Nona Claire menghubungiku semalam melalui pesan. Dia memintaku untuk lebih keras berusaha. Memintaku untuk segera melakukan pekerjaan yang ia minta. Mungkin ia sedikit kesal, 3 hari berlalu, aku tidak melakukan pekerjaan 'menggoda' seperti yang ia harapkan. Bahkan, di akhir perbincangan kami, dia menyinggung soal 25 milyar yang ia berikan padaku. Artinya, aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu, agar nona Claire tidak merugi karena membayarku mahal.
Kadang aku merasa heran. Entah kenapa, aku merasa nona Claire menyuruhku menggoda suaminya bukan semata-mata karena takut pak James tidak setia. Kalau dipikir-pikur, bukankah aneh jika seorang istri meminta perempuan lain menggoda suaminya karena takut suaminya mata keranjang. Bukankah harusnya nona Claire malah menghindari adanya kesempatan untuk pak James mendua? Bukankah dengan menyuruhku menggoda pak James, nona Claire justru malah memberikan pak James kesempatan untuk bersama perempuan lain. Tapi, sudahlah. Lagipula, aku memang membutuhkan uang ini. Jadi, akan kuusahakan untuk menggoda pak James semaksimal mungkin. Dengan begini, aku benar-benar menjalankan tugas dengan benar dan nona Claire tak akan rugi. Pagi ini aku sengaja membuat sarapan untuk pak James. Seperti yang dikatakan pak James beberapa hari lalu, beliau ingin mencoba masakanku. Aku memang sering membawa masakanku ke kantor dan membagikannya ke teman-teman dekatku di kantor. Rasanya senang sekali ketika masakan yang kubuat bisa dinikmati oleh orang-orang terdekat. Menu yang kubuat cukup simple. Tapi, entah pak James akan suka atau tidak. Yah, setidaknya aku sudah berusaha. Nasi putih, ayam bakar, cah kangkung, dan juga sambal tempe. Kumasukkan beberapa menu itu ke dalam kotak makan dan segera membawanya ke kantor. Aku datang 10 menit sebelum jam kantor dimulai. Rupanya, pak James sudah datang terlebih dulu. Aku bisa melihatnya dari jendela kaca ruangannya. Beliau sedang memainkan ponselnya, sambil sesekali tersenyum. Ah kalau begini, beliau terlihat sangat tampan dan berwibawa. Aku segera mengetuk pintu ruangannya sambil menenteng wadah bekal untuk pak James. Setelah mendapatkan izin, aku segera masuk sambil tersenyum manis. "Selamat pagi, Pak James." Pak James mendongak menatapku. Lalu tersenyum dan meletakkan ponselnya di meja. "Saya bawakan makan siang. Seperti keinginan Bapak tempo hari. Em, kalau tidak enak, jangan dimakan. Tapi saya yakin pasti enak," ucapku percaya diri. Aku menyodorkan tas bekal dan meletakkannya di meja Pak James. "Wah, ternyata kamu benar-benar menuruti keinginan saya, Diana. Terima kasih. Bolehkan saya makan sekarang? Kebetulan saya belum sarapan." Aku terkejut. Tidak biasanya pak James datang ke kantor sebelum sarapan. Pantas saja ia datang sebelum aku hari ini. Aku lalu mengangguk mengiyakan, bersiap ingin berpamitan. Namun, Pak James malah menyuruhku untuk tinggal. "Duduk, Diana. Temani saya makan. Saya tidak suka makan sendirian." Aku mengangguk. Lalu mengikuti pak James yang duduk di sofa. Beliau mulai membuka kotak bekal dan nampak takjub saat melihat isi di dalamnya. Pak James tertawa pelan. "Ini lucu, Diana. Saya merasa seperti anak TK yang diberikan bekal oleh ibunya." Aku meringis malu. Menyesal karena mencetak nasi berbentuk kucing, lengkap dengan mata, hidung, mulut, hingga kumisnya. "Maaf, Pak. Saya hanya senang membuatnya. Saya nggak akan buat lagi yang seperti itu." "Tenang saja, Diana. Saya suka ini." Pak James lalu langsung menyantapnya. Suapan pertama membuat napasku terhenti. Baru ketika beliau tersenyum, aku ikut bernapas lega. "Hm, enak sekali, Diana. Pantas saja kamu sangat percaya diri dengan hasil masakanmu. Ini memang benar-benar enak." Aku tersenyum jumawa. Merasa berhasil membuat pak James suka dengan masakanku. Kata orang, dari lidah turun ke hati. Masakanku bisa saja jadi sesuatu yang membuat pak James tertarik padaku. "Kalau begitu, saya permisi, Pak. Jam kerja sudah mau dimulai." Pak James menahanku. "Tidak, Diana. Tunggu saya selesai makan. Tidak masalah dengan jam kerja. Saya atasan kamu di sini." Aku manggut-manggut saja dan kembali duduk. Menatap pak James yang lahap membuatku ikut senang. Namun, aku juga sedikit gugup. Hanya memandangnya makan saja membuatku merasa tak nyaman. Akhirnya, aku