Home / Romansa / Midnight In Manhattan / Ciuman Lama Menanti

Share

Ciuman Lama Menanti

Author: Meldy Wita
last update Huling Na-update: 2025-06-13 06:31:16

Malam ini, Nara kembali ke kantor. Tentu, itu bukan pilihan yang disukai, tetapi terkadang pekerjaan memang memaksa. Meskipun dunia luar mengerucut menjadi sebuah tempat yang tidak menyenangkan setelah pertemuan kemarin, ia berusaha mengendalikannya. Tangannya menggenggam cangkir kopi hitam, memeras energi seperti biasa.

Namun, bukan kopi atau pekerjaan yang kini menarik perhatian Nara. Setiap detik di ruang rapat terasa seperti perangkap, dan setiap kali ia menoleh, Bara sudah ada di sana. Duduk dengan ketenangannya yang mendalam, seolah tidak ada apa pun yang mengganggunya.

Nara menyapu pandangan ke arah pria itu. Tak banyak yang berubah—kecuali bagaimana perasaannya yang dulu datar, kini dipenuhi dengan kilatan keraguan dan kerinduan yang membingungkan.

Ponselnya bergetar di meja. Pesan singkat dari Bara masuk.

'Jika kau butuh istirahat, aku akan menunggu di lobi.'

Dia tahu persis cara menyentuhnya tanpa sentuhan. Tanpa kata-kata, hanya tindakan. Dan Nara tahu, pertemuan ini—meskipun sepertinya biasa—akan membawanya pada keputusan yang lebih besar.

Setengah jam kemudian, Nara keluar dari ruang rapat. Berjalan pelan menuju lift, tanpa melihat siapa pun. Hanya Bara yang masih ada di ruang itu, sendirian. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia masuk ke dalam lift dan menunggu tanpa ekspresi.

Setelah beberapa detik, lift berhenti di lantai lobi. Dan Bara keluar, melangkah cepat untuk menunggu Nara di sana.

Di lobi gedung, lensa lampu neon menggantung di langit-langit, menciptakan bayangan panjang di lantai. Nara berjalan tanpa mengalihkan pandangan, meski tahu Bara berjalan tepat di belakangnya.

"Aku ingin berbicara," Bara berkata, suaranya lebih berat dari biasanya, mengandung tekanan yang sulit dipahami.

Nara berhenti di depan pintu keluar. Ia menatap sekeliling, lalu menoleh ke arah Bara. "Tentang apa?"

"Tentang kita," jawab Bara dengan nada yang lebih dalam, menahan napas. "Nara ... aku tidak bisa hanya berdiri di sini, menunggu kamu menjauh lagi."

Nara mengalihkan pandangan. "Tidak ada 'kita' lagi, Bara. Itu sudah selesai."

Dia tahu kata-kata itu terlontar tanpa merasa, namun ada ketegangan yang menahannya. Ketegangan yang bisa dirasakan oleh Bara, meskipun Nara berusaha menyembunyikan perasaan yang bertentangan.

Bara melangkah lebih dekat, jarak di antara mereka semakin mengecil. "Kamu selalu bilang itu. Tapi kamu tahu, kita tidak pernah benar-benar selesai. Tidak ada cara untuk melupakan yang kita miliki, Nara."

Dia mengulurkan tangan, dengan sedikit keraguan, tapi akhirnya menjangkau lengan Nara, hanya untuk menariknya lebih dekat. Jantung Nara berdegup kencang, tubuhnya menegang sejenak sebelum akhirnya menyerah pada tarikan itu.

Tanpa kata-kata, tanpa suara, Nara merasa seluruh dunia seperti berhenti di saat itu. Hanya ada mereka berdua, udara yang panas, dan perasaan yang lebih dari sekedar nostalgia. Sesuatu yang lebih dalam. Sebuah kebutuhan yang tak terucapkan.

Nara menatap mata Bara, dan dalam diam mereka saling mencari jawaban. Sesuatu antara mereka bergerak, memaksa mereka untuk lebih dekat. Begitu dekat, sampai Bara hanya perlu sedikit menunduk untuk mencium bibir Nara.

