Carissa menundukkan wajahnya, tak mau menatap wajah ibunya lantaran keputusan yang akan mereka buat saat ini. Bagaimana dia akan meninggalkan rumahnya karena rumah yang telah ia tinggali selama lima belas tahun disita oleh pihak bank karena utang ayahnya.
Ayahnya yang tak sanggup membayar utang tersebut hanya pasrah dan meminta pengertian pada istri dan anaknya untuk mau tinggal sementara waktu di rumah paman mereka yang termasuk dalam keluarga berada.
Berbeda dengan ayahnya, pamannya adalah orang kaya di mana memiliki sebuah toko furniture yang sudah besar dan banyak cabang di Indonesia.
"Ayah mohon Ris," pinta ayahnya pada Carissa.
"Tapi Yah, itu artinya Carissa akan meninggalkan rumah ini dan sekolah juga?" tanya Carissa masih dengan mata yang basah. Dia tak ingin meninggalkan sekolahnya juga teman-temannya yang ada di sekolah saat ini.
"Maafin ayah Nak, nanti ayah pasti akan beli rumah lagi," kata ayah Carissa. Hingga Carissa pun tak bisa menawar lagi. Itu sudah keputusan bulat keluarganya jadi dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dan keesokan harinya mereka sudah tiba di sebuah rumah besar yang jauh dari kata sederhana. Sangat mewah dan terlihat jika pamannya itu adalah benar orang kaya.
Rumah dengan dua lantai, lalu halaman yang luas. Bahkan rumah tersebut ada juga kolam renang di dalamnya.
Carissa memandang ayahnya dari samping. "Kenapa ayah gak pinjam uang dari Paman aja?" tanya Carissa masih tak mengerti.
Padahal bisa saja ayahnya meminjamnya sebentar lalu mengembalikannya nanti.
Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Utang ayah terlalu besar."
"Jadi artinya ayah gak akan pernah bisa membayar utang itu?" tanya Carissa lagi. Dia sendiri yang mengatakan jika utang ayahnya sangat banyak. Jika Pamanya saja enggan meminjaminya jadi mana mungkin dia sendiri akan mampu melunasinya.
Carissa sudah putus asa dengan takdirnya. Mungkin dia bisa keluar dari rumah itu setelah dia sudah bekerja nanti.
Ibunya sudah berencana akan bekerja di toko Pamannya itu sedangkan ayahnya juga sama. Dan mereka akan diberikan gaji oleh pamannya itu sendiri.
Paman Carissa adalah adik angkat ayahnya. Jadi hal itulah mungkin yang membuat ayahnya malu untuk meminjam uang pada Rian, pamannya.
"Udah ayo masuk," ajak ayah Carissa. Langkahnya ragu seakan ia tak akan tinggal lama di rumah itu.
Di dalam rumah itu masih ada seorang perempuan yang tak lain adalah Rossa, anak dari Rian. Ia tidak memiliki ibu saat ini karena meninggal tiga tahun yang lalu lantaran penyakit yang dideritanya.
Pamannya sudah menduda selama itu dan belum memikirkan untuk menikah lagi karena Rossa tak ingin memiliki ibu baru.
Lama menunggu, seorang pembantu membukakan pintu rumah tersebut. Melihat ketiga orang berdiri di depannya, ia langsung tahu jika mereka bertiga adalah kerabat dari majikannya.
"Pak Rian udah bilang tadi pagi, kalau kerabatnya ada yang akan datang," kata pembantu tersebut. Ia kemudian mengajak mereka bertiga menuju ke sebuah ruangan khusus untuk mereka bertiga tempati.
Ruangan yang berada di belakang dekat dengan kamar pembantu.
"Kamar ini sudah dibersihkan, dan kalian tinggal menggunakannya saja," katanya membuka dua pintu kamar satu per satu.
"Carissa mau di kamar ini aja ya Yah!" seru Carissa ia memilih sebuah kamar yang lebih besar dari satunya. Dengan kasur tebal dan juga lemari putih cantik di dalamnya.
Ada sebuah jendela di salah satu sisi kamar, yang jika dibuka maka akan terlihat pemandangan kolam renang rumah tersebut.
