Share

Menghadapi Rasa

Aвтор: Meldy Wita
last update Последнее обновление: 2025-06-13 06:40:51

Rapat berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan. Semua orang keluar, mengucapkan terima kasih, dan saling menyapa. Nara berdiri, mencoba merapikan kertas dan laptopnya. Tetapi Bara sudah berdiri di sampingnya, menatapnya tanpa berbicara. Hanya jarak yang memisahkan mereka.

"Kamu ingin bicara?" Bara bertanya, suaranya rendah, penuh arti.

Nara menoleh, matanya menangkap intensitas yang tidak bisa ia abaikan. "Aku sedang bekerja," jawabnya, meski suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia inginkan.

Bara tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menunggu. Ia tidak berkata apa-apa lagi, karena ia tahu, Nara akan memberi tanda. Lalu, akhirnya Nara menghela napas panjang.

"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dariku, Bara," kata Nara pelan. "Bahkan aku tidak bisa begitu saja melupakan segalanya, dan aku rasa kamu tahu itu."

Bara mendekat sedikit, langkahnya tak terburu-buru. Hanya sebuah gerakan perlahan, tapi cukup untuk menggoyahkan keseimbangan Nara. "Aku ingin kamu kembali melihat kita, seperti yang kita lakukan dulu."

Nara merasakan sebuah detakan keras di dadanya. "Kita?" Dia berusaha mengingat apa yang mereka miliki dulu.

Tidak ada yang sesederhana itu. "Tidak ada kita, Bara. Kamu meninggalkanku begitu saja."

Bara menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Nara dengan tatapan yang lebih dalam. "Aku tahu. Itu kesalahan terbesar yang pernah kulakukan. Tapi aku di sini sekarang. Dan aku tidak akan pergi lagi."

Mereka hanya berdiri saling menatap, seolah waktu berhenti sejenak. Keheningan itu mengisi setiap ruang di antara mereka, menekan nafas mereka yang terasa semakin berat.

Nara merasakan tekanan itu semakin kuat. Ia ingin mundur, ingin berlari, tapi tubuhnya tidak bergerak. Perasaan itu terlalu kuat untuk dihindari.

"Bara, aku …" Nara ingin melanjutkan, namun kata-katanya terhenti saat ia merasakan sentuhan lembut pada lengannya.

Bara menatapnya, kali ini tanpa keraguan. "Kamu tidak perlu berkata apa-apa, Nara. Aku akan menunggu."

Nara menunduk, merasakan perasaan yang tak ingin ia akui. Dan untuk sesaat, ia berpikir apakah ia bisa melawan semua itu. Namun jawabannya tak pernah datang dengan mudah. Hanya ada kebingungan, ketakutan, dan keinginan yang sulit diungkapkan.

Bara menggenggam tangannya dengan lembut, memberi satu jari yang ia tarik ke luar pintu, dan Nara tak tahu harus berbuat apa.

"Baiklah," katanya pelan. "Ayo kita pergi."

Mereka berjalan keluar dari ruang rapat bersama, dengan langkah yang bersatu, meskipun hati Nara tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir.

Malam itu, Nara menatap layar laptop di mejanya, tapi matanya tak mampu lagi fokus pada dokumen yang harusnya ia periksa.

Pikirannya kembali pada pertemuan tadi pagi dengan Bara—tubuhnya yang hampir tak bisa ia hindari, kata-kata yang penuh makna, dan tatapan mata yang seolah ingin menelusuri kedalamannya.

Dan kini, meski berada di rumahnya, ia tak bisa mengusir bayangan Bara. Begitu mendalam, begitu nyata.

Tiba-tiba, ada suara ketukan pintu. Nara mengerutkan kening. Siapa yang datang? Tentu saja, dia tahu siapa. Dengan langkah ringan, ia membuka pintu.

Bara berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket hitam dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya bertemu mata Nara, dan meskipun tak ada kata yang terucap, Nara bisa merasakan ketegangan di udara. Bara membawa dirinya dengan cara yang penuh percaya diri, namun ada keraguan dalam sorot matanya. Mungkin keraguan yang sama dengan yang ada dalam dirinya.