Nara menutup matanya, dan untuk sejenak, ia melepaskan dirinya dari segala kekhawatiran. Itu adalah ciuman yang dipenuhi dengan segala rasa yang tak terungkapkan—kerinduan, penyesalan, dan keinginan yang belum pernah benar-benar hilang.

Dan ketika mereka terpisah, masih ada hawa hangat di sekitar mereka, meskipun dunia di luar terus berjalan. Nara mengalihkan pandangannya. Ia tahu, keputusan ini—semuanya—akan mengubah segalanya.

"Ini gila," Nara berbisik, hampir tak terdengar.

Bara mengangguk perlahan, menatapnya dalam-dalam. "Aku tahu. Tapi aku tak bisa lagi berpura-pura, Nara."

Nara menarik napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Terkadang, perasaan lebih besar dari logika. Lebih besar dari kontrol. Dan kali ini, ia tahu, ia tidak akan bisa lagi mundur.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang," Nara menjawab pelan, merasa lidahnya terasa berat. "Kita sudah terlalu jauh. Kembali ... tidak akan pernah sama."

Bara mengangguk, lalu berjalan mundur sedikit. "Mungkin kamu benar. Tapi aku tidak akan berhenti berjuang. Kali ini, aku akan melawan."

Nara menatapnya, entah dengan rasa cemas atau harapan yang tidak ingin ia akui. Ia tahu mereka sedang berdiri di ambang yang tidak bisa kembali. Namun, itu adalah jalan yang mereka pilih—bahkan jika itu penuh dengan kesakitan.

Malam itu, Nara pulang dengan langkah cepat. Begitu masuk ke apartemennya, ia hanya duduk diam di sofa, memandangi ponselnya yang kembali sepi.

Pesan dari Bara tidak muncul lagi. Tapi sesuatu di dalam dirinya masih bergejolak—sebuah harapan atau mungkin penyesalan.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka jendela. Menatap jalanan Manhattan yang selalu ramai, seakan memberikan kesan bahwa dunia ini tak peduli dengan perasaan kecilnya. Namun di dalam hatinya, Nara tahu, dunia mereka berdua baru saja dimulai.

Karena ini bukan hanya tentang masa lalu. Ini tentang apa yang datang setelahnya. Apa yang harus mereka hadapi.

Nara menghela napas berat. "Aku harus siap," gumamnya, meski hatinya tak yakin.

Pagi datang dengan kabut tipis di luar jendela, memecah ketenangan yang Nara coba pertahankan malam sebelumnya. Seperti biasa, ruang apartemennya terasa kosong, meski dikelilingi benda-benda yang ia miliki. Pekerjaan yang menyibukkan dirinya setiap hari kini terasa berbeda. Ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa diisi dengan sekadar kesibukan.

Nara duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mendingin.

Ponselnya bergetar dari Bara. Pesan yang masuk tak langsung ia buka. Ada kekhawatiran dan keraguan dalam dirinya. Tetapi, akhirnya, tangannya bergerak, membuka pesan itu dengan pelan.

'Aku tahu kamu butuh waktu. Tapi aku akan menunggu.'

Kata-kata itu datang dengan kehangatan yang sangat kontras dengan hawa pagi yang dingin. Nara menggigit bibirnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Keinginannya untuk membalas pesan itu, untuk mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban singkat, begitu besar. Namun, sesuatu dalam dirinya tetap menahan. Ia ingin lebih banyak waktu untuk mencerna semuanya.

Namun kenyataannya, waktu tidak akan memberinya kemewahan itu. Ia tahu perasaan itu akan datang kembali.

Lalu, Bara akan kembali hadir, seperti yang selalu ia lakukan di masa lalu. Lihatlah, sekarang pun, meski tidak ada kata-kata yang terucap, Bara tetap hadir dalam pikirannya.

Beberapa jam kemudian, Nara memasuki kantor dengan langkah cepat, mencoba fokus pada pekerjaan yang sudah menunggu. Rapat besar dengan klien internasional akan dimulai dalam beberapa menit. Suasana ruang rapat yang luas dan terang menyambutnya, dengan layar proyektor yang siap menunjukkan presentasi.

Namun, meski ia memfokuskan perhatian pada presentasi itu, pikirannya tetap mengembara. Pikirannya kembali pada Bara. Mengapa perasaan itu kembali begitu kuat? Mengapa ia merasa ada yang hilang jika pria itu tidak ada di sana?