Carissa memandang takjub pemandangan itu, jauh sekali dari rumahnya yang kecil yang berada di sebuah gang sempit.
"Kayaknya kamu bakalan betah di sini ya, Ris," kata ayahnya pada Carissa yang sedang melihat ke arah luar jendela.
Carissa diam, dia belum memutuskanya sekarang.
"Ayah dan Ibu akan di kamar sebelah, setelah itu ayah akan pergi sama Ibu ke toko paman kamu ya."
Carissa mengangguk. Dan menatap kepergian ayah dan ibunya menuju kamar yang ada di sampingnya.
Ia kemudian duduk di kasur single itu sendirian. Sambil menatap atap kamarnya yang tinggi. Kamar yang sepertinya akan nyaman untuk ia tempati. Tak akan takut jika hujan lebat turun dan membanjiri kamarnya.
Carissa lalu membaringkan tubuhnya. Rasanya sangat lelah setelah berada di perjalanan selama enam jam di dalam mobil. Ia memutuskan untuk tidur di dalam kamar itu.
Lama ia tertidur, seperti ada tangan yang menggerayangi tubuhnya. Namun Carissa tak bisa membuka matanya karena terlalu berat. Rasanya seperti tindihan—tapi bukan itu.
Ia kemudian membuka matanya dengan napas terengah-engah dan keringat yang mengucur di sekitar wajahnya.
"Cuma mimpi," kata Carissa pelan. Ia melihat jam di dinding dan sudah menunjukkan pukul dua siang. Sudah dua jam dia tidur di dalam kamar itu.
Kemudian ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya, lalu beranjak menuju dapur dan melihat seorang perempuan yang tak lain adalah Rossa. Anak yang seumuran dengannya.
"Udah bangun Ris," sapa Rossa sedang memakan makanannya bersama dengan seorang pria yang tak lain adalah ayahnya.
"Udah bangun?" Pria itu tersenyum pada Carissa, senyum yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ia sudah lama tak bertemu dengan pamannya Rian sejak sepuluh tahun terakhir. Yang artinya dia sudah tak bertemu dengan pamannya itu ketika ia berumur lima tahun.
"Udah Paman," jawab Carissa.
"Sini makan bareng," ajak Rian pada Carissa. Dan karena Carissa lapar dia langsung berjalan saja ke meja makan yang lengkap dengan makanan yang sangat lengkap empat sehat lima sempurna.
"Udah lama kita gak ketemu, kamu udah gede ya." Pamannya menatap Carissa yang duduk di depannya.
"Ya iyalah Pa, Ocha sama Rissa kan seumuran," sahut anaknya.
"Iya juga ya." Rian tersenyum.
"Makan yang banyak Ris, ayah sama ibu kamu pulang masih nanti malam, jadi kamu jangan khawatir. Kamu bisa main sama Ocha, kalian kan seumuran jadi pasti nyambung."
Carissa hanya mengangguk lalu melahap makanannya.
"Papa mau ke mana abis ini?" tanya Rossa pada Rian.
"Tidur siang, Papa ngantuk."
Dalam hati Carissa sepertinya enak menjadi Rian, pamannya. Pulang dari toko kapan saja dan setiap bulan dia bisa menerima banyak uang dan tak perlu bersusah payah.
"Kalau gitu Ocha mau berangkat les abis ini, Ris ntar sepulang les aja ya kita mainnya. Aku ada les soalnya," kata Rossa.
"Iya santai aja Cha."
Carissa tersenyum kaku, mereka berdua hidup dalam gelimang harta tapi tidak pada keluarganya. Rasa iri itu muncul dari dalam hati Carissa saat ini.
Ia kembali masuk ke dalam kamarnya karena tak tahu harus melakukan apa saat ini.
Dia masih bingung dengan keadaan yang tiba-tiba berubah drastis seperti ini. Menjadi seseorang yang menumpang hidup di rumah orang lain.
