"Silla mana, Bi? Apakah dia tantrum lagi hari ini?"
"Iya, Tuan. Seperti biasa, bibi sampai kewalahan menghadapi Nona Kecil."
Dareen menghela napas panjang. "Aku juga tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya, Bi. Tidak satu pun babysitter yang kupekerjakan mampu menarik hatinya. Aku juga jadi tidak tenang dalam bekerja. Selalu memikirkannya."
Wajah letih Dareen terlihat putus asa. Setiap jam makan siang dia harus pulang untuk mengecek kondisi Silla.
Tak jarang gadis itu dia dapati sedang tantrum, membanting semua barang-barang di kamarnya. Akan tetapi, siang ini, kenapa begitu tenang?
Sadar akan perubahan itu, Dareen mengernyit dan bertanya dengan nada cemas, "Di mana Silla sekarang, Bi? Apa telah terjadi sesuatu yang buruk padanya?"
Dareen melesat menuju tangga yang menjadi penghubung ke lantai atas.
Bi Minah tersenyum santai. "Tenang saja, Tuan! Semua aman terkendali."
"Maksud, Bibi?"
"Non Silla udah ketemu sama pawangnya, Tuan," beritahu Bi Minah setengah berbisik.
"Aduh, Bi … tolong bicara yang jelas! Jangan berbelit-belit begitu! Bikin aku tambah pusing."
"Ih, Tuan … masa itu saja tidak mengerti? Sini bibi bilangin, Non Silla sekarang lagi tidur siang."
"Ah, yang benar, Bi? Tumben?" Dareen tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
Untuk pertama kalinya ia mendengar berita Silla mau tidur siang.
"Benar atuh, Tuan. Non Silla—"
Ucapan Bi Minah menggantung. Dareen telah berlari menaiki tangga.
Perasaan waswas melecut naluri Dareen untuk memastikan kondisi Silla yang sebenarnya.
"Silla …."
Dareen melongo, tercacak di tengah pintu kamar dengan jemari yang masih menggenggam kenop.
Ia tercengang melihat kondisi kamar Silla yang berbeda dari biasanya. Jika sebelumnya kamar itu selalu berantakan, dengan mainan yang berhamburan di mana-mana, kini kamar tersebut terlihat apik dan teratur.
Boneka dan mainan kesayangan Silla tersusun rapi pada tempat yang semestinya.
Yang lebih menakjubkan, netra kelam Dareen menyaksikan pemandangan indah. Silla terlelap sambil memeluk erat pinggang Arisha, seakan-akan gadis cilik itu takut ditinggal pergi.
"Apa bibi bilang … Non Silla benaran tidur siang kan, Tuan?" bisik Bi Minah, ikut melongok dari celah pintu. "Nyenyak banget kayaknya."
Dareen tak mampu berkata-kata. Perlahan ia menutup pintu. Perasaannya campur aduk.
Baru kali ini ia mendapati Silla tidur siang sejak gadis kecil itu berada dalam pengasuhannya—tiga tahun yang lalu.
Langkah Dareen mengayun turun. Ia merasa lebih tenang untuk kembali ke kantor.
"Makan siang Anda sudah siap, Tuan," kata Bi Minah.
Dareen berbelok menuju ruang makan tanpa menyahut. Pikirannya penuh dengan keajaiban dari perubahan perilaku Silla.
Sambil melayani tuannya, Bi Minah tak mampu menahan rasa penasarannya akan sosok Arisha.
"Tuan ketemu di mana sama Non Arisha? Dia luar biasa."
"Aku tidak sengaja menabraknya, Bi."
"Astagfirullah! Apa keluarganya sudah diberitahu, Tuan? Mereka pasti cemas."
Dareen menurunkan sendok yang nyaris menyentuh bibirnya.
"Astaga, aku tidak kepikiran sampai ke sana, Bi."
Selera makan Dareen mendadak hilang. Ia merogoh kantong, mengeluarkan ponsel, kemudian sibuk menggulir layar.
"Aku tidak tahu siapa keluarganya, Bi," gumam Dareen, mengembuskan napas lesu. Bahunya melunglai. "Aku bahkan belum menyimpan nomor ponsel gadis itu."
"Ya ampun, Tuan. Bagaimana Anda bisa lupa dengan hal sepenting itu? Kalau Non Arisha keluar, lalu tersesat atau malah kabur bagaimana? Kan Anda juga yang akan repot, Tuan."
"Dia tidak akan ke mana-mana," sanggah Dareen. "Ya … setidaknya hingga besok pagi dia masih di sini. Masih ada waktu untuk mendapatkan nomor ponselnya."
Dareen bangkit. Tak lagi menyentuh makan siangnya yang belum habis.
"Aku kembali ke kantor, Bi. Hubungi aku kalau ada apa-apa!"
"Lho, makannya masih bersisa, Tuan," tukas Bi Minah, merasa heran Dareen meninggalkan meja makan dengan piring masih setengah penuh.
"Kenyang!"
