Share

Mommy untuk Daddy
Mommy untuk Daddy
Author: Lathifah Nur

Bab 1

"Saya terima nikah dan kawinnya—"

"Hentikan!"

"K–kamu …."

Genggaman tangan Alfian pada Pak Penghulu terlepas. Wajahnya memucat. Dia terlonjak tegak, menatap seorang wanita asing yang baru saja berteriak lantang, menghentikan prosesi sakral hari pernikahannya.

Wanita itu melangkah tergesa-gesa, mendekati Alfian. Sebelah tangannya membimbing seorang bocah laki-laki berusia dua tahun.

Ia melirik tajam pada Arisha. Tanpa aba-aba, secepat kilat tangannya menyentak hijab yang dikenakan Arisha. Sementara mulutnya mengeluarkan sumpah serapah, "Dasar jalang! Apa tidak ada lagi laki-laki di muka bumi ini, hingga kau kegatalan merebut suamiku, hah?"

"Akh! Sakit! Lepas!" Arisha mencoba melepaskan tangan wanita itu dari kepalanya, tetapi tidak bisa.

Kobaran emosi membuat cengkeraman wanita tersebut sangat kuat.

"Cukup, Nadin!" sentak Alfian spontan, merasa nyilu melihat Arisha meringis. "Lepaskan Arisha!"

Nadin menyeringai sinis. "Oh, jadi wanita jalang ini bernama Arisha? Dan kau lebih membela dia daripada aku, istrimu, iya?!"

Alfian jadi serba salah. "B–bukan begitu, Nadin. Aku … aku bisa jelaskan semuanya. Ini hanya salah paham."

"I–iya, Mbak. Ini … cuma … salah paham," lirih Arisha sambil menahan rasa sakit pada kulit kepala, lantaran rambutnya ikut tertarik ke belakang bersama cengkeraman tangan Nadin pada hijabnya.

"Apa? Salah paham?! Omong kosong!" murka Nadin. "Jelas-jelas kau menggoda suamiku dan merampasnya dari kami!"

"T–tidak, Mbak. A–aku tidak tahu kalau Mas Alfian su–sudah menikah. Aakh!" Mata Arisha berkaca-kaca menahan rasa sakit pada kulit kepala dan tengkuknya.

"Bohong! Mana ada maling yang ngaku." Nadin mengedarkan pandangan pada ibu-ibu yang saling berbisik, lalu berseru lantang. "Ibu-ibu, sebaiknya kita apakan pelakor ini? Hari ini suamiku yang menjadi korbannya. Besok atau lusa, bisa jadi suami kalian yang akan dirayunya."

Teriakan Nadin memprovokasi sekumpulan emak-emak yang sedari tadi hanya menonton.

"Betul! Dia harus diberi pelajaran! Jangan biarkan pelakor melenggang bebas di kampung kita," teriak seorang ibu berdandan menor, ikut menyiramkan bensin pada percikan api yang telah menyala.

Entah siapa yang memulai, segerombolan wanita beringas kini menyerang Arisha. Menu, yang semula disiapkan di teras masjid untuk makan bersama setelah akad nikah, kini berubah menjadi senjata.

"Rasakan ini! Makan tuh sambal!" geram seorang ibu berbaju merah seraya membedaki wajah Arisha dengan segenggam sambal rendang.

"Aaakh, panaas! Panaas!" jerit Arisha sembari memejamkan mata dan menggeleng kuat, mencoba menghindari tangan wanita berbaju merah itu.

Apa daya, ibu-ibu lainnya memegangi lengan Arisha dan menahan kepalanya. Arisha hanya bisa tergugu.

Serangan sambal itu tidak hanya menyasar wajahnya, tetapi juga bagian tubuh lainnya. Bahkan, menyelinap ke balik kebaya pengantin yang dikenakannya.

Arisha meraung dan menggelinjang seperti cacing kepanasan. Namun, sekumpulan wanita yang telah dikuasai jiwa iblis itu tak sedikit pun menaruh iba kepadanya.

Alfian yang berusaha melerai pun terjengkang oleh mereka.

"Pak RT, tolong! Jangan diam saja!" teriak Alfian, menyentak sesosok lelaki paruh baya yang tegak bengong, menyaksikan keberingasan warganya.

