Home / Romansa / Midnight In Manhattan / Tanpa Kata, Tapi Segalanya Terasa

Share

Tanpa Kata, Tapi Segalanya Terasa

Author: Meldy Wita
last update Huling Na-update: 2025-06-13 01:00:20

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi saat Nara tiba lebih awal di kantor—seperti biasa. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak membawa kopinya dari kafe sudut jalan seperti biasanya, dan wajahnya sedikit lebih tegang, meskipun tetap terbungkus makeup sempurna dan balutan jas krem yang rapi.

Ketika ia melewati ruang lounge karyawan, beberapa staf menyapa sopan.

"Pagi, Mbak Nara."

Ia hanya mengangguk. Separuh pikirannya masih terikat pada kejadian semalam. Pesan dari Bara. Sentuhan tanpa senggolan. Tatapan tanpa suara. Dan ... perasaan yang masih menggantung, seperti kabut pagi yang belum menghilang dari kaca jendela.

Langkahnya berhenti sejenak di depan ruang rapat. Di sana, layar masih menampilkan sisa presentasi Bara dari semalam. Ia masuk, lalu duduk sendiri di kursi yang sama, dan menyentuh permukaan meja yang kemarin disentuh pria itu. Tiba-tiba jari-jarinya seperti bisa mengingat suhu tubuh yang mendekat diam-diam.

Ia mendesah pelan. "Ini konyol," bisiknya.

Tapi rasa itu nyata. Dan itu yang menakutkan.

Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar dari arah pintu. Pelan, satu ketukan—seperti dulu, cara Bara mengetuk pintu kamar apartemen mereka saat tak ingin mengganggu.

Nara tahu siapa itu, bahkan sebelum pria itu muncul.

Bara melangkah masuk dengan jas hitam tanpa dasi, rambut sedikit lebih rapi dari semalam, dan aroma itu—masih aroma yang sama.

"Maaf mengganggu pagi yang damai," katanya tenang.

Nara menatapnya. "Kalau kau datang untuk bicara soal kerja, silakan duduk. Kalau bukan, keluar."

Senyum tipis muncul di sudut bibir Bara. Tapi tidak mengejek. Hanya ... terlalu mengenal.

"Aku datang untuk menjelaskan beberapa revisi dokumen strategi. Boleh?"

Nara mengangguk dingin. Tapi dalam hatinya, ada bagian kecil yang lega karena pria itu tidak membahas hal lain. Setidaknya belum.

Mereka duduk berdampingan di sisi meja yang sama. Nara menyimak penjelasan Bara soal proyek pengembangan ekspansi pasar Asia—tapi pikirannya tak sepenuhnya fokus. Ia merasa gugup karena jarak tubuh mereka terlalu dekat, dan suaranya, suara itu, masih menembus pertahanannya dengan mudah.

Bara mengetik sesuatu di tabletnya, lalu menunjukkannya ke arah Nara. Tangan mereka nyaris bersentuhan saat tablet berpindah tangan. Jemarinya dingin. Tapi ada getar yang merambat.

Nara menarik napas pendek. "Kamu bisa kirim lewat email. Tak perlu ditunjukkan begini."

"Kalau begitu, aku tak akan punya alasan untuk duduk di sini," jawab Bara pelan. Mata mereka bertemu. Tidak tajam. Tidak hangat. Tapi penuh sisa-sisa yang belum pernah selesai.

Nara memalingkan pandangan. "Kau salah ruangan, Bara. Ini bukan tempat untuk mengenang."

"Aku tidak mengenang. Aku sedang bertahan."

Kalimat itu berhenti di udara. Nara tidak tahu harus menjawab atau membiarkannya lewat. Tapi yang pasti, kata itu menampar lebih keras dari yang ia kira.

Hari berjalan cepat. Rapat demi rapat berlangsung, dan Nara kembali menjadi direktur yang dihormati. Tegas, cerdas, tidak emosional. Tapi setiap kali ia membuka dokumen proyek, ada nama Bara di pojok halaman. Dan itu cukup untuk mengusik.

