Home / Romansa / Midnight In Manhattan / Terbangun Di Sampingnya

Share

Terbangun Di Sampingnya

Author: Meldy Wita
last update Last Updated: 2025-06-13 23:36:12

Pagi datang perlahan, memecah malam yang berat seperti napas yang baru dihela setelah sekian lama tertahan. Nara berdiri di depan lemari pakaian.

Ia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya jika bertemu Bara, tidak juga tentang jawaban yang harus ia berikan atas luka lama mereka. Yang ia tahu, pagi ini ia akan pergi ke tempat itu—tempat yang pernah menjadi rumah kecil untuk dua hati yang saling mencari.

Lower East Side, belum terlalu ramai. Jalanan masih basah sisa hujan malam. Nara masuk ke dalam kafe kecil itu, yang dindingnya masih sama seperti dulu. Bata merah, aroma kopi yang menyambut dari kejauhan.

Dan di sana, di sudut jendela, Bara duduk. Mengenakan jaket hitam sederhana, wajahnya seperti memuat ribuan kata yang tak pernah ditulis.

Nara menghampiri. Mereka hanya saling pandang. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya keheningan yang terasa ... akrab.

"Aku nggak tahu kenapa aku datang," kata Nara pelan.

"Tapi kamu akhirnya datang." Suara Bara nyaris seperti bisikan.

Nara duduk, meletakkan tasnya di samping. Mereka memesan seperti biasa—latte untuknya, espresso untuk Bara. Tak ada percakapan selama beberapa menit. Hanya tatap-tatapan sesekali yang ditarik dengan cepat. Seolah takut terbakar oleh sisa api yang belum benar-benar padam.

"Dulu, setiap Minggu pagi kita selalu di sini," ucap Bara, lebih kepada dirinya sendiri.

Nara menatap cangkirnya. "Dan kamu dulu ... tiba-tiba pergi."

Bara tampak menahan napas. Tapi Nara menggeleng cepat. "Tapi pagi ini, aku nggak mau bicara tentang masa lalu."

Bara mengangguk pelan. "Jadi kamu mau bicara tentang hari ini?"

Nara memandangnya lama. "Mungkin aku cuma ... mau duduk bareng kamu lagi. Mau tahu rasanya seperti apa."

"Nara, rasanya sama. Seperti sebelum-sebelumnya saat kita selalu menghabiskan Minggu pagi berdua."

"Tapi nyatanya, itu hanya sesaat. Bukan selalu."

"Aku minta maaf, Nara. Maaf sudah menyisakan ruang trauma di dalam hidupmu." Bara menunduk, namun matanya berkaca-kaca.

"Trauma yang rumit, tapi kini traumaku kembali goyah."

"Apa karena kehadiran ku kembali?" Bara penuh harap sambil menggenggam tangan Nara perlahan.

Nara mengangguk kecil. "Hatiku sudah goyah, Bara. Aku terluka akan hadirmu lagi, tapi lukaku akan jauh lebih besar jika kamu kembali pergi."

"Tapi, kedatanganmu pagi ini sudah memperjelas segalanya, Nara."

"Aku tahu itu."

Bara menggeser posisi ke samping, membawa Nara bersandar.

"Maafkan aku, Nara. Mungkin aku salah, tapi berikan aku waktu untuk bisa menjelaskan semuanya. Entah esok. Entah mungkin setelah kita kembali serumah."

"Aku akan menunggu saat itu, Bara."

Walaupun sangat ingin, namun sebagai seorang wanita dewasa, ia memiliki batas untuk tidak memaksa. Ia paham, ada sesuatu yang besar—yang mungkin Bara sembunyikan.

Hanya saja ... kekuatan cintanya jauh lebih besar. Membawa Nara memilih berdiam. Di tengah rasa penasaran besar bergelut di dalam pikirannya.

Perbincangan mereka ringan. Lalu mendalam. Lalu ringan lagi. Mereka tertawa kecil, berhenti, lalu menatap jendela. Seolah takut membiarkan perasaan yang sebenarnya meledak di antara kata-kata.

Hingga akhirnya, langit mulai meredup lagi. Hujan rintik mulai turun. Mereka keluar dari kafe bersama. Tanpa tujuan. Tanpa rencana.