memutuskan membuat obrolan. "Tumben Bapak tidak sarapan di rumah?" tanyaku. Pak James mendongak. Meletakkan sendoknya dan segera menelan suapan nasinya. "Sudah saya katakan tadi, Diana. Saya tidak suka makan sendirian. Jadi, saya tidak sarapan hari ini." "Em, nona Claire?" "Dia sedang berada di luar kota. Untuk beberapa hari ke depan." Aku mengangguk paham. Lalu kembali bertanya. "Keluarga Bapak yang lain? Atau, pekerja di rumah Bapak?" "Kamu begitu ingin tau?" Pak James tertawa pelan. "Saya hanya tinggal berdua saja dengan Claire. Dan pekerja di rumah, entahlah. Kami tidak terbiasa bercakap." "Kenapa? Bapak terlihat biasa saja dengan saya?" Pak James kembali tertawa. "Bukan-bukan. Bukan karena saya yang tidak mau. Tapi, mereka yang mungkin sungkan dengan saya. Akan sangat aneh jika mereka hanya duduk diam di meja makan tanpa mau makan apa-apa sementara saya makan dengan lahap. Lagipula, jika denganmu berbeda, Diana. Kamu orang kepercayaan saya." Aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Kali ini dengan sedikit usaha untuk menyembunyikan senyumanku. Orang kepercayaan katanya? Ah, mendengarnya saja sudah membuatku bangga. Pak James kembali menyantap sarapannya hingga tandas. Dengan inisiatif, aku mengambilkan air minum untuknya. Setelah itu, beliau kembali mengucapkan terima kasih padaku. "Saya jarang sekali makan nasi di pagi hari semenjak menikah. Claire selalu menyiapkan roti untuk saya sarapan. Ternyata, makan nasi di pagi hari cukup enak juga," ucapnya. "Kalau saya malah nggak bisa sarapan roti, Pak. Nggak kenyang. Belum sarapan namanya kalau belum makan nasi," ucapku dengan tawa pelan. Pak James ikut tertawa. Aku bisa merasakan moodnya pagi ini sedang baik. Entahlah, mungkin karena sarapan buatanku, atau hal lainnya. Yang jelas, aku cukup senang hari ini karena berhasil mengenyangkan perut pak James dengan hasil tanganku. "Diana, besok kamu sibuk?" tanyanya tiba-tiba. Aku berpikir sejenak. Sepertinya tidak. Weekend besok, aku mungkin hanya akan menunggu ibu di rumah sakit, lalu istirahat. "Sepertinya tidak, Pak. Ada apa?" tanyaku. "Bisakah kamu buatkan saya yang seperti ini lagi? Sepertinya saya ingin makan ini lagi besok." Aku diam sejenak. Menatap Pak James yang nampak berharap. Tak pernah sebelumnya pak James meminta tolong padaku di luar urusan pekerjaan. Tapi kali ini, dia ingin makan masakanku. Bukankah ini suatu kesempatan? "Bisa, Pak. Bapak mau saya masakin yang seperti ini atau menu lain?" Pak James tampak berpikir sejenak. "Yang ini saja dulu. Menu lain, mungkin kamu bisa membawanya lain kali?" ucapnya ragu. Aku mengangguk sambil tertawa pelan. "Baik. Besok saya akan masak untuk Bapak," ucapku. Sekaligus menutup perbincangan santai kami pagi itu. Pak James kembali mengucapkan terima kasih padaku. Lalu aku? Tentu saja merona malu.Hari ini aku tak masuk kerja. Seperti yang sudah kukatakan pada pak James beberapa waktu lalu. Hari ini jadwal ibu operasi, jadi aku ingin menemaninya. Aku duduk merenung setelah 2 jam berlalu sejak ibu masuk ruangan operasi. Tidak, aku tidak memikirkan atau khawatir soal keadaan ibu. Dokter Danu paling ahli di bidang ini. Jadi, aku sangat percaya padanya bisa melakukan yang terbaik untuk ibu. Kondisi ibu juga berangsur membaik, jauh lebih baik dari sebelumnya sebelum masuk kamar operasi. Jadi, harusnya ibu akan baik-baik saja. Pikiranku justru berkelana pada kondisi pak James. Setelah hari di mana pak James mengatakan bahwa ia mandul, aku sedikit khawatir. Pak James mungkin berpikir jika ia sangat bertanggung jawab atas kejadian malam bersama nona Claire. Lalu, saat tau dirinya tidak bisa menghamili nona Claire, pak James merasa semakin bersalah. Mungkin itu sebabnya pak James begitu putus asa. Nona Claire yang berseli
"Diana, menurutmu, perempuan lebih suka laki-laki yang membebaskannya untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan, atau mengekangnya dengan segala aturan?" Pak James tiba-tiba berhenti mengunyah. Ia manatapku, menunggu jawaban. Saat ini, kami sedang berada di warung nasi padang yang sama seperti yang kami kunjungi beberapa waktu lalu. Ini kedua kalinya pak James mengajakku kemarin. Tadinya, kupikir pak James akan mengurung diri di ruangannya setelah masalah yang ia hadapi dengan nona Claire. Tapi, ternyata tidak. Ia malah mengajakku ke sini. "Tentu saja pilih laki-laki yang membebaskan saya untuk melakukan segala hal yang saya mau. Tapi, bukan dalam artian sebebas-bebasnya. Perempuan itu suka diperhatikan, Pak. Jadi, dibebaskan dalam artian didukung, asalkan itu baik. Memangnya kenapa, Pak? Tumben Bapak tanya hal seperti ini?" Pak James hanya menggeleng pelan, lalu kembali menyantap makanannya. Membuatku bertanya-tanya. Apakah ini ada hubungannya dengan nona Claire. "Em, saya
