "Besok aja, ya? Aku capek banget hari ini.""Enggak mau, Bara. Aku harus tanya sekarang." Nada suara Nara terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Bara terdiam, matanya terbuka penuh sekarang. "Tanya apa?"Nara menarik napas. "Pagi tadi … ada telepon masuk di ponselmu. Dari seseorang inisialnya ‘B,' Siapa dia?"Jantung Bara
Aroma kopi yang mengepul di udara bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari toaster, di pagi hari yang terasa lebih hangat. Nara berdiri di dapur, mengenakan piyama tipis dengan rambut yang masih sedikit kusut. Ia tersenyum kecil melihat Bara duduk di meja makan, membaca email di ponselnya sambil menyeruput kopi."Kayak adegan keluarga kecil ya," ujar Nara pelan, mencoba bercanda.Bara menoleh, lalu tertawa kecil. "Keluarga kecil yang belum ada anaknya gitu," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.Nara ikut tertawa, tapi di balik tawanya ada sesuatu yang menggantung di dada. Ia memperhatikan Bara lebih seksama pagi ini. Ada saat-saat ketika Bara tampak kosong. Tatapan matanya kadang menjauh, seperti pria itu sedang berada di tempat lain yang jauh dari ruangan hangat ini.Nara menyeduh kopinya sendiri, duduk di kursi seberang Bara. Pikirannya kembali ke momen di kafe beberapa hari lalu, saat Bara menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam—penuh rindu, penuh lu
Senja di Manhattan terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam sebuah restoran mewah dengan kaca besar menghadap gedung-gedung pencakar langit.Bara duduk diam menatap segelas wine merah di depannya. Tangannya meremas gagang gelas itu erat-erat, seolah mencoba menahan emosi yang sudah bergejolak sejak pagi.Di hadapannya, Bianca duduk dengan anggun. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, rambut panjangnya tergerai rapi, bibir merahnya melengkungkan senyum lembut yang seolah tak pernah pudar. Mata Bianca menatap Bara dengan sorot yang sulit Bara lawan—mata yang penuh kehangatan, penuh rasa."Terima kasih sudah mau datang. Jadi kita nggak membuat papa dan mama cemas," ucap Bianca pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Bara menghela napas panjang. "Aku datang karena papa memaksa."Bianca tersenyum kecil, meski ada semburat luka di matanya. "Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau kamu tidak pernah menginginkan ini.""Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih mau meneruskan semuan
"Bara ... kamu tampan sekali," lirih Nara pelan sambil tersenyum.Pagi itu seharusnya menjadi pagi paling damai dalam hidup Nara. Sinar mentari masuk melalui celah tirai, menyinari kulitnya yang masih hangat oleh sentuhan semalam. Di sampingnya, Bara masih terlelap dengan napas teratur, rambutnya sedikit berantakan. Tangannya yang kokoh masih melingkari pinggang Nara, seolah menegaskan bahwa ia tidak ingin melepaskannya lagi.Nara menatapnya lama, jemarinya menggambar garis rahang Bara dengan pelan. Hatinya terasa penuh—antara bahagia, takut, dan rindu yang baru saja terobati. "Apakah ini hanya mimpi? Atau dia benar-benar kembali untukku?"Bara bergeming, lalu perlahan membuka mata. Begitu mata mereka bertemu, senyum kecil muncul di bibirnya. "Pagi," bisiknya serak.Nara tersenyum, pura-pura menyembunyikan debar di dadanya. "Kamu tidur kayak bayi, Bara.""Kalau ada kamu, ya begini jadinya," jawab Bara ringan. Ia menarik Nara lebih dekat, mencium ubun-ubunnya lama. "Kalau aku bisa, ak
Pagi datang perlahan, memecah malam yang berat seperti napas yang baru dihela setelah sekian lama tertahan. Nara berdiri di depan lemari pakaian. Ia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya jika bertemu Bara, tidak juga tentang jawaban yang harus ia berikan atas luka lama mereka. Yang ia tahu, pagi ini ia akan pergi ke tempat itu—tempat yang pernah menjadi rumah kecil untuk dua hati yang saling mencari.Lower East Side, belum terlalu ramai. Jalanan masih basah sisa hujan malam. Nara masuk ke dalam kafe kecil itu, yang dindingnya masih sama seperti dulu. Bata merah, aroma kopi yang menyambut dari kejauhan.Dan di sana, di sudut jendela, Bara duduk. Mengenakan jaket hitam sederhana, wajahnya seperti memuat ribuan kata yang tak pernah ditulis.Nara menghampiri. Mereka hanya saling pandang. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya keheningan yang terasa ... akrab."Aku nggak tahu kenapa aku datang," kata Nara pelan."Tapi kamu akhirnya datang." Suara Bara nyaris seperti bi
Matahari pagi menyelinap pelan melalui jendela apartemen Nara, menembus celah tirai putih yang melambai lembut tertiup angin dari pendingin ruangan. Di atas sofa ruang tamu, Nara masih duduk dengan tubuh memeluk lututnya. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Ia belum tidur.Bara telah pulang satu jam lalu. Bukan karena diminta, bukan karena pertengkaran—tetapi karena mereka sama-sama takut.Setelah ciuman itu, setelah tubuh mereka terlalu dekat, dan napas saling bertukar dalam keheningan malam … mereka berhenti. Nara menyuruh Bara pergi. Dengan suara pelan dan mata yang tak berani menatap. Ia hanya berkata, "Kalau kamu tinggal, semuanya akan rusak."Dan Bara, meski enggan, memilih diam-diam meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen dengan tatapan terluka.Sekarang, Nara terdiam dalam apartemennya yang dingin. Di luar, New York mulai hidup kembali. Tapi jiwanya … belum.Di seberang kota, Bara duduk di kursi tinggi dapur kecil di unit serviced apartment tempatnya menginap. Kopi yang