Sebelum benar-benar bertolak ke kantor, Dareen menyempatkan diri untuk sekali lagi mengintip Silla di kamarnya.
Matanya terbelalak menyaksikan aksi Arisha.
'Astaga, apa yang sedang dilakukan oleh wanita aneh itu?'
"Kamu mau membunuh Silla?" Dareen berkata dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan. Jemari panjangnya mencekal pergelangan tangan Arisha dan menjauhkan tangan gadis itu dari dada Silla. Arisha meringis. "Lepas! Kamu menyakitiku." "Katakan! Apa yang kamu lakukan pada Silla?" "Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya mendoakannya," sahut Arisha seraya berusaha bangkit. Kening Dareen mengerut. "Jangan coba-coba menipuku, Arisha!" bisik Dareen, menyeret Arisha menjauh dari Silla. "Aku tidak buta. Aku lihat kamu menekan dada Silla." "Astagfirullah! Kamu salah paham. Aku tidak berniat menyakiti Silla. Aku justru sedang berusaha mengetuk pintu langit, berharap Allah akan melembutkan hatinya." Dareen menyipitkan mata, curiga. "Aku tidak bodoh, Arisha!" "Ya, ya. Kamu tidak bodoh, tapi juga tidak cukup pintar untuk membesarkan seorang anak," sindir Arisha dengan bibir mencebik sinis. "Dengar, Tuan Sok Pintar! Jangan cuma bisa membuat anak, tapi pelajari juga cara mendidiknya! Hanya den
"Kakaaak! Kakak Nggak boleh tinggalkan Silla!" jerit Silla, berlari menuruni tangga. Rambutnya yang sepinggang berkibar-kibar dan terlihat kusut. "Aakh!" Silla terjatuh kala kaki mungilnya tersandung pinggiran karpet. Mengabaikan rasa sakitnya, Silla bergegas bangkit, kembali memburu Arisha. Melihat pemandangan yang menyentuh hati itu, pegangan tangan Arisha pada kenop pintu terlepas. Ia berjongkok, mengimbangi ketinggian Silla. Gadis mungil itu menghambur ke dalam pelukan Arisha dan memagut lehernya dengan erat. "Silla … Silla mau sama Kak Sha," lirih gadis itu, terbata-bata. Ia mulai sesenggukan. Arisha dilema. Sungguh tak ada keinginan dalam hatinya untuk tetap tinggal serumah dengan Dareen. Lelaki yang menurutnya sangat arogan dan menyebalkan. Akan tetapi, melihat betapa Silla mulai bergantung kepadanya, rasa tak tega menyeruak dalam hatinya. Menyapa dengan bisikan-bisikan yang meluluhkan jiwa. "Sayang, kok tidur siangnya sebentar sekali?" tanya Arisha, menyembunyikan ras
"Bi Minah, Silla mana? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?" Pagi-pagi Dareen heboh sembari memasang wajah panik. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengecup kening sang keponakan tercinta sebelum berangkat kerja. Namun, pagi ini, kamar gadis mungil itu kosong. Prasangka buruk mulai merasuki pikirannya. "Bi, kenapa diam saja?" sungutnya, menyadari sang asisten rumah tangga hanya tersenyum simpul. Tangan wanita paruh baya itu masih menggenggam kemoceng yang ia pakai untuk mengikis debu pada kaca lukisan, penghias dinding koridor menuju bibir tangga. "Bukankah bagus jam segini nona cilik tidak lagi tidur, Tuan?" Sebelah alis Dareen terangkat. "Maksud, Bibi? Silla bukan dibawa kabur, tapi memang sudah bangun?" "Ya ampun, Tuan! Siapa yang berani membawa kabur nona cilik?" timpal Bi Minah. "Nona cilik bersama Non Arisha." "Huh? Sepagi ini?" Dareen masih tak percaya keponakannya itu mau melepaskan diri dari belitan selimut hangatnya saat matahari baru sepenggalan naik. Bi Minah men
"Dasar cowok gila! Dia yang menahanku, dia juga yang selalu curiga," omel Arisha, merasa dongkol dengan kata-kata Dareen yang terus terngiang di telinganya. Sementara tangannya sibuk mengaduk susu yang disiapkannya untuk Silla. "Laki-laki memang egois! Giliran ada maunya baik banget, tapi cuma kedok doang. Aslinya penipu! Habis manis sepah dibuang!" Arisha terus mengomel, mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya tentang Dareen, melainkan juga dongkol setengah mati pada sosok Alfian. "Tidak semua laki-laki begitu, Non—" "Eh, Bi Minah!" Arisha menoleh kaget. "Sejak kapan Bibi berdiri di situ?" Wajah Arisha sedikit beriak resah. Gawat kalau Bi Minah mendengar semua ocehannya. Bagaimana kalau Bi Minah mengadu pada Dareen? Ah, bisa keluar tanduk dari kepala Dareen. Arisha mengutuki kebiasaannya yang suka berbicara sendiri, sebagai salah satu cara untuk meluapkan emosi. "Sudah lumayan lama, Non," sahut Bi Minah, tersenyum tipis seraya melangkah mendekati Arisha. "Bibi … mendengar semu