Sore hari, Rhea—selaku teman baiknya, masuk ke ruangannya sambil membawa dua cangkir kopi.

"Aku tahu kamu belum ngopi seharian," kata Rhea, meletakkan cangkir di meja.

Nara mengangguk. "Terima kasih."

Rhea duduk di sofa kecil. "Jadi ... bagaimana pertemuan pertama dengan mantan yang hilang begitu saja itu?"

Nara menatap kosong ke arah jendela. "Rasanya ... seperti mimpi buruk yang terlalu nyata."

"Dia masih tampan?" tanya Rhea, setengah bercanda.

Nara diam. Lalu berkata, "Masih. Dan sayangnya, masih bisa membuatku gugup dengan hanya berdiri dekat."

Rhea mencondongkan tubuh. "Nara, kamu sadar kan kamu belum benar-benar selesai dengan dia?"

Nara tertawa kering. "Bukan soal selesai atau tidak. Tapi soal ... kenapa dia harus kembali sekarang?"

Rhea tidak menjawab. Hanya menatap sahabatnya itu dengan rasa kasihan dan kekaguman. Nara adalah perempuan yang selama ini terlihat tak bisa dihancurkan. Tapi kini, satu pria dari masa lalu cukup untuk membuatnya retak.

Malam itu, kantor mulai sepi. Nara tinggal sendirian di ruangannya. Ia menutup laptopnya, lalu berdiri menatap langit Manhattan dari balik kaca.

Ponselnya kembali bergetar. 'Masih bekerja larut? Aku ada di pantry lantai 35. Mau kopi kedua?'

"Bara, mau ..."

Nara menatap pesan itu cukup lama. Ia tahu lebih baik untuk tidak membalas. Tapi jemarinya bergerak sendiri.

'Aku turun sebentar.'

Pantry lantai 35 terlihat begitu sunyi. Lampu gantung-gantung berwarna hangat menyoroti ruangan yang bersih. Bara berdiri di sana, dengan dua cangkir kopi kertas di tangannya. Salah satunya ia ulurkan ke arah mantan kekasihnya.

"Ini bukan wine. Tapi mungkin cukup untuk menghangatkan malam."

Nara mengambilnya tanpa bicara. Aroma kopi menguar pelan. Waktu seperti berhenti.

"Apa kamu bahagia di sana, setelah pergi?" tanya Nara tiba-tiba.

Bara menatapnya. "Tidak."

Nara menatap balik. "Lalu kenapa tetap pergi?"

Bara menjawab lambat. "Karena waktu itu, aku pikir ... kamu lebih baik tanpa aku."

Nara tertawa pahit. "Dan kamu pikir, kamu cukup penting untuk menentukan apa yang baik untukku?"

Bara terdiam.

Kemudian, ia melangkah satu langkah mendekat. Tapi masih memberi jarak. Cukup untuk tetap sopan. Tapi cukup dekat untuk membuat napas mereka saling menyentuh.

"Aku tidak minta dimaafkan. Tapi aku ingin kamu tahu ... aku masih ingat semua hal kecil tentang kita. Bahkan ... cara kamu memegang cangkir dengan tangan kiri."

Nara menunduk. "Kamu harus berhenti."

"Tapi kamu belum pernah memintaku benar-benar pergi, Nara."

Sunyi. Hanya detak jam dan napas mereka yang terdengar.

Dan saat itu juga, Nara sadar ... pertempuran ini tidak akan sesederhana memilih melupakan.

Malam itu, saat pulang ke apartemen, Nara duduk lama di atas ranjang. Masih mengenakan jas kerjanya. Cangkir kopi kosong ada di meja. Dan pikirannya penuh.

Karena cinta yang kembali dengan diam-diam ... adalah cinta yang paling sulit ditolak.

Nara berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Matanya tak lagi setajam tadi pagi. Ada lelah. Ada gugup. Dan ada sesuatu yang ia benci rasakan lagi—rindu.