Hanya ada tiga orang di rumah besar itu saat ini. Yaitu Carissa, Rian dan pembantu. Karena Rossa sedang pergi berangkat les dan orang tua Carissa pergi bekerja.Carissa yang merasa badannya sangat lengket siang itu memutuskan untuk mandi di dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Jika di rumahnya kamar mandi hanya ada satu dan itu pun ada di luar ruangan. Tapi di rumah Rian kamar mandi ada di dalam kamarnya dengan luas dua kali lipat dibandingkan rumah sebelumnya.Carissa mandi seperti biasa. Tak merasakan ada keanehan ketika ia berada di dalam kamar mandi. Tapi ia terkejut setengah mati ketika melihat Rian sudah duduk di tepi ranjangnya dan melihat ke sekitar kamarnya.Saat itu ia hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya. Membuat Carissa memekik tanpa sadar."Paman ke sini cuma mau ngasih kamu ini, Ris." Rian memberikan baju baru untuk Carissa. Tapi meski bagaimanapun Carissa pasti r
Carissa masih merasa sangat asing di sekolah barunya. Dia masuk ke dalam sekolah itu ketika sudah pertengahan semester.Dan hal yang membuat Carissa tak nyaman bukan hanya itu saja, melainkan siswa lain yang nampaknya dari kalangan orang kaya. Mungkin bisa dikatakan jika 90 persen murid di sana adalah anak orang kaya dan sisanya kelas menengah ke bawah.Carissa menghela napasnya ketika duduk di pinggir lapangan basket. Sebelum akhirnya ia terkejut begitu melihat ada bola yang menggelinding ke arahnya."Anak baru! Lempar ke sini!"Carissa menyipitkan matanya, dan melihat Daniel sedang bermain basket dengan teman satu kelasnya.Dia mencoba melemparkan bola basket itu, meskipun lemparannya sangat lemah hingga membuat Daniel harus berjalan beberapa langkah lagi untuk mengambil bola tersebut.Setelah melemparkan bola itu, Carissa kembali ke dalam kelasnya. Dia mendengarkan apa kata
Beberapa minggu Carissa tinggal di rumah Rian. Dia masih terasa asing di sana.Bahkan perlakuan baik dari Rian terkadang membuatnya risih. Seperti ketika makan malam beberapa hari yang lalu.Ketika Rossa hendak meraih ayam panggang yang ada di dekatnya. Secara halus ayam itu malah diberikan pada Carissa di depan matanya sendiri.Carissa benar-benar tidak enak. Apalagi ketika melihat raut Rossa berubah menjadi masam. Pasti dia kecewa pada ayahnya.Carissa benar-benar tak mau membuat Rossa tak nyaman. Dan menganggap Carissa merebut ayahnya darinya."Perhatian banget sama Carissa," sindir Rossa."Kamu kan udah tiap hari makan ayam. Memang kamu gak bosan?" tanya Rian."Ayah gak tau memangnya, kalau ayam itu kesukaan Ocha?!"Karena merasa tak enak. Akhirnya Carissa mengembalikan ayam itu ke dalam tempatnya lagi. Tapi sudah
Rossa rupanya tidak pergi ke tempat les. Dia hanya pergi ke rumah Daniel tanpa sepengetahuan ayahnya."Kak Daniel!" panggil Rosa ketika melihat Daniel keluar dari rumahnya.Rosa menghampiri lelaki yang menatapnya dengan wajah penuh tanya tersebut."Kenapa?""Kakak mau ke mana?" tanya Rosa. Berharap dia akan diajak pergi oleh Daniel."Main basket," jawab Daniel dingin."Aku ikut!"Daniel melirik jam di tangannya. "Bukankah kamu seharusnya pergi les?" tanyanya yang seakan sudah tahu jadwal harian Rosa."Aku bolos hari ini. Oh ya, aku mau minta kakak buat jadi guru les aku, kira-kira mau gak?" Rosa bertanya. Menjadikan Daniel guru les adalah salah satu hal yang bisa membuatnya dekat secara wajar dan alami."Tapi bayaranku gak murah.""Bisa diatur," sahut Rosa cepat-cepat. Lalu membiarkan Daniel pergi dengan sepeda moto