"Nara," kata Bara dengan suara yang rendah namun penuh arti. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus bicara."

Nara menatapnya sejenak, memerhatikan tatapan mata Bara yang penuh dengan penantian. Akhirnya, dia membuka pintu lebih lebar, memberi ruang bagi Bara untuk masuk.

"Masuklah," katanya pelan, meski jantungnya berdegup tak terkendali.

Setelah pintu tertutup di belakang mereka, suasana terasa sunyi, seakan dunia di luar apartemen ini tidak ada. Hanya ada mereka berdua, perasaan yang belum terucap, dan kerinduan yang menguar di udara.

"Bagaimana hari-harimu?" tanya Bara sambil mengamati Nara yang tampak gelisah. Ada kehangatan dalam suaranya, namun ia tahu Nara tidak dalam kondisi yang mudah.

Nara menghela napas. "Seperti biasa," jawabnya singkat, meski tidak sepenuhnya benar. "Tapi aku tidak bisa fokus."

Bara mengangguk, mendekat sedikit. Ada jarak di antara mereka yang sebelumnya sulit dihindari, tetapi kali ini, Bara tidak bisa menahan dirinya. Ia ingin mendekat, ingin merasakan kedekatan yang dulu begitu alami.

Nara berdiri, memutar tubuhnya sejenak, mencoba mengalihkan perhatian pada meja makan yang kosong. Namun, Bara berada terlalu dekat.

Keduanya berdiri hanya beberapa langkah dari satu sama lain. Bara menatap Nara dengan penuh perasaan yang tidak bisa disembunyikan.

"Aku tahu kau takut," katanya lembut. "Aku juga takut."

Nara menunduk, berusaha mengatur napas yang terasa terengah. "Kita ... tidak bisa seperti dulu, Bara. Kamu tahu itu, bukan?"

Bara menggenggam lembut tangannya, merasakan ketegangan yang terasa begitu nyata. "Kita bisa. Aku tahu kita bisa, Nara. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi."

Nara menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Tapi ... kita sudah terpisah begitu lama, Bara. Kita sudah berubah."

"Bukan tentang perubahan itu," kata Bara, suaranya hampir berbisik. "Ini tentang apa yang selalu ada di antara kita—sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang."

Ia mengangkat dagu Nara perlahan, membuatnya menatap matanya lebih dalam. Nara bisa merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Dalam tatapan itu, ada kehangatan, ada kekuatan yang membuatnya ingin menyerah—ingin mempercayai semuanya.

Bara kemudian meraih pipinya, menyentuhnya dengan lembut, membuat Nara menutup matanya. Perasaan itu datang begitu kuat, menghujam perasaannya. Ciuman itu tak terelakkan lagi. Bara mendekatkan bibirnya, menyentuh bibir Nara dengan penuh hasrat yang tertahan lama.

Ketika bibir mereka bersatu, dunia di sekitar Nara seolah menghilang. Semua yang ada hanyalah Bara—kehangatan tubuhnya, perasaan yang begitu dalam, dan ciuman yang penuh dengan kerinduan. Tangan Bara mulai menyentuh bahu Nara, merasakan tubuhnya yang bergetar di bawah sentuhannya.

Nara tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Dia merespon ciuman itu, menundukkan kepalanya sedikit lebih dalam. Tubuhnya bergerak mendekat, merasakan keberadaan Bara dengan lebih jelas. Jari-jarinya menari di atas dada Bara, merasakan detak jantungnya yang begitu cepat, yang hampir serasi dengan detak jantungnya sendiri.

"Nara …" Bara berbisik di sela-sela ciumannya, suaranya bergetar penuh keinginan.

"Aku tidak akan pergi lagi. Ini bukan hanya tentang masa lalu. Ini tentang kita. Sekarang."

Nara menutup matanya, meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Bara. Dia tahu apa yang mereka miliki sudah tak bisa dihentikan lagi. Meskipun perasaan itu penuh dengan ketakutan dan kebingungan, mereka tak bisa lagi bersembunyi dari apa yang ada di hati masing-masing.

