Share

Part 3 : Semudah itu?

My Actor

[Alana Zaura, besok bawa artis kamu ke studio saya tepat waktu. Ingat, tepat waktu!]

Mata Alana terbelalak membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Pesan yang dikirim oleh Jhoni Ares, seorang perancang busana kenamaan.

“Waduh, bakalan rumit ini,” gerutu Alana. Segera ia menghubungi si pengirim pesan. Tak menunggu lama, terdengar jawaban dari seseorang.

“Apa ada yang belum jelas?” tanya itu terdengar sangat lugas tanpa diawali basa-basi sedikit pun.

“Hai, King Jhoni. Apa kabar?” Alana mencoba berbasa-basi walaupun ia tahu itu tidak akan berarti apa-apa.

“Udah, Nggak usah sok manis deh, ya. Saya hanya butuh bukti nyata dari artis kamu itu. Ingat, ya, kalau besok dia mengecewakan apalagi sampai mangkir lagi dari tanggung jawab, saya nggak akan segan-segan untuk angkat kasus ini!” ketus lelaki yang agak sedikit kemayu itu.

“King Jhoni yang baik hati, jangan galak-galak, dong. Please ... kasih kesempatan. Janji, nggak bakal mengecewakan. Tapi ... ini kok mendadak sekali.” Alana mencoba merayu dengan nada suara memelas.

“Wait, wait ... kamu nggak lupa ‘kan isi perjanjian kita?”

“Iya, ingat. Cuma jangan dadakan begini juga, King.”

“Jadi, kalian lebih memilih kita ketemu di pengadilan?”

“Bukan ... bukan begitu, cuman sekarang ini Razka--”

“Nona Manejer, tawar menawar sudah tidak ada lagi sekarang. Saya tidak mau tahu apa kendala kamu. Saya hanya butuh kalian menunaikan kewajiban. Paham, kan?”

“Iya, baiklah,” jawab Alana dengan suara lesu.

“Ya sudah. Tapi ingat ya, saya maunya berurusan langsung sama kamu. Bukan sama Theo si pria gagal itu! Udah, ya. Saya lagi sibuk.”

Sambungan telepon diputus. Alana menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil menyimpan ponsel gadis itu menggerutu, “Ada aja masalah saban hari.”

Setelah berpikir beberapa saat, Alana kembali mengambil telepon genggam yang sudah dimasukkan ke dalam tas. Ia pun menghubungi seseorang. Berkali-kali ia menghubungi nomor yang sama tetapi tidak ada respons apa-apa. Awalnya tersambung tetapi tidak diangkat hingga akhirnya tidak bisa dihubungi.

Alana menahan gusar. Razka sama sekali tidak mengindahkan telepon darinya bahkan lebih memilih mematikan ponselnya.

“Aduh, bagaimana ini? Kalau besok sampai nggak datang, kacau banget ini. Mati deh gue. Razka kamu di mana sih!” gumam Alana yang mulai dilanda kepanikan.

Setelah beberapa saat terdiam, Alana pun berjalan mondar-mandir di samping mobilnya. Ia tengah berpikir keras bagaimana caranya agar besok pagi dia bisa mengajak Razka ke studio desainer itu.

Seharusnya, Razka melakukan pemotretan menggunakan rancangan King Jhoni –begitu desainer itu dipanggil di kalangan artis— tiga bulan yang lalu. Namun Razka tidak datang tanpa alasan dan pemberitahuan. Karena sudah mangkir dari kontrak yang mengakibatkan kerugian pada pihaknya, King Jhoni tidak bisa terima. Ia ingin membawa ke jalur hukum.

Beruntung saat itu atas bantuan seorang artis senior, mereka melakukan mediasi. Razka diberi kesempatan ke dua. Ia harus memenuhi tanggung jawabnya di lain waktu. Kapan pun pihak King Jhoni membutuhkannya.

“Mana ini kesempatan terakhir lagi. Kalau mangkir lagi, pasti naik nih kasus dan udah pasti kalah.” Lagi-lagi Alana hanya bisa bermonolog.

Setelah menggaruk pelipis, Alana kembali menghubungi sebuah nomor. Tidak butuh waktu lama, sudah terdengar jawaban.

