A kind of story that starts with a employee - employer relationship. Amber was hired to be a new secretary of Dranreb, CEO of Del Real Company. Dranreb fell for her the first time he saw her.
Lihat lebih banyak"Dek, bisa pulang cepet ndak?"
"Nggak bisa, Bun. Jadwal Adek lagi padat banget. Bentar lagi kan UAS, jadi Adek harus menyelesaikan semua tugas kuliah. Nanti habis UAS Adek pasti pulang kok. UAS-nya juga nggak lama. Kenapa, Bun, kok tiba-tiba minta Adek pulang?"
"Ada hal penting yang ingin Ayah sama Bunda sampaikan. Pulang, ya, Nak."
"Hal penting apa, Bun? Apa nggak bisa lewat telepon?"
"Ndak bisa, Dek. Ini sangat penting yang ndak bisa dibicarakan lewat telepon. Ayah sama Bunda butuh kehadiran Adek. Bunda minta tolong banget, Adek pulang, ya."
“Duh… gimana, ya, Bun? Bunda kan tau sendiri Adek lagi sibuk-sibuknya ini. Banyak tugas kelompok maupun individu yang belum selesai dan nggak bisa Adek tinggalin gitu aja. Udah jadi tanggung jawab Adek, Bun. Nggak bisa, ya, nunggu waktu liburan sekalian?”
“Kalau nunggu liburan kelamaan, Dek. Masalah tugas kan bisa diselesaikan waktu di rumah. Bunda mohon, Adek pulang, ya. Tolong, Nak, tolongin Bunda.”
"Baiklah, Bun. Nanti saat minggu tenang, insyaallah Adek bakal pulang."
"Kalau bisa dipercepat, Dek. Kami ndak bisa nunggu lebih lama lagi. Apa perlu Ayah atau Mas Diaz menjemput Adek di sana? Nanti biar diizinkan pulang."
“Nggak usah, Bunda, Adek bisa pulang sendiri. Adek usahakan weekend ini akan pulang. Adek perlu menyelesaikan urusan di sini dulu. Bunda sabar dulu, ya.”
Itu adalah percakapannya bersama sang ibu melalui telepon beberapa yang hari lalu. Sekarang ini seorang gadis bernama Azwa sedang dalam perjalanan menuju rumahnya dengan menggunakan ojek online.
Gadis itu menatap pemandangan sekitar dengan pandangan kosong. Sejak menerima telepon dari bundanya waktu itu, dia tak bisa tenang dan terus-menerus kepikiran, hingga akhirnya memutuskan untuk mempercepat kepulangannya dari Surabaya.
Azwa sangat khawatir terjadi sesuatu pada ibunya. Tidak biasanya Bunda bersikap seperti itu. Beliau selalu mengerti kesibukannya setiap akhir semester dan tidak akan mengganggu dengan sering menelepon apalagi memintanya pulang. Ini malah akan menjemput jika tidak segera pulang. Benar-benar aneh.
Teringat jelas ketika sang ibu terus-menerus mendesaknya untuk pulang. Ditambah lagi saat menelepon suara ibunya terdengar bergetar seperti menahan tangis.
Waktu Azwa meminta video call guna memastikan kondisi Bunda baik-baik saja selalu ditolak dengan berbagai alasan yang membuatnya semakin curiga. Seperti ada yang disembunyikan.
Berbagai pertanyaan hinggap memenuhi isi kepala Azwa. Hal penting apa yang akan disampaikan orang tuanya? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Masalah apa yang menimpa keluarganya hingga mengharuskan dia pulang? Apapun itu, dia merasa bukanlah suatu hal yang baik.
Pukul 11.00, Azwa tiba di kediamannya. Gadis itu menatap rumah sederhana berlantai satu yang menjadi saksi bisu tumbuh-kembangnya dari bayi hingga berusia 19 tahun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum, Bunda," salamnya seraya membuka pintu utama. Dia mencopot sepatu lantas diletakkannya di rak samping pintu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Bunda Nawa, ibunya Azwa, menghampiri putrinya di ambang pintu.
Azwa langsung mencium tangan ibunya lalu memeluknya erat. "Adek kangen Bunda."