Tangan Nara mulai menjelajahi tubuh Bara, merasakan setiap lekuk tubuh yang dulu ia kenal begitu baik. Keinginan itu membara, tak bisa dibendung. Bara menariknya lebih dekat, membiarkan tubuh Nara terasa sepenuhnya di dekatnya. Setiap sentuhan seperti membawa mereka lebih dekat, lebih dalam ke dalam dunia yang hanya ada di antara mereka.

Namun, meskipun keinginan itu begitu kuat, keduanya tetap berhenti sejenak. Mereka menatap satu sama lain, napas mereka tersengal, dan waktu terasa berhenti.

"Apakah ini benar?" tanya Nara, suaranya hampir tak terdengar.

Bara menatapnya dengan lembut, tangan Nara dipegangnya erat. "Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu."

Nara menunduk, merasakan hatinya yang terombang-ambing. Tetapi saat itu, ia tahu satu hal pasti—ia sudah tidak bisa mundur lagi.

Dengan satu gerakan lembut, Bara kembali mendekatkan wajahnya, dan ciuman itu kembali mengalir, kali ini lebih dalam, lebih penuh. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi pertanyaan.

Hanya ada mereka, di antara perasaan yang sudah terlalu kuat untuk diabaikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Midnight In Manhattan   Menunggu

    'Kamu di sini, Bara. Tapi kenapa aku merasa separuh hatimu berada di tempat lain?' pikirnya sendiri.Perlahan, Nara menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangannya melingkar di pinggang Bara, memeluk erat. Ia menarik napas dalam, berharap hangat tubuh Bara bisa meredam kegelisahan yang mengguncangnya sejak tadi.Bara bergerak sedikit, kelopak matanya setengah terbuka. Ia berbalik, menatap Nara dengan mata yang masih berat karena kantuk."Kenapa belum tidur?" suaranya serak.Nara menggigit bibirnya, menatap mata Bara yang gelap namun sulit dibaca. "Aku … ada yang mau aku tanyain.""Harus sekarang?" Bara menarik Nara ke dalam pelukannya, mencium puncak kepalanya. "Besok aja, ya? Aku capek banget hari ini.""Enggak mau, Bara. Aku harus tanya sekarang." Nada suara Nara terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Bara terdiam, matanya terbuka penuh sekarang. "Tanya apa?"Nara menarik napas. "Pagi tadi … ada telepon masuk di ponselmu. Dari seseorang inisialnya ‘B,' Siapa dia?"Jantung Bara

  • Midnight In Manhattan   B—Siapa Dia?

    Aroma kopi yang mengepul di udara bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari toaster, di pagi hari yang terasa lebih hangat. Nara berdiri di dapur, mengenakan piyama tipis dengan rambut yang masih sedikit kusut. Ia tersenyum kecil melihat Bara duduk di meja makan, membaca email di ponselnya sambil menyeruput kopi."Kayak adegan keluarga kecil ya," ujar Nara pelan, mencoba bercanda.Bara menoleh, lalu tertawa kecil. "Keluarga kecil yang belum ada anaknya gitu," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.Nara ikut tertawa, tapi di balik tawanya ada sesuatu yang menggantung di dada. Ia memperhatikan Bara lebih seksama pagi ini. Ada saat-saat ketika Bara tampak kosong. Tatapan matanya kadang menjauh, seperti pria itu sedang berada di tempat lain yang jauh dari ruangan hangat ini.Nara menyeduh kopinya sendiri, duduk di kursi seberang Bara. Pikirannya kembali ke momen di kafe beberapa hari lalu, saat Bara menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam—penuh rindu, penuh lu

  • Midnight In Manhattan   Ketulusan Bianca

    Senja di Manhattan terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam sebuah restoran mewah dengan kaca besar menghadap gedung-gedung pencakar langit.Bara duduk diam menatap segelas wine merah di depannya. Tangannya meremas gagang gelas itu erat-erat, seolah mencoba menahan emosi yang sudah bergejolak sejak pagi.Di hadapannya, Bianca duduk dengan anggun. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, rambut panjangnya tergerai rapi, bibir merahnya melengkungkan senyum lembut yang seolah tak pernah pudar. Mata Bianca menatap Bara dengan sorot yang sulit Bara lawan—mata yang penuh kehangatan, penuh rasa."Terima kasih sudah mau datang. Jadi kita nggak membuat papa dan mama cemas," ucap Bianca pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Bara menghela napas panjang. "Aku datang karena papa memaksa."Bianca tersenyum kecil, meski ada semburat luka di matanya. "Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau kamu tidak pernah menginginkan ini.""Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih mau meneruskan semuan