Langkah mereka membawa sampai ke depan apartemen Nara. Tak ada janji untuk bertemu lagi. Tak ada kalimat pamit.

"Naik sebentar?" Nara bertanya.

Bara menatapnya. Dan mengangguk.

Di dalam apartemen, semuanya terasa seperti dulu. Wangi sabun lembut. Lampu kuning temaram. Sofa yang sama.

Nara melepas mantel dan menaruhnya di gantungan. Bara hanya berdiri di tengah ruang tamu, seperti seseorang yang kembali ke tempat yang pernah ia tinggalkan, tapi belum berani menyentuh apa pun.

"Kamu haus?" tanya Nara.

Bara menggeleng. "Aku cuma mau lihat kamu."

Nara menoleh. Ada jeda. Ada ketegangan. Tapi bukan ketegangan yang menakutkan—melainkan semacam ... kelegaan. Seperti mereka akhirnya tiba di tempat yang benar, walau caranya kacau.

Ia melangkah mendekat. "Apa kamu masih sering mengingat aku?"

Bara menatapnya. "Setiap malam. Bahkan ketika aku berusaha melupakannya, itu malah terasa makin nyata."

Nara tidak menunggu lebih lama. Ia meraih wajah Bara. Menciumnya dengan perlahan, tapi dalam. Seperti mencicipi kembali sesuatu yang sempat hilang, dan kini kembali ditemukan.

Ciuman itu tumbuh. Tangan mereka saling menarik. Nafas makin cepat. Rintik hujan di luar menjadi musik pengiring yang pelan.

Tubuh mereka saling melepas jarak. Satu demi satu pakaian jatuh, bukan karena nafsu semata, tapi karena mereka ingin kembali menjadi satu.

Nara menggenggam jemari Bara di atas ranjang. Tidak terburu-buru. Tidak liar. Hanya keintiman yang dalam, menyelimuti keduanya.

Suara napas, erangan lirih, dan dentuman jantung menjadi bahasa yang tak bisa diterjemahkan.

Ketika semua usai, mereka terbaring dalam diam. Nara menyandarkan kepala di dada Bara, mendengarkan detak yang dulu sangat ia rindukan.

Tidak ada janji malam itu. Tidak ada permintaan untuk tetap tinggal.

Tapi pelukan itu cukup untuk memberi satu harapan, bahwa cinta yang tertinggal—masih bisa ditemukan kembali, meski telah jauh pergi.

Sinar matahari masuk malu-malu dari sela tirai. Ruangan apartemen Nara masih sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan. Di ranjang, tubuh mereka masih saling bersentuhan. Hangat. Nyata.

Nara membuka mata perlahan, mendapati cahaya pagi menyinari sebagian wajah Bara yang tertidur di sebelahnya. Rambutnya sedikit berantakan, napasnya tenang. Dan di detik itu, semuanya terasa ... tidak seburuk kemarin.

Ia membiarkan tangannya menggambar garis rahang Bara dengan ujung jari. Begitu pelan, seperti takut membangunkan mimpi yang terlalu indah untuk diakhiri.

Tapi Bara tergerak, kelopak matanya terbuka perlahan, dan senyum kecil langsung tercipta di bibirnya saat melihat Nara begitu dekat.

"Pagi," ucapnya serak, suara khas bangun tidur yang entah kenapa membuat jantung Nara berdetak lebih cepat.

Nara menggigit bibirnya sebentar. "Kamu ngorok semalaman," katanya pura-pura kesal.

Bara mengerutkan dahi. "Bohong."

Nara tertawa pelan. Lalu jatuh dalam diam lagi.

Mereka hanya berbaring, saling memandang. Tak perlu banyak kata. Tak perlu menjelaskan apa yang sudah terjadi. Karena pagi itu, yang mereka butuhkan hanya ... kebersamaan.

"Kalau pagi seperti ini selalu ada," bisik Bara, "aku nggak akan pernah mau ke mana-mana lagi."

Nara menghindari tatapannya sejenak. "Kamu dulu juga bilang begitu," jawabnya pelan, tapi tak bernada marah. Hanya ... kejujuran.

Bara menghela napas panjang. Tapi tidak membalas. Hanya menarik tubuh Nara lebih dekat, memeluknya dari belakang.