Ia membuka kancing jas satu per satu. Lalu menggantungnya rapi. Tapi saat ia menoleh ke tempat tidur, pandangannya tertumbuk pada kotak kayu kecil yang masih terbuka. Foto itu masih di sana.

Nara mengambilnya perlahan. Menatapnya lama. Kali ini tanpa senyum.

Suara notifikasi ponsel memecah hening. Satu pesan masuk dari Bara.

'Kau tahu apa yang paling kusukai dari sore ini? Bukan kopinya. Tapi caramu tetap tidak bisa menyembunyikan bahwa kamu masih peduli.'

Nara menggigit bibir. Menekan layar untuk mematikan pesan. Tapi ia tidak menghapusnya. Tidak seperti biasanya.

Ia rebah di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Kata-kata itu terus berputar di kepala.

"Masih peduli." Ya. Ia peduli.

Dan di malam itu, Nara tahu. Ia bisa menutup pintu berkali-kali ... tapi jika Bara terus mengetuknya dengan cara seperti itu, ia takut tak akan mampu terus mengatakan "tidak."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Midnight In Manhattan   Menunggu

    'Kamu di sini, Bara. Tapi kenapa aku merasa separuh hatimu berada di tempat lain?' pikirnya sendiri.Perlahan, Nara menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangannya melingkar di pinggang Bara, memeluk erat. Ia menarik napas dalam, berharap hangat tubuh Bara bisa meredam kegelisahan yang mengguncangnya sejak tadi.Bara bergerak sedikit, kelopak matanya setengah terbuka. Ia berbalik, menatap Nara dengan mata yang masih berat karena kantuk."Kenapa belum tidur?" suaranya serak.Nara menggigit bibirnya, menatap mata Bara yang gelap namun sulit dibaca. "Aku … ada yang mau aku tanyain.""Harus sekarang?" Bara menarik Nara ke dalam pelukannya, mencium puncak kepalanya. "Besok aja, ya? Aku capek banget hari ini.""Enggak mau, Bara. Aku harus tanya sekarang." Nada suara Nara terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Bara terdiam, matanya terbuka penuh sekarang. "Tanya apa?"Nara menarik napas. "Pagi tadi … ada telepon masuk di ponselmu. Dari seseorang inisialnya ‘B,' Siapa dia?"Jantung Bara

  • Midnight In Manhattan   B—Siapa Dia?

    Aroma kopi yang mengepul di udara bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari toaster, di pagi hari yang terasa lebih hangat. Nara berdiri di dapur, mengenakan piyama tipis dengan rambut yang masih sedikit kusut. Ia tersenyum kecil melihat Bara duduk di meja makan, membaca email di ponselnya sambil menyeruput kopi."Kayak adegan keluarga kecil ya," ujar Nara pelan, mencoba bercanda.Bara menoleh, lalu tertawa kecil. "Keluarga kecil yang belum ada anaknya gitu," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.Nara ikut tertawa, tapi di balik tawanya ada sesuatu yang menggantung di dada. Ia memperhatikan Bara lebih seksama pagi ini. Ada saat-saat ketika Bara tampak kosong. Tatapan matanya kadang menjauh, seperti pria itu sedang berada di tempat lain yang jauh dari ruangan hangat ini.Nara menyeduh kopinya sendiri, duduk di kursi seberang Bara. Pikirannya kembali ke momen di kafe beberapa hari lalu, saat Bara menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam—penuh rindu, penuh lu

  • Midnight In Manhattan   Ketulusan Bianca

    Senja di Manhattan terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam sebuah restoran mewah dengan kaca besar menghadap gedung-gedung pencakar langit.Bara duduk diam menatap segelas wine merah di depannya. Tangannya meremas gagang gelas itu erat-erat, seolah mencoba menahan emosi yang sudah bergejolak sejak pagi.Di hadapannya, Bianca duduk dengan anggun. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, rambut panjangnya tergerai rapi, bibir merahnya melengkungkan senyum lembut yang seolah tak pernah pudar. Mata Bianca menatap Bara dengan sorot yang sulit Bara lawan—mata yang penuh kehangatan, penuh rasa."Terima kasih sudah mau datang. Jadi kita nggak membuat papa dan mama cemas," ucap Bianca pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Bara menghela napas panjang. "Aku datang karena papa memaksa."Bianca tersenyum kecil, meski ada semburat luka di matanya. "Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau kamu tidak pernah menginginkan ini.""Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih mau meneruskan semuan