"Selamat pagi, Pak," sapaku pada Pak James yang sedang sibuk menatap layar tablet miliknya. Kacamata yang ia pakai menambah kesan wibawa. Pak James menatapku, lalu melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di meja. "Selamat pagi, Diana," jawabnya dengan senyum samar. Ia memandangku aneh, sedikit menaikkan alisnya. "Kamu sedang tak enak badan?" tanyanya. Aku sedikit bingung awalnya. Namun, pak James melirik syal yang kukenakan, membuatku paham maksud pertanyaannya. Aku segera menggeleng pelan, lalu akhirnya mengangguk karena kupikir akan lebih baik jika aku berbohong. "Iya, sedikit tidak enak badan pak James. Tapi saya masih kuat bekerja," kataku. Pak James menatapku seakan tak percaya. Tapi, pada akhirnya ia mengangguk saja. Lagipula, tidak mungkin juga jika aku mengatakan yang sejujurnya. Pak James mungkin tidak akan mengingatnya dan malah menuduhku yang tidak-tidak. Karena semalam dia mabuk. Bahkan setelah pelepasannya, dia langsung a
Rupanya dugaanku salah. Bukannya menghentikan kegiatannya, Pak James malah kembali menciumku secara brutal. Tangannya sudah menyusup ke punggungku, melepaskan kaitan bra yang kukenakan. Tanganku segera menutupi dua asetku yang tak lagi tertutup bra. Pak James kembali menegakkan badannya, lalu diam menatap bagian depanku dengan mata berkilat nafsu. "Jangan ditutup, Diana. Tidak baik menutupi sesuatu yang sangat indah ini," ucapnya parau, sambil mencoba menyingkirkan kedua tanganku. Aku masih mencoba menahan tangan pak James, tapi tenagaku tak cukup kuat. Dengan sekali sentak, pak James berhasil menyingkirkan kedua tanganku dari dua bongkahan milikku. Tanganku ditarik ke atas, membuat dadaku lebih condong ke arahnya. Dan tanpa aba-aba, pak James langsung menenggelamkan kepalanya ke sana. "Ah.... Bapak hentikanhh." Pak James menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Ia juga kembali memberikan tanda di san
Setelah kejadian di dapur apartemen pak James hari itu, aku memutuskan untuk pulang. Pak James tak lagi menghubungiku. Akupun juga tak berniat menghubunginya. Aku butuh waktu, khususnya untuk memikirkan rencanaku selanjutnya. Ada rasa takut ketika mendengar kenyataan bahwa pak James mungkin tertarik padaku, juga tubuhku. Meskipun nona Claire memintaku untuk menggunakan tubuh untuk menggoda pak James—dan sudah kulakukan, nyatanya ada perasaan takut jika hal-hal yang melewati batas akhirnya terjadi. Pak James laki-laki normal. Dia bilang sendiri padaku. Artinya, apakah aku sudah menemukan jawaban yang nona Claire minta? Apakah aku harus menghentikan pekerjaan ini sekarang dan memberi tau nona Claire bahwa pak James tidak setia padanya? Tapi, apa yang akan dilakukan nona Claire selanjutnya setelah mengetahui hal ini? Apakah mereka tetap melanjutkan pernikahan atau malah memutuskan bercerai? Jika bercerai, bukankah aku terlalu jahat pada pak J
Perbincanganku dengan pak James masih berlanjut. Tapi kini kami sudah berpindah duduk di sofa. Di depan kami, televisi besar pak James menyala, menampilkan salah satu tayangan berita yang begitu membosankan menurutku. "Em, kalau boleh tau, nona Claire pergi ke mana, Pak? Kenapa Bapak tidak ikut saja? Ini kan weekend." Aku menoleh ke arah Pak James yang tampak fokus menonton berita. Pak James sepertinya sangat tertarik dengan dunia politik, juga berita kriminal. "Swiss. Dia sedang liburan. Menikmati waktu sendirinya. Kamu tau, perempuan terkadang butuh me time." Aku mengangguk saja. Tapi, batinku seakan tidak setuju. Sebagai seorang perempuan yang masih lajang, aku justru memiliki harapan untuk bisa pergi liburan dengan kekasihku. Untuk me time, akan lebih baik jika hanya untuk kegiatan murah, seperti tidur, baca buku, ngopi santai. Tapi liburan di Swiss, sayang sekali jika tidak bersama pasangan. "Bapak membiarkannya per