"Saya terima nikah dan kawinnya—"
"Hentikan!"
"K–kamu …."
Genggaman tangan Alfian pada Pak Penghulu terlepas. Wajahnya memucat. Dia terlonjak tegak, menatap seorang wanita asing yang baru saja berteriak lantang, menghentikan prosesi sakral hari pernikahannya.
Wanita itu melangkah tergesa-gesa, mendekati Alfian. Sebelah tangannya membimbing seorang bocah laki-laki berusia dua tahun.
Ia melirik tajam pada Arisha. Tanpa aba-aba, secepat kilat tangannya menyentak hijab yang dikenakan Arisha. Sementara mulutnya mengeluarkan sumpah serapah, "Dasar jalang! Apa tidak ada lagi laki-laki di muka bumi ini, hingga kau kegatalan merebut suamiku, hah?"
"Akh! Sakit! Lepas!" Arisha mencoba melepaskan tangan wanita itu dari kepalanya, tetapi tidak bisa.
Kobaran emosi membuat cengkeraman wanita tersebut sangat kuat.
"Cukup, Nadin!" sentak Alfian spontan, merasa nyilu melihat Arisha meringis. "Lepaskan Arisha!"
Nadin menyeringai sinis. "Oh, jadi wanita jalang ini bernama Arisha? Dan kau lebih membela dia daripada aku, istrimu, iya?!"
Alfian jadi serba salah. "B–bukan begitu, Nadin. Aku … aku bisa jelaskan semuanya. Ini hanya salah paham."
"I–iya, Mbak. Ini … cuma … salah paham," lirih Arisha sambil menahan rasa sakit pada kulit kepala, lantaran rambutnya ikut tertarik ke belakang bersama cengkeraman tangan Nadin pada hijabnya.
"Apa? Salah paham?! Omong kosong!" murka Nadin. "Jelas-jelas kau menggoda suamiku dan merampasnya dari kami!"
"T–tidak, Mbak. A–aku tidak tahu kalau Mas Alfian su–sudah menikah. Aakh!" Mata Arisha berkaca-kaca menahan rasa sakit pada kulit kepala dan tengkuknya.
"Bohong! Mana ada maling yang ngaku." Nadin mengedarkan pandangan pada ibu-ibu yang saling berbisik, lalu berseru lantang. "Ibu-ibu, sebaiknya kita apakan pelakor ini? Hari ini suamiku yang menjadi korbannya. Besok atau lusa, bisa jadi suami kalian yang akan dirayunya."
Teriakan Nadin memprovokasi sekumpulan emak-emak yang sedari tadi hanya menonton.
"Betul! Dia harus diberi pelajaran! Jangan biarkan pelakor melenggang bebas di kampung kita," teriak seorang ibu berdandan menor, ikut menyiramkan bensin pada percikan api yang telah menyala.
Entah siapa yang memulai, segerombolan wanita beringas kini menyerang Arisha. Menu, yang semula disiapkan di teras masjid untuk makan bersama setelah akad nikah, kini berubah menjadi senjata.
"Rasakan ini! Makan tuh sambal!" geram seorang ibu berbaju merah seraya membedaki wajah Arisha dengan segenggam sambal rendang.
"Aaakh, panaas! Panaas!" jerit Arisha sembari memejamkan mata dan menggeleng kuat, mencoba menghindari tangan wanita berbaju merah itu.
Apa daya, ibu-ibu lainnya memegangi lengan Arisha dan menahan kepalanya. Arisha hanya bisa tergugu.
Serangan sambal itu tidak hanya menyasar wajahnya, tetapi juga bagian tubuh lainnya. Bahkan, menyelinap ke balik kebaya pengantin yang dikenakannya.
Arisha meraung dan menggelinjang seperti cacing kepanasan. Namun, sekumpulan wanita yang telah dikuasai jiwa iblis itu tak sedikit pun menaruh iba kepadanya.
Alfian yang berusaha melerai pun terjengkang oleh mereka.
"Pak RT, tolong! Jangan diam saja!" teriak Alfian, menyentak sesosok lelaki paruh baya yang tegak bengong, menyaksikan keberingasan warganya.
"Berhenti! Cukup! Kalian bisa membunuhnya," seru Pak RT setelah kesadarannya pulih. "Kalian bisa saja dipenjara karena telah bertindak anarkis!"