“Kenapa Alana? Kangen ma gue?”

“Theo, besok Razka ada pemotretan di studio King Jhoni. Setelah itu, fashion show di hotel Queen.”

“Say, please dong, jangan gue yang lu suruh handle Razka di sana. Gue trauma ketemu sama itu, si king-kingan itu.”

“Terus, kalau bukan lu siapa lagi?” tanya Alana ketus.

“Ya, elu dong, Say. Masak tetangga lu, nenek moyang lu.”

“Gue serius, Theo. Ini keadaan lagi genting banget. Lu ingatkan waktu kita mediasi sama dia?”

“Makanya lu jangan nyuruh gue yang ke sana. Ntar dia komplain lagi. Mending lu aja yang langsung turun tangan.”

“Masalahnya, Razka lagi nggak mau ketemu gue. Gue telepon berkali-kali nggak dijawab. Malah kayaknya gue diblokir.”

“Kalian ribut lagi? Pacaran ya pacaran. Kerja ya kerja. Gimana sih kalian ini?”

“Nggak usah bawel! Tugas lu nyiapin dia dari rumah aja. Nyampe di sana biar jadi urusan gue. Tapi lu jangan bilang-bilang Razka kalau akan ada gue di sana. Please, Theo. Ini demi kita bersama.”

Setelah cukup lama membujuk dan meyakinkan Theo serta ditambah sedikit ancaman, akhirnya Alana bisa sedikit bernapas lega. Theo menyanggupi tugas yang diberikan Alana.

“Ya, okelah gue coba.”

“Theo, makasih banget. Lu yang terbaik deh pokoknya.” Suara Alana kembali terdengar bersemangat.

“Mending kalian putus aja deh dari pada ribet. Berantem mulu, emang nggak bosan apa?”

“Apaan sih lu? Emangnya ini masuk dalam list pekerjaan lu?” sengit Alana pada lelaki yang sudah hampir dua tahun ini menjadi timnya.

“Gitu aja sewot. Cepat tua, lu!” balas Theo dan segera mematikan telepon. Lagi-lagi Alana dibuat kesal. Theo hampir tak jauh berbeda dengan Razka, begitu ia tahu kalau Alana dan Razka sedang ada masalah dengan hubungan mereka, kalimat pertama yang muncul dari mulutnya adalah mengakhiri hubungan. Tentu saja hal itu tidak pernah dipedulikan oleh Alana. 

Alana kembali menyimpan ponselnya. Sekarang yang harus ia pikirkan adalah bagaimana cara untuk menghadapi Razka besok. Tiba-tiba saja kepalanya terasa bertambah berat. Tak bisa dipungkiri, rasa jenuh memang kerapkali menghampiri apalagi kalau sudah diimpit tekanan kerja yang bertubi-tubi.

Pernah juga terpikir olehnya untuk beralih profesi. Akan tetapi, jika teringat perjuangannya dalam meniti karier seketika ia menepis pemikiran itu.

lima tahun yang lalu, Alana baru saja lulus kuliah jurusan manejemen dari salah satu perguruan tinggi negeri. Ia merupakan lulusan terbaik di fakultasnya. Walaupun begitu, tetap tidak mudah baginya untuk mendapat pekerjaan. 

Berbulan-bulan tidak juga kunjung mendapat kabar baik dari perusahaan-perusahaan yang telah dikiriminya lamaran kerja. Sementara keadaan keluarganya yang hanya hidup pas-pasan membuat Alana tidak bisa berlama-lama tanpa penghasilan. Akhirnya ia menerima tawaran temannya untuk menjadi pekerja lepas di sebuah EO. Dari sanalah Alana berkenalan dengan Pak Gani, seorang pemilik manejemen artis.

Awal bergabung dengan manejemen artis tersebut Alana hanya menjadi asisten Pak Gani. Membantu menyiapkan semua keperluan artis yang berada di bawah naungan manejemen Pak Gani.  Tak berapa lama setelah Alana  bekerja di sana, Razka pun masuk ke manejemen tersebut karena ingin diorbitkan menjadi artis. Memang manejemen artis tersebut belum terlalu besar tetapi sudah ada beberapa artis di bawah naungannya yang sudah wara-wiri di televisi nasional.