Pintu ruang rapat terbuka, dan sosok itu—Bara—masuk ke ruangan dengan langkah tenang. Nara hampir terkejut, meskipun ia sudah tahu dia akan hadir. Bara, dengan pakaian formal yang selalu memancarkan kepercayaan diri, berjalan menuju meja.

"Selamat pagi," kata Bara dengan senyum tipis, mata mereka saling bertemu sejenak.

Nara membalas dengan anggukan singkat, meski hatinya bergejolak. Ia duduk, mulai berbicara dengan klien. Semua berjalan lancar—terlalu lancar, Nara merasa. Ia bisa merasakan keberadaan Bara di sana, meskipun mereka tidak saling berbicara banyak. Suasana seolah menjadi hampa, padahal penuh orang.

Dan kemudian, seperti sebuah kebetulan yang tak pernah bisa ditolak, Bara mengarahkan pandangan ke Nara. Tanpa kata, tanpa isyarat, matanya berbicara. Begitu dalam, begitu terbuka, bahwa Nara tak bisa berpura-pura lagi.

Seseorang di meja rapat melontarkan pertanyaan, namun Nara tak bisa menanggapi dengan cepat. Pandangannya masih terkunci pada Bara Itu membuatnya tersadar bahwa di dalam hati, ia benar-benar menginginkan lebih. Hanya saja, ia masih berjuang melawan kenyataan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Midnight In Manhattan   Menunggu

    'Kamu di sini, Bara. Tapi kenapa aku merasa separuh hatimu berada di tempat lain?' pikirnya sendiri.Perlahan, Nara menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangannya melingkar di pinggang Bara, memeluk erat. Ia menarik napas dalam, berharap hangat tubuh Bara bisa meredam kegelisahan yang mengguncangnya sejak tadi.Bara bergerak sedikit, kelopak matanya setengah terbuka. Ia berbalik, menatap Nara dengan mata yang masih berat karena kantuk."Kenapa belum tidur?" suaranya serak.Nara menggigit bibirnya, menatap mata Bara yang gelap namun sulit dibaca. "Aku … ada yang mau aku tanyain.""Harus sekarang?" Bara menarik Nara ke dalam pelukannya, mencium puncak kepalanya. "Besok aja, ya? Aku capek banget hari ini.""Enggak mau, Bara. Aku harus tanya sekarang." Nada suara Nara terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Bara terdiam, matanya terbuka penuh sekarang. "Tanya apa?"Nara menarik napas. "Pagi tadi … ada telepon masuk di ponselmu. Dari seseorang inisialnya ‘B,' Siapa dia?"Jantung Bara

  • Midnight In Manhattan   B—Siapa Dia?

    Aroma kopi yang mengepul di udara bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari toaster, di pagi hari yang terasa lebih hangat. Nara berdiri di dapur, mengenakan piyama tipis dengan rambut yang masih sedikit kusut. Ia tersenyum kecil melihat Bara duduk di meja makan, membaca email di ponselnya sambil menyeruput kopi."Kayak adegan keluarga kecil ya," ujar Nara pelan, mencoba bercanda.Bara menoleh, lalu tertawa kecil. "Keluarga kecil yang belum ada anaknya gitu," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.Nara ikut tertawa, tapi di balik tawanya ada sesuatu yang menggantung di dada. Ia memperhatikan Bara lebih seksama pagi ini. Ada saat-saat ketika Bara tampak kosong. Tatapan matanya kadang menjauh, seperti pria itu sedang berada di tempat lain yang jauh dari ruangan hangat ini.Nara menyeduh kopinya sendiri, duduk di kursi seberang Bara. Pikirannya kembali ke momen di kafe beberapa hari lalu, saat Bara menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam—penuh rindu, penuh lu