"Huuu …." Seruan kecewa terdengar riuh.
Arisha terduduk lemas. Hijabnya entah ke mana. Rambutnya awut-awutan, sebagian melekat pada wajahnya yang terkena sambal.
"Arisha," lirih Alfian, mendekati Arisha seraya berjongkok.
"Jangan coba-coba membelanya, Mas! Dia pantas mendapatkan semua itu. Siapa suruh jadi pelakor." Nadin menarik kerah baju Alfian, menyebabkan lelaki itu terjengkang ke belakang.
Arisha mengeritkan gigi. Runtuh sudah harga dirinya. Cintanya pada Alfian hangus seketika, terbakar kemarahan dan perasaan kecewa, karena merasa tertipu.
Sambil menahan perih pada sekujur tubuhnya, Arisha menantang mata Nadin, lalu beralih pada Alfian.
Dengan kemarahan yang menggelegak dalam dada, Arisha melepas cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia melempar cincin itu ke dada Alfian seraya berkata tegas, "Pernikahan ini batal! Aku tidak sudi menikah dengan seorang penipu!"
Bergegas Arisha menyambar hijabnya yang tergeletak di dekat kaki Pak RT, lalu berlari keluar dengan air mata berderai. Tak ia hiraukan teriakan ibu-ibu yang mencemoohnya.
"Tunggu, Arisha! Jangan pergi! Kita bisa bicarakan ini baik-baik," seru Alfian, memburu Arisha. Namun, Arisha menulikan telinga.
Dia juga tak lagi peduli jika para tamu yang ditinggalkannya sibuk menjelek-jelekkan dirinya.
“Arisha! Argh!”
Alfian meninju angin dengan kecewa. Ketika keluar dari masjid, ia tak lagi melihat sosok Arisha. Entah ke mana gadis itu pergi.
Sejenak ia menggumamkan tekad. “Aku akan mencarimu, Arisha!"
"Sudahlah, Mas … Mas. Pelakor murahan seperti itu tak perlu dikasihani. Baguslah dia pergi! Itu namanya sadar diri," celetuk Nadin, yang berhasil menyusul Alfian sembari menyeret putra kecilnya. "Ayo pulang bersamaku!"
Nadin merangkul lengan Alfian seraya berbisik. Entah apa yang dibisikkannya. Yang jelas, hal tersebut berhasil membuat Alfian bersikap patuh.
Hosh! Hosh!
Napas Arisha tersengal-sengal. Ia membungkuk sembari tangannya bertumpu pada lutut. Entah seberapa jauh ia berlari.
Arisha mengamati sekeliling dengan kening mengerut. Sekarang ia menyadari bahwa dirinya telah berada di desa tetangga.
Hawa panas pada tubuhnya memaksa Arisha untuk mencari sungai. Dia harus membersihkan diri untuk mengurangi rasa panas yang menjalar.
Untung saja yang dibalurkan ibu-ibu itu cuma sambal rendang. Tak terbayang kalau cabai giling mentah yang dimandikan ke badannya. Pasti panasnya luar biasa.
"Ck! Dasar ibu-ibu tak punya hati!" gerutu Arisha sambil mengikis sisa-sisa sambal pada permukaan kulitnya dengan gosokan cukup keras. Aliran air berhawa dingin itu cukup ampuh mengurangi rasa panas yang diidapnya. "Mereka bahkan tak memberiku kesempatan untuk membela diri."
Setelah tubuhnya bersih, Arisha beristirahat di bawah sebatang pohon yang tidak terlalu rindang. Cahaya matahari menembus sela dedaunan. Lumayan panas untuk mengeringkan baju Arisha yang melekat di badan.
Menjelang senja, Arisha mengayun langkah pulang.
Saat menginjakkan kaki di teras, Arisha disambut lemparan tas berisi pakaian.
"Enyah kau dari rumahku!" usir seorang wanita berusia sekitar akhir kepala empat, disertai tatapan sinis.
"Tante … apa mak—"
"Pergi!"
Bam!
Hi, Sobat Readers! Kita bertemu lagi di genre yang berbeda. Mohon dukungannya ya, baik itu rating bintang 5, review di halaman utama cerita, ataupun komentar di setiap bab. Terima kasih!
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men