Tubuh mereka menyatu lagi, bukan karena dorongan sesaat, tapi karena rindu yang terlalu lama ditahan. Jemari Bara menyusuri lekuk bahu Nara, turun ke pinggangnya, menahan lembut. Nara berbalik, menatapnya.

Kali ini, tidak ada canggung. Tidak ada keraguan. Hanya desahan pelan ketika bibir mereka bertemu lagi.

Pagi yang seharusnya sibuk berubah jadi waktu yang membeku. Di antara linen putih dan sinar matahari yang menyinari kulit mereka, keintiman itu kembali terulang. Lebih pelan. Lebih lembut. Seperti mereka sedang menulis ulang puisi lama yang patah di tengah jalan.

Tak ada yang buru-buru. Sentuhan mereka lebih seperti pengakuan diam. Bahwa cinta itu masih ada. Bahwa tubuh mereka masih saling mengingat.

Dan ketika akhirnya semuanya reda kembali, mereka terbaring dalam keheningan yang penuh makna. Nara menyandarkan kepalanya di dada Bara, mendengar detak yang dulu ia kira takkan pernah ia dengar lagi.

"Jadi ... sekarang kita apa?" tanya Nara, hampir tak terdengar.

Bara mengecup ubun-ubunnya. "Sekarang kita ... punya pagi ini. Dan aku harap, kamu mau kasih aku lebih dari itu."

Nara tidak menjawab. Tapi ia menutup matanya, membiarkan pelukan itu bertahan lebih lama. Setidaknya hari ini, ia tidak merasa sendirian lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Midnight In Manhattan   Menunggu

    'Kamu di sini, Bara. Tapi kenapa aku merasa separuh hatimu berada di tempat lain?' pikirnya sendiri.Perlahan, Nara menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangannya melingkar di pinggang Bara, memeluk erat. Ia menarik napas dalam, berharap hangat tubuh Bara bisa meredam kegelisahan yang mengguncangnya sejak tadi.Bara bergerak sedikit, kelopak matanya setengah terbuka. Ia berbalik, menatap Nara dengan mata yang masih berat karena kantuk."Kenapa belum tidur?" suaranya serak.Nara menggigit bibirnya, menatap mata Bara yang gelap namun sulit dibaca. "Aku … ada yang mau aku tanyain.""Harus sekarang?" Bara menarik Nara ke dalam pelukannya, mencium puncak kepalanya. "Besok aja, ya? Aku capek banget hari ini.""Enggak mau, Bara. Aku harus tanya sekarang." Nada suara Nara terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Bara terdiam, matanya terbuka penuh sekarang. "Tanya apa?"Nara menarik napas. "Pagi tadi … ada telepon masuk di ponselmu. Dari seseorang inisialnya ‘B,' Siapa dia?"Jantung Bara

  • Midnight In Manhattan   B—Siapa Dia?

    Aroma kopi yang mengepul di udara bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari toaster, di pagi hari yang terasa lebih hangat. Nara berdiri di dapur, mengenakan piyama tipis dengan rambut yang masih sedikit kusut. Ia tersenyum kecil melihat Bara duduk di meja makan, membaca email di ponselnya sambil menyeruput kopi."Kayak adegan keluarga kecil ya," ujar Nara pelan, mencoba bercanda.Bara menoleh, lalu tertawa kecil. "Keluarga kecil yang belum ada anaknya gitu," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.Nara ikut tertawa, tapi di balik tawanya ada sesuatu yang menggantung di dada. Ia memperhatikan Bara lebih seksama pagi ini. Ada saat-saat ketika Bara tampak kosong. Tatapan matanya kadang menjauh, seperti pria itu sedang berada di tempat lain yang jauh dari ruangan hangat ini.Nara menyeduh kopinya sendiri, duduk di kursi seberang Bara. Pikirannya kembali ke momen di kafe beberapa hari lalu, saat Bara menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam—penuh rindu, penuh lu