  • Midnight In Manhattan   Rahasia Baru

    "Bara ... kamu tampan sekali," lirih Nara pelan sambil tersenyum.Pagi itu seharusnya menjadi pagi paling damai dalam hidup Nara. Sinar mentari masuk melalui celah tirai, menyinari kulitnya yang masih hangat oleh sentuhan semalam. Di sampingnya, Bara masih terlelap dengan napas teratur, rambutnya sedikit berantakan. Tangannya yang kokoh masih melingkari pinggang Nara, seolah menegaskan bahwa ia tidak ingin melepaskannya lagi.Nara menatapnya lama, jemarinya menggambar garis rahang Bara dengan pelan. Hatinya terasa penuh—antara bahagia, takut, dan rindu yang baru saja terobati. "Apakah ini hanya mimpi? Atau dia benar-benar kembali untukku?"Bara bergeming, lalu perlahan membuka mata. Begitu mata mereka bertemu, senyum kecil muncul di bibirnya. "Pagi," bisiknya serak.Nara tersenyum, pura-pura menyembunyikan debar di dadanya. "Kamu tidur kayak bayi, Bara.""Kalau ada kamu, ya begini jadinya," jawab Bara ringan. Ia menarik Nara lebih dekat, mencium ubun-ubunnya lama. "Kalau aku bisa, ak

  • Midnight In Manhattan   Terbangun Di Sampingnya

    Pagi datang perlahan, memecah malam yang berat seperti napas yang baru dihela setelah sekian lama tertahan. Nara berdiri di depan lemari pakaian. Ia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya jika bertemu Bara, tidak juga tentang jawaban yang harus ia berikan atas luka lama mereka. Yang ia tahu, pagi ini ia akan pergi ke tempat itu—tempat yang pernah menjadi rumah kecil untuk dua hati yang saling mencari.Lower East Side, belum terlalu ramai. Jalanan masih basah sisa hujan malam. Nara masuk ke dalam kafe kecil itu, yang dindingnya masih sama seperti dulu. Bata merah, aroma kopi yang menyambut dari kejauhan.Dan di sana, di sudut jendela, Bara duduk. Mengenakan jaket hitam sederhana, wajahnya seperti memuat ribuan kata yang tak pernah ditulis.Nara menghampiri. Mereka hanya saling pandang. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya keheningan yang terasa ... akrab."Aku nggak tahu kenapa aku datang," kata Nara pelan."Tapi kamu akhirnya datang." Suara Bara nyaris seperti bi

  • Midnight In Manhattan   Setelah Ciuman Itu

    Matahari pagi menyelinap pelan melalui jendela apartemen Nara, menembus celah tirai putih yang melambai lembut tertiup angin dari pendingin ruangan. Di atas sofa ruang tamu, Nara masih duduk dengan tubuh memeluk lututnya. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Ia belum tidur.Bara telah pulang satu jam lalu. Bukan karena diminta, bukan karena pertengkaran—tetapi karena mereka sama-sama takut.Setelah ciuman itu, setelah tubuh mereka terlalu dekat, dan napas saling bertukar dalam keheningan malam … mereka berhenti. Nara menyuruh Bara pergi. Dengan suara pelan dan mata yang tak berani menatap. Ia hanya berkata, "Kalau kamu tinggal, semuanya akan rusak."Dan Bara, meski enggan, memilih diam-diam meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen dengan tatapan terluka.Sekarang, Nara terdiam dalam apartemennya yang dingin. Di luar, New York mulai hidup kembali. Tapi jiwanya … belum.Di seberang kota, Bara duduk di kursi tinggi dapur kecil di unit serviced apartment tempatnya menginap. Kopi yang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status