  • Midnight In Manhattan   Ketulusan Bianca

    Senja di Manhattan terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam sebuah restoran mewah dengan kaca besar menghadap gedung-gedung pencakar langit.Bara duduk diam menatap segelas wine merah di depannya. Tangannya meremas gagang gelas itu erat-erat, seolah mencoba menahan emosi yang sudah bergejolak sejak pagi.Di hadapannya, Bianca duduk dengan anggun. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, rambut panjangnya tergerai rapi, bibir merahnya melengkungkan senyum lembut yang seolah tak pernah pudar. Mata Bianca menatap Bara dengan sorot yang sulit Bara lawan—mata yang penuh kehangatan, penuh rasa."Terima kasih sudah mau datang. Jadi kita nggak membuat papa dan mama cemas," ucap Bianca pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Bara menghela napas panjang. "Aku datang karena papa memaksa."Bianca tersenyum kecil, meski ada semburat luka di matanya. "Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau kamu tidak pernah menginginkan ini.""Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih mau meneruskan semuan

  • Midnight In Manhattan   Rahasia Baru

    "Bara ... kamu tampan sekali," lirih Nara pelan sambil tersenyum.Pagi itu seharusnya menjadi pagi paling damai dalam hidup Nara. Sinar mentari masuk melalui celah tirai, menyinari kulitnya yang masih hangat oleh sentuhan semalam. Di sampingnya, Bara masih terlelap dengan napas teratur, rambutnya sedikit berantakan. Tangannya yang kokoh masih melingkari pinggang Nara, seolah menegaskan bahwa ia tidak ingin melepaskannya lagi.Nara menatapnya lama, jemarinya menggambar garis rahang Bara dengan pelan. Hatinya terasa penuh—antara bahagia, takut, dan rindu yang baru saja terobati. "Apakah ini hanya mimpi? Atau dia benar-benar kembali untukku?"Bara bergeming, lalu perlahan membuka mata. Begitu mata mereka bertemu, senyum kecil muncul di bibirnya. "Pagi," bisiknya serak.Nara tersenyum, pura-pura menyembunyikan debar di dadanya. "Kamu tidur kayak bayi, Bara.""Kalau ada kamu, ya begini jadinya," jawab Bara ringan. Ia menarik Nara lebih dekat, mencium ubun-ubunnya lama. "Kalau aku bisa, ak

  • Midnight In Manhattan   Terbangun Di Sampingnya

    Pagi datang perlahan, memecah malam yang berat seperti napas yang baru dihela setelah sekian lama tertahan. Nara berdiri di depan lemari pakaian. Ia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya jika bertemu Bara, tidak juga tentang jawaban yang harus ia berikan atas luka lama mereka. Yang ia tahu, pagi ini ia akan pergi ke tempat itu—tempat yang pernah menjadi rumah kecil untuk dua hati yang saling mencari.Lower East Side, belum terlalu ramai. Jalanan masih basah sisa hujan malam. Nara masuk ke dalam kafe kecil itu, yang dindingnya masih sama seperti dulu. Bata merah, aroma kopi yang menyambut dari kejauhan.Dan di sana, di sudut jendela, Bara duduk. Mengenakan jaket hitam sederhana, wajahnya seperti memuat ribuan kata yang tak pernah ditulis.Nara menghampiri. Mereka hanya saling pandang. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya keheningan yang terasa ... akrab."Aku nggak tahu kenapa aku datang," kata Nara pelan."Tapi kamu akhirnya datang." Suara Bara nyaris seperti bi

  • Midnight In Manhattan   Setelah Ciuman Itu

    Matahari pagi menyelinap pelan melalui jendela apartemen Nara, menembus celah tirai putih yang melambai lembut tertiup angin dari pendingin ruangan. Di atas sofa ruang tamu, Nara masih duduk dengan tubuh memeluk lututnya. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Ia belum tidur.Bara telah pulang satu jam lalu. Bukan karena diminta, bukan karena pertengkaran—tetapi karena mereka sama-sama takut.Setelah ciuman itu, setelah tubuh mereka terlalu dekat, dan napas saling bertukar dalam keheningan malam … mereka berhenti. Nara menyuruh Bara pergi. Dengan suara pelan dan mata yang tak berani menatap. Ia hanya berkata, "Kalau kamu tinggal, semuanya akan rusak."Dan Bara, meski enggan, memilih diam-diam meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen dengan tatapan terluka.Sekarang, Nara terdiam dalam apartemennya yang dingin. Di luar, New York mulai hidup kembali. Tapi jiwanya … belum.Di seberang kota, Bara duduk di kursi tinggi dapur kecil di unit serviced apartment tempatnya menginap. Kopi yang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status