  • Midnight In Manhattan   Rahasia Baru

    "Bara ... kamu tampan sekali," lirih Nara pelan sambil tersenyum.Pagi itu seharusnya menjadi pagi paling damai dalam hidup Nara. Sinar mentari masuk melalui celah tirai, menyinari kulitnya yang masih hangat oleh sentuhan semalam. Di sampingnya, Bara masih terlelap dengan napas teratur, rambutnya sedikit berantakan. Tangannya yang kokoh masih melingkari pinggang Nara, seolah menegaskan bahwa ia tidak ingin melepaskannya lagi.Nara menatapnya lama, jemarinya menggambar garis rahang Bara dengan pelan. Hatinya terasa penuh—antara bahagia, takut, dan rindu yang baru saja terobati. "Apakah ini hanya mimpi? Atau dia benar-benar kembali untukku?"Bara bergeming, lalu perlahan membuka mata. Begitu mata mereka bertemu, senyum kecil muncul di bibirnya. "Pagi," bisiknya serak.Nara tersenyum, pura-pura menyembunyikan debar di dadanya. "Kamu tidur kayak bayi, Bara.""Kalau ada kamu, ya begini jadinya," jawab Bara ringan. Ia menarik Nara lebih dekat, mencium ubun-ubunnya lama. "Kalau aku bisa, ak

  • Midnight In Manhattan   Terbangun Di Sampingnya

    Pagi datang perlahan, memecah malam yang berat seperti napas yang baru dihela setelah sekian lama tertahan. Nara berdiri di depan lemari pakaian. Ia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya jika bertemu Bara, tidak juga tentang jawaban yang harus ia berikan atas luka lama mereka. Yang ia tahu, pagi ini ia akan pergi ke tempat itu—tempat yang pernah menjadi rumah kecil untuk dua hati yang saling mencari.Lower East Side, belum terlalu ramai. Jalanan masih basah sisa hujan malam. Nara masuk ke dalam kafe kecil itu, yang dindingnya masih sama seperti dulu. Bata merah, aroma kopi yang menyambut dari kejauhan.Dan di sana, di sudut jendela, Bara duduk. Mengenakan jaket hitam sederhana, wajahnya seperti memuat ribuan kata yang tak pernah ditulis.Nara menghampiri. Mereka hanya saling pandang. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya keheningan yang terasa ... akrab."Aku nggak tahu kenapa aku datang," kata Nara pelan."Tapi kamu akhirnya datang." Suara Bara nyaris seperti bi

  • Midnight In Manhattan   Setelah Ciuman Itu

    Matahari pagi menyelinap pelan melalui jendela apartemen Nara, menembus celah tirai putih yang melambai lembut tertiup angin dari pendingin ruangan. Di atas sofa ruang tamu, Nara masih duduk dengan tubuh memeluk lututnya. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Ia belum tidur.Bara telah pulang satu jam lalu. Bukan karena diminta, bukan karena pertengkaran—tetapi karena mereka sama-sama takut.Setelah ciuman itu, setelah tubuh mereka terlalu dekat, dan napas saling bertukar dalam keheningan malam … mereka berhenti. Nara menyuruh Bara pergi. Dengan suara pelan dan mata yang tak berani menatap. Ia hanya berkata, "Kalau kamu tinggal, semuanya akan rusak."Dan Bara, meski enggan, memilih diam-diam meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen dengan tatapan terluka.Sekarang, Nara terdiam dalam apartemennya yang dingin. Di luar, New York mulai hidup kembali. Tapi jiwanya … belum.Di seberang kota, Bara duduk di kursi tinggi dapur kecil di unit serviced apartment tempatnya menginap. Kopi yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status