Brut! brut!
Fafa berusaha melepaskan dekapan Ian, sedangkan Ian sendiri sibuk membekap hidung Fafa. Keduanya berpandangan. Sejurus kemudian tertawa terbahak.
"Bau, Sayang. Tutup hidungnya."
Ian terus berusaha menutup hidung Fafa. Karena takut jatuh, Fafa memaksa turun dari atas kursi roda. Fafa tertawa terpingkal-pingkal, hingga langsung duduk di lantai. Ian menyaksikan itu-takjub. Ternyata yang membuat istrinya tertawa adalah hal-hal sederhana, walaupun di sini Ian yang tampaknya dipermalukan. Bahkan Ian tidak menyangka jika hanya dengan dirinya buang angin, bisa membuat Fafa bisa tertawa seperti itu. Dia berfikir, Fafa akan menunjukkan ekspresi tidak suka. Ternyata justru tertawa, entah apa yang dianggap lucu oleh gadisnya. Setelah tawanya mulai mereda. Perlahan Fafa mendekati Ian, mengendus area bawah Ian.
"Nggak bau, By. Berarti bukan BAB, ini hanya kentut aja," ucap Fafa tersenyum geli.
"Kentut?" tanya Ian.
"Kentut sama dengan buang ang
"By ... By ...! seru Fafa panik.Fafa terus memanggil Ian sembari menangis. Ian semakin tidak tega melihatnya, langsung berpura-pura gelagapan dan tangannya berusaha memegang badan Fafa. Dia merasakan Ian mencengkeram lengannya. Fafa langsung membantu Ian menggeser badan ke atas. Bagaimana bisa Fafa melupakan fakta jika Ian tidak bisa mengendalikan bagian pantatnya tegak menopang tubuh bagian atas."By ...! Syukurlah." Fafa langsung memeluk erat Ian dengan sisa-sisa tangisannya. Dia lupa dengan kondisi tubuhnya. 'Ah, begini rasanya dipeluk dari depanHangat dan aagghh luar biasa. Hai kau yang di bawah sana, cepatlah bagun dan mengganaslah!' batin Ian senang.Sore ini acara mandi terlama yang pernah dilakukan Ian. Bagaimana tidak lama? Mandi bersama istri. Ingatkan Ian untuk wajib memasukkan kegiatan ini di list harian. 'Jul, aku harus memberimu bonus. Tahapan terapi-mu, membuatku menang banyak mulai sekarang,' batin Ian puas. Ian sudah membayang
"Kak, Kak Fa!" panggil Ikhsan."Sudah jangan menangis, Sayang. Habiskan makananmu!" perintah Ian, sesaat setelah menghapus air mata Fafa.Ketiganya makan malam dalam diam. Ikhsan merasa bersalah dengan ucapannya tadi. Dia harus melakukan itu, agar Fafa tidak terlalu kepikiran. Bagaimana pun dia laki-laki, jika sekarang harus tinggal sendiri di Kediri tidak ada masalah. Ikhsan sadar cepat atau lambat dia pasti segera berpisah dengan Fafa. Apalagi kakaknya sekarang berstatus istri.Selesai makan malam, Ian memanggil Rusdi dan Tini untuk segera datang ke rumah utama. Ian berencana membicarakan masalah ini dengan mereka karena posisi Rusdi kerabat dan wali Ikhsan. Di sinilah sekarang, mereka berkumpul dan duduk di sofa ruang tengah. Ian memerintahkan Tini membuat minuman hangat dan membawa camilan."Paman, aku ingin membicarakan soal Fafa dan Ikhsan yang besok sore balik. Sayang, bicaralah!" pinta Ian lembut.Semua pandangan mata tertuju pada Fafa. Hati Faf
"Paklik, By ...!" seru Fafa.Rusdi setengah berlari mengambil tas kecil di dalam nakas. Dia segera mengambil alat injeksi yang sudah terisi obat penenang dan langsung mengarahkan di lengan Ian. Fafa terus memeluk tubuh Ian dan terus mengelus punggungnya. Fafa merasakan tremor badan Ian perlahan menghilang hingga tubuh Ian total lunglai. Fafa di bantu Rusdi segera membaringkan tubuh Ian."Sudah, Nduk. Mas Ian sudah tenang.""Apa sering seperti ini, Paklik?" tanya Fafa."Sudah tidak pernah beberapa tahun terakhir ini. Entah kenapa sekarang seperti ini lagi."Fafa terus berada di samping Ian. Dia memandang lekat suaminya. Apa yang membuat Mas Ian seperti ini."Nduk, paklik keluar dulu ya," ujar Rusdi."Iya makasih Paklik."Fafa segera merebahkan diri di samping Ian, lalu menggeser tubuhnya merapat dan menghadap ke tubuh Ian yang tidur dalam posisi terlentang. "Sebenarnya apa yang terjadi padamu, By. Penderitaan seperti apa yan