Dua tatapan saling mengunci. Arisha dengan kilat tak suka berbalut canggung. Dareen dengan binar mata tak terbaca. "Silla, Sayang. Silla hanya boleh memilih salah satu. Mau sama kakak atau Daddy?" Arisha memecah hening setelah berhasil menguasai situasi. "Silla mau ditemani Kak Sha sama Daddy." "Nggak boleh, Sayang." "Kenapa nggak boleh?" Wajah Silla murung. Arisha kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya kepada Silla. "Sayang, nanti setelah Silla besar, Silla akan paham." "Ehem!" Dareen mendeham kikuk tanpa berani menatap langsung pada Arisha. Permintaan Silla memantik perasaan aneh dalam hatinya. Ia sendiri tidak yakin itu perasaan apa. Yang jelas, pipinya terasa memanas. "Tidurlah! Daddy tidak akan pergi. Da—" "Daddy akan tidur sama Silla dan Kak Sha?" potong Silla dengan wajah berbinar cerah. Arisha melotot pada Dareen. Tatapan tajamnya melayangkan ancaman. Dareen mengulum senyum, perlahan mulai mengayun langkah. Melihat aksi nekat Dareen,
"Astagfirullah!" Arisha tergesa-gesa membuka mukena. Bayangan Silla terjatuh dari ranjang membentot langkahnya menuju pintu. "Silla? Kenapa, Sayang?" Ternyata gadis kecil itu telah berada di depan pintu, tersedu sedan dalam gendongan Dareen. Kedua tangan mungilnya terulur dan gemetar. Arisha mengambil Silla dari gendongan Dareen. Ia berbisik menenangkan Silla seraya mengelus punggungnya. "Cup, cuuup … Silla kenapa nangis, Sayang?" Silla menelan tangisnya, menyisakan sedan di ujung bibir yang bergetar. "Silla, Silla mimpi buruk." "Oh ya? Mimpi apa?" Arisha membawa Silla kembali ke kamarnya. "Silla, Silla mimpi Kak Sha ninggalin Silla," jawab Silla seraya mempererat belitan lengannya pada leher Arisha. Rupanya sedekat itu ikatan batin Silla dengan Arisha walaupun perkenalan mereka masih hitungan hari. "Kakak hanya pergi sebentar untuk salat Subuh, Sayang." "Salat?" Mata Silla yang berkaca-kaca memancarkan rasa penasaran. Pun Arisha merasa heran. Anak seusia Silla seharusnya
"Silla, nanti kalau besar, jangan biasakan menguping pembicaraan orang lain, ya? Itu tidak baik." "Silla nggak nguping, Kak Sha. Kan Kak Sha ngomong sama Silla. Gimana sih?" Alis Silla terangkat sebelah, merasa bingung dengan perkataan Arisha. Jelas-jelas dia sedang menyimak materi yang diajarkan Arisha, eh, malah dikatakan menguping. Arisha tersenyum tipis, mengerling pada pintu kamar Silla yang sedikit renggang. Dareen bergeser ke sisi kanan. Merasa malu karena ketahuan mencuri dengar ilmu yang diajarkan Arisha pada Silla. Arisha dan Silla saling lempar pandang, lalu kompak mengangguk. Seakan paham dengan kode masing-masing, keduanya berjinjit menuju pintu. Dareen yang tak lagi mendengar suara dari dalam kamar merasa heran. Penasaran, ia pun kembali mengintip. "Hayyyooo … ketahuan Daddy suka ngintip! Ish! Ish! Ish!" Silla membuka pintu secara tiba-tiba dan berseru mengejek. "Itu … ti-dak baik!" Silla mengulang kata-kata yang diucapkan Arisha dengan mimik serius dan penuh p
"Daddy, ayooo!" Silla mengguncang-guncang lengan Dareen.Dareen masih membisu. Bingung antara memenuhi permintaan Silla atau menolak.Hatinya bimbang. Kalau dituruti, takutnya ia salah baca. Bisa-bisa Arisha menertawakan dirinya.Seandainya ditolak, tetap saja dia berada di posisi yang tidak menguntungkan. Arisha pasti akan menganggapnya sebagai lelaki pengecut, yang bahkan untuk menaklukkan tantangan dari seorang anak kecil pun, ia tak mampu.Kali ini Dareen mengutuk tingkah Silla. Bisa-bisanya gadis kecil itu punya ide untuk mempermalukan dirinya di hadapan wanita aneh, yang selalu berani membantah kata-katanya."Sayang, yang belajar kan Silla, bukan daddy. Tugas daddy adalah mengawasi Silla belajar," kilah Dareen, dengan senyum terpaksa. "Daddy senang Silla tumbuh pintar dan hebat seperti daddy."Arisha mencebik sinis mendengar bualan Dareen tentang kehebatannya.Sebaliknya, mata Silla berbinar bangga. "Benarkah, Daddy?"Dareen mengangguk mantap. "Tentu saja!""Mana buktinya?"Dare