Seiring berjalannya waktu, manejemen Pak Gani lebih fokus pada artis penyanyi solo dan boyband yang sedang diminati pasar kala itu sehingga artis seni peran kurang tertangani.

Razka yang merupakan satu-satunya artis seni peran yang dinaungi manejemen tersebut tidak mengalami perkembangan yang berarti dalam kariernya. Menyadari hal itu dan setelah melihat kegigihan Alana dalam bekerja, akhirnya Pak Gani memberi kepercayaan pada Alana untuk menghadle Razka. Ia pun memberi keleluasaan apakah mau tetap di bawah naungannya atau mau berjalan sendiri.

Razka dan Alana sepakat untuk lepas dari Pak Gani. Berbekal pengalamannya selama menjadi asisten Pak Gani, Alana pun memulai perjuangannya. Segala trik yang ia pelajari dan amati dari Pak Gani ia praktikkan. Ditolak berkali-kali dan diremehkan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Alana dalam mencari peluang untuk Razka. Panas-panasan dan berdesakan di tempat casting pun bukanlah hal yang asing lagi. Walaupun begitu ia dan Razka tidak mudah menyerah.

Tidak hanya gigih dalam mendapatkan kontrak, Alana pun turut andil dalam peningkatan kualitas Razka sebagai seorang entertainer. Ia mencarikan guru untuk belajar akting, public speaking, dan juga modeling untuk meningkatkan nilai jual artisnya. Ia memoles Razka sedemikian rupa sehingga sesuai dengan permintaan pasar.

Perjuangan itu pun berbuah manis. Tidak butuh waktu lama, Razka menjelma menjadi idola baru. Silih berganti tawaran datang. Baik untuk iklan, bintang tamu talk show, pemotretan, peragaan hasil rancangan desainer kawakan, hingga bermain film dan sinetron.

Berawal dari mengagumi dan saling membutuhkan, akhirnya benih-benih cinta pun tumbuh di antara mereka.

“Hai Alana, kok di sini?” Sapaan itu berhasil membuat Alana kaget. Ia menoleh ke samping. Seorang wanita berpakaian formal memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya?

“Eh, Kak Intan. Aku habis meeting sama Pak Jodi,” jawab Alana sambil menyimpul sebuah senyum.

“Aku kira tadi yang bersama Razka itu kamu.”

“Emangnya lihat di mana?”

“Di acara peluncuran produk kecantikan Hanara, di hotel sebelah. Aku cuma melihat Razka sepintas aja, sih. Sepertinya dia buru-buru tadi.”

“Oh.”

“Kalau kamu di sini, berarti yang sama Razka tadi siapa? Reana?” Pandangan Intan menyiratkan rasa penasaran. “Kamu dan Razka baik-baik aja, kan?”

Alana hanya membalas dengan senyuman dan sedikit anggukan. Kemudian gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Melihat gelagat Alana, Intan paham kalau Alana tidak nyaman dengan pembicaraan itu.

“Kamu udah selesai di sini atau masih ada keperluan?” Intan yang merasa tidak enak hati mancoba untuk mengalihkan pembicaraan.

“Masih ada sedikit urusan lagi. Kak Intan sendiri?”

“Aku ada janji ketemu produser sebentar lagi. Ya udah, aku tinggal dulu ya. Mau ngecek reservasi dulu.” Intan meninggalkan Alana yang masih betah bersandar pada mobilnya.

“Kamu sudah sangat keterlaluan, Razka,” lirih Alana.

Kali ini Razka benar-benar berhasil mengacak-acak perasaannya. Razka terang-terangan menemani Reana di depan publik. Di mana sorot kamera wartawan akan tertuju pada mereka. Alana merasakan sesak di dadanya. Ia kesal, marah, dan juga cemburu.

“Ini tidak boleh terjadi, Razka. Akulah yang seharusnya di sisi kamu,” gumam Alana sambil memasuki mobil kemudian memacu kendaraan roda empat itu membelah jalanan ibu kota.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status