  • Midnight In Manhattan   Ketulusan Bianca

    Senja di Manhattan terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam sebuah restoran mewah dengan kaca besar menghadap gedung-gedung pencakar langit.Bara duduk diam menatap segelas wine merah di depannya. Tangannya meremas gagang gelas itu erat-erat, seolah mencoba menahan emosi yang sudah bergejolak sejak pagi.Di hadapannya, Bianca duduk dengan anggun. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, rambut panjangnya tergerai rapi, bibir merahnya melengkungkan senyum lembut yang seolah tak pernah pudar. Mata Bianca menatap Bara dengan sorot yang sulit Bara lawan—mata yang penuh kehangatan, penuh rasa."Terima kasih sudah mau datang. Jadi kita nggak membuat papa dan mama cemas," ucap Bianca pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Bara menghela napas panjang. "Aku datang karena papa memaksa."Bianca tersenyum kecil, meski ada semburat luka di matanya. "Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau kamu tidak pernah menginginkan ini.""Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih mau meneruskan semuan

  • Midnight In Manhattan   Rahasia Baru

    "Bara ... kamu tampan sekali," lirih Nara pelan sambil tersenyum.Pagi itu seharusnya menjadi pagi paling damai dalam hidup Nara. Sinar mentari masuk melalui celah tirai, menyinari kulitnya yang masih hangat oleh sentuhan semalam. Di sampingnya, Bara masih terlelap dengan napas teratur, rambutnya sedikit berantakan. Tangannya yang kokoh masih melingkari pinggang Nara, seolah menegaskan bahwa ia tidak ingin melepaskannya lagi.Nara menatapnya lama, jemarinya menggambar garis rahang Bara dengan pelan. Hatinya terasa penuh—antara bahagia, takut, dan rindu yang baru saja terobati. "Apakah ini hanya mimpi? Atau dia benar-benar kembali untukku?"Bara bergeming, lalu perlahan membuka mata. Begitu mata mereka bertemu, senyum kecil muncul di bibirnya. "Pagi," bisiknya serak.Nara tersenyum, pura-pura menyembunyikan debar di dadanya. "Kamu tidur kayak bayi, Bara.""Kalau ada kamu, ya begini jadinya," jawab Bara ringan. Ia menarik Nara lebih dekat, mencium ubun-ubunnya lama. "Kalau aku bisa, ak

  • Midnight In Manhattan   Terbangun Di Sampingnya

    Pagi datang perlahan, memecah malam yang berat seperti napas yang baru dihela setelah sekian lama tertahan. Nara berdiri di depan lemari pakaian. Ia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya jika bertemu Bara, tidak juga tentang jawaban yang harus ia berikan atas luka lama mereka. Yang ia tahu, pagi ini ia akan pergi ke tempat itu—tempat yang pernah menjadi rumah kecil untuk dua hati yang saling mencari.Lower East Side, belum terlalu ramai. Jalanan masih basah sisa hujan malam. Nara masuk ke dalam kafe kecil itu, yang dindingnya masih sama seperti dulu. Bata merah, aroma kopi yang menyambut dari kejauhan.Dan di sana, di sudut jendela, Bara duduk. Mengenakan jaket hitam sederhana, wajahnya seperti memuat ribuan kata yang tak pernah ditulis.Nara menghampiri. Mereka hanya saling pandang. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya keheningan yang terasa ... akrab."Aku nggak tahu kenapa aku datang," kata Nara pelan."Tapi kamu akhirnya datang." Suara Bara nyaris seperti bi

  • Midnight In Manhattan   Setelah Ciuman Itu

    Matahari pagi menyelinap pelan melalui jendela apartemen Nara, menembus celah tirai putih yang melambai lembut tertiup angin dari pendingin ruangan. Di atas sofa ruang tamu, Nara masih duduk dengan tubuh memeluk lututnya. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Ia belum tidur.Bara telah pulang satu jam lalu. Bukan karena diminta, bukan karena pertengkaran—tetapi karena mereka sama-sama takut.Setelah ciuman itu, setelah tubuh mereka terlalu dekat, dan napas saling bertukar dalam keheningan malam … mereka berhenti. Nara menyuruh Bara pergi. Dengan suara pelan dan mata yang tak berani menatap. Ia hanya berkata, "Kalau kamu tinggal, semuanya akan rusak."Dan Bara, meski enggan, memilih diam-diam meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen dengan tatapan terluka.Sekarang, Nara terdiam dalam apartemennya yang dingin. Di luar, New York mulai hidup kembali. Tapi jiwanya … belum.Di seberang kota, Bara duduk di kursi tinggi dapur kecil di unit serviced apartment tempatnya menginap. Kopi yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status