"KALIAN MAU PACARAN ATAU BELAJAR SIH?!" sentak Rossa membuat Daniel dan Carissa menoleh. Terkejut.Carissa berdiri diikuti oleh Daniel yang menatap kedua wajahnya secara bergantian."Tadi aku sampai bela-belain buat ke rumah Kak Daniel, buat minta jadi guru les privatku. Tapi kakak nolak, dan sekarang tiba-tiba malah di sini, ngajar sepupuku sendiri." Rosa menangis, sudah menahan kesal dia juga menahan rasa cemburunya.Sudah lama dia berada di ambang pintu tanpa disadari oleh kedua orang itu. Tapi lama-kelamaan malahan pemandangan tersebut membuat Rossa patah hati."Karena ini yang nyuruh ayah kamu," jawab Daniel santai. Ia tak menunjukan kepanikan atau apapun, karena dia merasa jika dirinya benar."Oh gitu? Kakak lebih suka sama cewek yang baru kakak kenal, dibanding sama aku yang sudah lama suka sama kakak!"Kalimat itu meluncur begitu saja, antara malu dan
"Aahhh!!" pekik Carissa ketika melihat ada bangkai tikus di dalam lacinya. Dia tak sengaja memegangnya ketika berusaha mengambil buku yang ada di dalam laci.Carissa berusaha membuang bangkai tikus itu sendirian. Dengan menggunakan kertas yang ia robek dari bukunya.Rossa yang melihat dari kejauhan hanya terkekeh geli karena semua itu adalah perbuatannya."Setelah merebut perhatian ayah, sekarang berusaha merebut perhatian dari Daniel," desis Rossa.Sebelumnya …Ketika dia melihat sepupunya yang sedang makan di kantin, dia pun langsung melancarkan serangan.Dia menyuruh Saipudin yang bucin padanya untuk meletakan bangkai tikus di dalam laci Carissa."Dari mana aku dapat bangkainya, Cha?!" tanya Udin dengan frustrasi,"Sama Pak Bon, pasti dia ada," jawab Rossa. "Pokoknya taro aja di laci Carissa."Dan akhirnya dia menuruti perintah d
Rossa semakin membenci Carissa, terlebih ketika mengetahui jika gadis itu nampak semakin dekat dengan Daniel, dan karena itu lah Rossa semakin memusuhinya tak hanya di sekolah tapi juga di rumah.Ibu Carissa sama sekali tidak tahu, karena waktunya selama seharian ia habiskan di tempat kerjanya. Dia hanya tahu jika anaknya itu lebih bahagia dibanding dengan kehidupan sebelumnya."Sekolah kamu lancar kan, Ris?" tanya ibunya ketika malam itu melihat anaknya masih terjaga dan terpekur di meja belajar.Dia berusaha memahami pelajarannya karena tak ingin membuat Daniel susah."Lancar, Bu," jawab Carissa sambil menatap wajah ibunya yang nampak letih tersebut. "Ibu tidur aja, Carissa masih mau belajar.""Hubungan kamu sama Rossa, baik-baik aja kan?" Entah mengapa ibunya tiba-tiba bertanya seperti itu pada Carissa.Tak seperti biasanya juga dia masuk ke dalam kamar anaknya hanya untuk bertan
Daniel mengatakan hal itu bukan tanpa sebab, karena setiap hari dia melihat bagaimana pamannya memperlakukan Carissa sangat aneh dan berlebihan.Dan ia ingin membawa gadis itu pergi dari rumah itu nanti, setelah dia sudah menjadi seseorang yang membuat Carissa bisa hidup dengan nyaman.Seperti waktu itu ketika Daniel datang untuk memberikan les untuk Carissa. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Rian memperlakukan Carissa bukan seperti layaknya keponakannya sendiri."Permisi," sapa Daniel ketika dia sudah berada di ruang tamu.Carissa yang berada di dapur dan tepat di belakangnya ada Rian, langsung menoleh. Wajah keduanya tegang, Rian gugup sedangkan Carissa takut."Oh, kamu sudah datang rupanya," sahut Rian dengan gugup. Ia tersenyum canggung dan menatap keduanya bergantian."Sana Carissa, jangan buat Daniel menunggu lama," kata Rian. Dia mendorong punggung Carissa pelan.