"Bunda juga kangen banget sama Adek."
Mendengar suara Bunda Nawa yang agak serak membuat Azwa segera melepas pelukannya. Dia menatap penuh selidik wanita yang melahirkannya ini. Wajah pucat, kantung mata yang menghitam dengan sedikit bengkak, mata dan hidung memerah seperti habis menangis, serta tatapannya pun tampak sayu.
Tubuh ibunya juga terlihat lebih kurus dibandingkan terakhir kali bertemu sekitar dua bulan lalu ketika ada pekan ilmiah di kampusnya. Pasti ada yang tidak beres. "Bunda kenapa? Bunda sakit?" tanyanya khawatir.
"Bunda ndak papa. Ayo, masuk dulu." Bunda Nawa membawa putrinya duduk di sofa ruang tamu.
"Kenapa tiba-tiba minta Adek pulang? Hal penting apa yang akan Bunda sampaikan ke Adek?" Azwa bertanya tanpa basa-basi karena sudah sangat penasaran dengan keanehan sang bunda.
Bunda Nawa tersenyum sembari mengusap kepala Azwa. "Tunggu Ayah sama Mas Diaz pulang dulu, ya. Hari ini katanya pulang cepat. Kita akan membahasnya sama-sama entar sore. Sekarang Adek istirahat dulu aja, pasti capek habis perjalanan jauh."
"Tapi Adek maunya sekarang. Adek udah penasaran banget ini. Adek udah bela-belain pulang cepet loh."
"Iya, Sayang, Bunda ngerti. Nanti aja, oke? Adek sekarang harus istirahat biar lelahnya hilang baru setelah itu kita bahas sama-sama. Adek paham?" perintah Bunda Nawa lembut tapi tegas tak terbantahkan.
"Iya, Bunda," jawab Azwa pasrah.
—o0o—
Sore hari, Azwa beserta semua anggota inti keluarganya berkumpul di ruang tengah guna membahas hal penting. Mereka duduk lesehan di lantai dengan posisi melingkar.
Gadis yang mengenakan piyama panjang itu duduk di sebelah kakaknya bernama Ardiaz atau kerap disapa Diaz, sedangkan di samping kirinya ada Bunda Nawa.
"Adek ndak keberatan kan pulang cepat?" tanya Ayah Abyaz, ayahnya Azwa.
"Nggak, Ayah. Lagian Senin depan mulai minggu tenang."
"Minggu tenang itu berarti libur, ya. Apa urusannya udah selesai semua di sana? Kata Bunda, Adek lagi banyak tugas."
"Udah, Yah, aman pokoknya. Sebelum pulang, Adek udah selesaikan semuanya. Tinggal yang UAS take home. Ini tak bawa pulang biar bisa nyicil."
"Emang bisa gitu, ya?" tanya Diaz.
Azwa menoleh ke arah sang kakak. "Bisa dong, Mas. Sebenarnya tugas kelompok, tapi dibagi tugas per anggotanya.”
“Ada juga yang individu. Nanti dikumpulin waktu jadwal UAS matkulnya. Jadi, semester ini UAS tertulis cuma beberapa matkul aja, nggak semuanya," jelasnya.
"Oalah, beda sama waktu Mas kuliah dulu." Diaz manggut-manggut paham.
"Ya iyalah, Mas. Beda kampus, beda peraturan. Apalagi Mas kuliahnya tahun berapa itu, udah pasti beda periode lah."
"Ehm!" Ayah Abyaz berdehem menyudahi obrolan kedua anaknya. “Adek, ada hal penting yang ingin Ayah sama Bunda sampaikan,” katanya memulai pembahasan utama.
“Hal penting apa, Ayah?” tanya Azwa penasaran.
"Adek, sebelumnya Ayah minta maaf kalau apa yang Ayah sampaikan nanti akan membuat Adek kecewa." Ayah Abyaz menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya guna menetralisir rasa tidak nyaman dalam hati.
"Adek, sebenarnya Ayah punya utang sama rentenir dengan jumlah yang sangat banyak berikut dengan bunganya. Tapi sayangnya, Ayah belum mampu melunasinya sampai sekarang," paparnya.