Pintu perlahan terbuka. Seorang perempuan langsung menerobos masuk. "Rusdi .... Mana bocah nakal itu, hah!" seru perempuan itu. Rusdi terkejut. "Nyonya Hi-Hinata!" ujar Rusdi. "Iya, mana keponakanku itu?" tanyanya. "Maaf, Nyonya Nata sekarang ini Tuan Muda sedang kurang sehat," jawab Rusdi. Ian memejamkan mata, kala mendengar suara perempuan masuk. Dia bersiap untuk menerima amarah dari Nata. Perempuan itu adalah Hinata. Dia adik satu-satunya mendiang Anya. Saat pernikahan Ian, dia batal datang karena bandara Tokyo di tutup ada badai. "Heh, Ric. Mana istrimu!" teriak Nata-Andrian biasa dia panggil Ric. "Bi, sudahlah. Dia ada di dapur, jangan marahi aku sekarang." Nata memperhatikan seksama keponakannya ini. Wajah lelah Andrian tidak dipungkiri membuatnya sedikit takut. Andrian adalah satu-satunya kerabatnya. Tiba-tiba rasa takut kehilangan menyeruak di hati Nata. Dia perlahan mendekati Andrian dengan eks
"Please ...!" pinta Fafa. Melihat Ian tertawa, entah kenapa tiba-tiba Fafa menjadi sangat jengkel. Saat hendak turun dari pangkuan Ian, lengan Fafa di cengkram kuat."Siapa yang memberimu ijin turun!" tegas Ian. Dia langsung menjatuhkan Fafa di sampingnya."Jangan pergi dulu, di sini saja. Pagi ini, mungkin saja pelukan kita yang terakhir," ucap Ian pelan sembari menempelkan puncak hidungnya ke pipi Fafa. Entah kenapa perasaan Fafa menjadi tidak enak mendengar ucapan Ian."By," panggil Fafa. Ian memalingkan wajahnya.Fafa langsung naik dan duduk di atas badan Ian. Entahlah, dia dapat keberanian dari mana. Saat ini yang terpenting adalah Ian harus memberi penjelasan atas ucapannya tadi. Ian terkejut saat Fafa naik ke atas tubuhnya. Dia secepat mungkin menormalkan ekspresi wajah terkejutnya. Fafa langsung menangkup rahang Ian dengan kedua telapak tangannya."By, lihat sini!" pinta Fafa. Ian mengabaikan, dia malah memejamkan mata. Fafa yan
"Batang punggung bawahku nyeri, belum lagi tulang ekorku. Ra-," adu Ian. Dia tidak habis pikir kenapa rasa nyeri ini kian menjalar ke mana-mana."Benarkah?" tanya Fafa tak percaya dan memotong ucapan Ian. Fafa langsung meletakkan piring di atas nakas. Dia teringat jika Ian lumpuh mulai pinggang ke bawah. 'Harusnya dia tidak merasakan nyeri, tapi kenapa sekarang merasa nyeri?' batinnya. Fafa langsung memeluk Ian dan mengelus punggungnya."Mana yang sakit? Apa di sini?" tanya Fafa mengelus punggung bawah Ian hingga daerah pantat. Bagaimana? Apa masih nyeri?" tanya Fafa. "Iya, sekarang sedikit nyaman," jawab Ian pelan saat merasakan elusan telapak tangan Fafa. Ian belum menyadari jika yang dielus Fafa adalah bagian punggung paling bawah hampir tulang ekor."Bukankah ini tulang ekor?" tanya Fafa dengan menekan lembut. "I-, hah!" Ian terkejut, lalu melepaskan pelukan dan menatap tak percaya kepada Fafa. Seketika Fafa tersenyum dan mengangguk, Ian tersenta
"Nyonya Aldric Andrian!" seru Ian penuh penekanan."Ba-baik By, jangan marah. Ini Fafa terima. Terima kasih," jawab Fafa gugup. Andrian tampak puas dengan sikap Fafa.Tak lama kemudian terdengar daun pintu di ketuk. Fafa langsung duduk di samping Andrian. Setelah pintu kamar terbuka otomatis, Rusdi dan Ikhsan masuk disertai mengucap salam. Keduanya menuju ke samping ranjang Andrian."Kak, San balik Kediri dulu," pamit Ikhsan sembari mengecup punggung telapak tangan Andrian."Hhmm, jaga istriku!" perintah Andrian."Siap Kak, in syaa Allah.""Mas Ian, paman berangkat dulu.""Hhmm."Keduanya langsung keluar kamar. Sekarang tinggallah Andrian dan Fafa."Berangkat sekarang, hhmm.""Iya, By." Fafa langsung menubruk Andrian. Andrian mengelus rambut panjang Fafa."Sana pake kerudungmu!" perintah
David mendekati Frans, kemudian menepuk bahu sahabatnya itu. "Nasib cinta lu, udah ...," ucap David menggantung. Dia merasakan bahu kanan di pukul. "Mami Dai!" seru David kaget. Dia tidak menyangka jika Daisy mendengar ucapannya tadi. Daisy setelah mendengarkan ucapan Fafa tadi berniat mendekati dan menenangkan Frans, akan tetapi dia mendengar David yang mulai berbicara soal Fafa. Daisy refleks memukul bahu David agar menghentikan ucapannya. David langsung menjauh dan memberikan ruang untuk Daisy menenangkan Frans. David kejam, memang benar itu. Dia hanya tidak ingin Frans masih mengharapkan Fafa. Dia tidak sedang membela siapa-siapa, Frans dan Ian adalah sahabatnya. Dia dan Reynan sangat paham sampai sekarang Frans masih menginginkan Fafa, walaupun di mulutnya Frans akan menghapus rasa suka. 'Rumit. Itulah kenapa aku tidak mau melibatkan diri dengan perempuan, menyusahkan saja,' bati