"Berhenti! Cukup! Kalian bisa membunuhnya," seru Pak RT setelah kesadarannya pulih. "Kalian bisa saja dipenjara karena telah bertindak anarkis!"

"Huuu …." Seruan kecewa terdengar riuh.

Arisha terduduk lemas. Hijabnya entah ke mana. Rambutnya awut-awutan, sebagian melekat pada wajahnya yang terkena sambal.

"Arisha," lirih Alfian, mendekati Arisha seraya berjongkok.

"Jangan coba-coba membelanya, Mas! Dia pantas mendapatkan semua itu. Siapa suruh jadi pelakor." Nadin menarik kerah baju Alfian, menyebabkan lelaki itu terjengkang ke belakang.

Arisha mengeritkan gigi. Runtuh sudah harga dirinya. Cintanya pada Alfian hangus seketika, terbakar kemarahan dan perasaan kecewa, karena merasa tertipu.

Sambil menahan perih pada sekujur tubuhnya, Arisha menantang mata Nadin, lalu beralih pada Alfian.

Dengan kemarahan yang menggelegak dalam dada, Arisha melepas cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia melempar cincin itu ke dada Alfian seraya berkata tegas, "Pernikahan ini batal! Aku tidak sudi menikah dengan seorang penipu!"

Bergegas Arisha menyambar hijabnya yang tergeletak di dekat kaki Pak RT, lalu berlari keluar dengan air mata berderai. Tak ia hiraukan teriakan ibu-ibu yang mencemoohnya.

"Tunggu, Arisha! Jangan pergi! Kita bisa bicarakan ini baik-baik," seru Alfian, memburu Arisha. Namun, Arisha menulikan telinga.

Dia juga tak lagi peduli jika para tamu yang ditinggalkannya sibuk menjelek-jelekkan dirinya.

“Arisha! Argh!”

Alfian meninju angin dengan kecewa. Ketika keluar dari masjid, ia tak lagi melihat sosok Arisha. Entah ke mana gadis itu pergi.

Sejenak ia menggumamkan tekad. “Aku akan mencarimu, Arisha!"

"Sudahlah, Mas … Mas. Pelakor murahan seperti itu tak perlu dikasihani. Baguslah dia pergi! Itu namanya sadar diri," celetuk Nadin, yang berhasil menyusul Alfian sembari menyeret putra kecilnya. "Ayo pulang bersamaku!"

Nadin merangkul lengan Alfian seraya berbisik. Entah apa yang dibisikkannya. Yang jelas, hal tersebut berhasil membuat Alfian bersikap patuh.

Hosh! Hosh!

Napas Arisha tersengal-sengal. Ia membungkuk sembari tangannya bertumpu pada lutut. Entah seberapa jauh ia berlari.

Arisha mengamati sekeliling dengan kening mengerut. Sekarang ia menyadari bahwa dirinya telah berada di desa tetangga.

Hawa panas pada tubuhnya memaksa Arisha untuk mencari sungai. Dia harus membersihkan diri untuk mengurangi rasa panas yang menjalar.

Untung saja yang dibalurkan ibu-ibu itu cuma sambal rendang. Tak terbayang kalau cabai giling mentah yang dimandikan ke badannya. Pasti panasnya luar biasa.

"Ck! Dasar ibu-ibu tak punya hati!" gerutu Arisha sambil mengikis sisa-sisa sambal pada permukaan kulitnya dengan gosokan cukup keras. Aliran air berhawa dingin itu cukup ampuh mengurangi rasa panas yang diidapnya. "Mereka bahkan tak memberiku kesempatan untuk membela diri."

Setelah tubuhnya bersih, Arisha beristirahat di bawah sebatang pohon yang tidak terlalu rindang. Cahaya matahari menembus sela dedaunan. Lumayan panas untuk mengeringkan baju Arisha yang melekat di badan.

Menjelang senja, Arisha mengayun langkah pulang.

Saat menginjakkan kaki di teras, Arisha disambut lemparan tas berisi pakaian.

"Enyah kau dari rumahku!" usir seorang wanita berusia sekitar akhir kepala empat, disertai tatapan sinis.

"Tante … apa mak—"

"Pergi!"

Bam!

Lathifah Nur

Hi, Sobat Readers! Kita bertemu lagi di genre yang berbeda. Mohon dukungannya ya, baik itu rating bintang 5, review di halaman utama cerita, ataupun komentar di setiap bab. Terima kasih!

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status