"Apa?! Bukannya Ayah paling anti utang ke rentenir?" Azwa sangat terkejut dengan pengakuan ayahnya. Dia benar-benar tidak tahu apapun tentang itu.
"Iya, Dek, tapi Ayah terpaksa karena sangat butuh. Dulu Ayah sempat utang ke bank. Sayangnya, harus pake jaminan, tapi kami ndak punya apa-apa selain rumah.”
“Kalau rumah ini jadi jaminannya, Ayah takut kita ndak punya tempat tinggal lagi. Jadi, Ayah memilih buat pinjam ke rentenir yang saat itu syaratnya sangat mudah."
"Tapi bagaimana bisa Ayah punya utang banyak?" tanya Azwa heran karena selama ini yang dia tahu keluarganya baik-baik saja, sama sekali tak memperlihatkan bila memiliki banyak utang.
Namun sekarang, bisa-bisanya Ayah Abyaz punya utang banyak dan malah menyembunyikan masalah itu. Lantas bagaimana cara melunasinya?
Chapter 36Pagdating ko sa opisina ay nakaupo na naman sa upuan ko si Cameron. Tinitingnan pa niya ang mga gamit ko doon na akala mo'y may interesanteng bagay doon."Anong ginagawa mo diyan?" tanong ko nang makalapit na sa kaniya. Agad lumapat ang tingin niya sa akin."Where did you go?" tanong niya at tumayo na mula sa pagkaka upo. His arms immediately wraps around my waist as he kissed my forehead. "Sa coffee shop lang diyan sa malapit. May kinita lang." nagsalubong ang kilay niya at humigpit ang braso sa bewang ko. Kung ano ano na atang pumasok sa utak niya. "Sinong kinita mo doon?" salubong pa din ang kilay niya at nag iigtingan ang mga panga. "Sino bang naiisip mo?" sinubukan ko pa siyang lalong galitin at nagtagumpay naman ako. Matalim na ang tingin niya sa akin ngayon samantalang natatawa lang naman ako sa mga reaksyon niya."You tell me, sino nga ba?" mapanganib na ngayon ang boses niya at may pagbabanta na."Si nanay lang naman. Ikaw siguro kung ano anong iniisip mo. Akala
Chapter 35Mag isa akong kumakain sa kusina dahil tapos na ang mga kapatid ko at binibihisan na ni tatay para pumasok sa eskwelahan. Konti lang ang sinandok ko dahil hindi ko feel ang kumain, masyado pa kasing maaga e. Nung college kasi hindi naman ako sanay na kumain ng breakfast, kailangan kasi maaga laging umalis kaya milo lang ang umagahan ko. E ngayon, hindi ako pinapaalis ni tatay na walang kain ng kanin sa umagahan. "Ate, alis na po kami. Ingat po ikaw." nakangiting paalam sa akin ni Vico at yumakap pa na sinundan naman ni Audrey."Hmm, pakabait kayo ha? Pagbutihan sa school, ingat din kayo." binigyan ko sila ng tig isang daan para sa baon nila. Hindi ko ipinakita kay tatay na inabutan ko yung dalawa dahil tututol na naman siya. Ayokong tipidin sa pagkain ang mga kapatid ko kaya hangga't may pera ako, bibigyan ko sila ng bibigyan as long as pagkain ang bibilhin nila at hindi kung ano ano. Mabait at responsableng bata naman itong dalawa kaya walang problema. Minsan din ay hindi
Chapter 34Sabay sabay na kaming kumain nang hapunan pagkatapos magluto ni tatay. Nagkakilala na silang dalawa ng pamangkin niya. Sila na ang nag usap tungkol sa kaso pagkatapos naming kumain dahil dumating si Cameron. Hindi ko pa siya naipapakilala si Ismael sa kaniya kaya ngayon ay matalim ang tingin niya dito na wala naman sanang ginagawang masama sa kaniya. Akala niya siguro ay manliligaw ko din lalo na't kausap si tatay."Baby, quit glaring at him." mahinahon kong suway sa kaniya dahil mukhang nakakahalata na ang pinsan ko sa masamang tingin sa kaniya nitong isa. Tarantado pa naman din yan, papatol din talaga yan. Mas lalo pang mang aasar. Magaling mang asar yan, pikon din naman."Who's he? Bakit siya nandito? Nanliligaw din sayo? Pumayag ka? Pumayag si tatay?" sunod sunod na tanong niya."Wait lang, kumalma ka nga muna. Ang dami mong tanong. Galing ka pang opisina? Kumain ka na ba?" balik kong tanong sa kaniya."Don't change the topic.""Ano ka ba, he's my cousin. Stop overthink
Chapter 33Kinuwento ko kay tatay kung paano kami nagkakilala ni Mael. Way back in college, I was really devastated that time dahil nga estudyante pa lang ako at sobrang daming gastusin sa bahay, idagdag pa ang mga kailangang bayaran sa school. Halos lahat na ng racket pinasok ko, hindi naman makapagtrabaho noon si tatay dahil maliliit pa ang dalawa kong kapatid. Hindi kami komportable na ihabilin na lang basta sa kapitbahay, baka mamaya mapabayaan lang at kung ano pang mangyari. Kaya sinabi ko non kay tatay na ako nang bahala kumayod para samin kahit na nag aaral pa ako. And rhem, he approached me. Inalok niya akong maging tagalinis ng condo niya tuwing weekends, dahil malaki ang sahod na offer niya ay pinatos ko na. Turns out, kilala niya pala ako dahil matagal niya na kaming minamanmanan. Hindi lang siya makalapit samin dahil hindi niya alam kung anong magiging reaction ni tatay kung sakali man. Dun nagsimula na maging close kami. Lagi siyang nandyan kapag kailangan ko siya sa kahi
Chapter 32Wala talaga silang balak tumigil ano? Talagang hinahamon nila ang manipis ko nang pasensya? Hanggang kailan ba niya kami hindi patatahimikin? Mukha ba namang kailangan namin siya sa buhay namin? Halos buong buhay ng mga kapatid ko wala siya, kaya kakayanin din nilang mabuhay ng marami pang taon kahit wala siya. I know I'm being selfish, hindi ko tinatanong ang mga kapatid ko kung gusto nila siyang makasama. Pero ayoko lang naman kasi na masaktan sila. Ayoko na pagdaanan nila lahat ng hirap at sakit na pinagdaanan namin ni tatay noong mga musmos pa sila at walang kamalay malay sa mundo. Hangga't kaya ko, gagawin ko ang lahat para maprotektahan sila. Hangga't kaya ko, gagawin ko ang lahat para hindi sila masaktan ng kahit na ano o ng kahit na sino. Kung kinakailangang makipag patayan ako wag lamang silang masaktan then so be it. Ganon ko sila kamahal na dalawa. Ganon namin sila kamahal ni tatay. "Hanggang kailan mo ba ako matitiis anak? Hanggang kailan mo ipagdadamot sa akin
Chapter 31 Kabababa lang namin ng eroplano, nandito na ulit kami sa Manila. Ang sakit ng ulo ko, maybe because of jetlag. Tsaka hindi rin kasi ako sanay sumakay ng eroplano e. Before leaving Palawan, bumili muna ako ng mga pasalubong sa mga kapatid ko. "Tita, thank you po sa pag invite sakin sa family vacation niyo." ngumiti lang si tita at yumakap sakin bago pumasok sa kotse para umuwi na. Masakit kasi ang ulo niya, inaatake ng migraine kaya hindi na sila nagtagal. Ako naman ay ihahatid ni Cameron, sabi ko nga ay wag na para makapag pahinga din siya pero ayaw naman niyang pumayag. Malayo pa lang kami sa bahay ay tanaw ko na ang dalawa kong kapatid na nakaabang na sa pagdating namin. Tumawag kasi sila kagabi, nagtatanong kung kelan daw kami uuwi. Sinabi ko na ngayon, kaya ayan nakaabang na. Alam siguro nila na may pasalubong ako sa kanila kahit hindi ko naman sinabi. "Ate!" patakbo nila kaming sinalubong at magkasabay na yumakap sa bewang ko. "Na miss niyo ba akong dalawa?" nakan
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Komen