Share

My Mate by Trouble
My Mate by Trouble
Author: Ascorpens

Awal mula

"Ananda Fino! Berulang kali sudah saya peringati, jika tidak ingin mengikuti mata kuliah saya, Anda bisa keluar dari kelas!" seru Raline. Wanita dengan blouse merah maroon tersebut memandang penuh jengkel satu-satunya mahasiswa yang sedang bermain game di tengah kelas yang hening.

Sementara pemuda bernama lengkap Arbelio Fino Desaga itu justru semakin asik bermain game online di ponselnya. Ia bahkan mengangkat satu kakinya diatas meja, seolah menantang sang Dosen.

Raline menarik napas kesal. Ia mengetuk jemari diatas meja beberapa saat sebelum mengayunkan tungkai jenjangnya menuju tempat duduk Fino. Raline memandang pemuda tersebut sebelum merebut ponselnya dan melemparnya ke lantai. Bunyi ponsel Fino yang beradu dengan lantai membuat semua orang terkesiap. Tak terkecuali Fino, bola mata pemuda itu nyaris keluar begitu melihat ponsel mahalnya tergeletak tak sempurna dengan garis retak di kaca.

"Kenapa Ibu lempar hp saya?!" tanya Fino seraya bangun dari duduknya, bola matanya menghunus ke arah Raline dengan alis menukik tajam.  

Alih-alih membalas tatapan Fino sama tajamnya, Raline justru memberikan muka datar sambil mengunci bibir. Fino berdecak kesal sebelum menunduk, memungut ponselnya, jemarinya mengelus pelan bekas retakan di ponselnya. Fino mengangkat ponselnya yang mati ke depan wajah Raline, ia menunjukan layarnya yang pecah.

"Ibu lihat, hp saya pecah gara-gara Ibu. ini hp mahal, Bu! Ibu gak mungkin bisa ganti! Ibu harus tanggung jawab, balikin hp saya kayak semula!" 

Raline masih bergeming, setia dengan wajah datarnya.

"Bu!" teriak Fino yang merasa diabaikan. Matanya berpendar melihat sekitar dimana teman-temannya memandangnya geli. "Apa lo liat-liat?!" Fino menggeram rendah, napasnya tersengal menahan kesal. "Ibu! Ibu budek, ya?!"

Raline menghela napas sebelum menyilangkan lengan di dada. Sudut bibirnya tertarik tipis. "Gimana rasanya diabaikan ucapan kamu? Gak enak, 'kan? Sama kayak saya. Makanya, kalau gak mau diperlakukan buruk jangan pernah perlakukan orang dengan buruk. Dan soal ponsel, kamu bisa meminta ganti rugi jika orang tua wali kamu sudah ada di hadapan saya," tukas Raline lantas berbalik meninggalkan Fino yang menggeram kesal.

...

Detak jarum jam mengisi sunyi di ruangan bernuansa putih biru itu. Desau air conditioner terasa menyejukan, sedikit meringankan lelah yang merayap di tubuh seorang pria yang tengah terpejam di kursinya. Lelah yang teramat sangat dirasakan pria dengan jas snelli itu. Hembusan napasnya tidak teratur. Dia tidak tertidur.

Lelah bisa terbaca begitu jelas oleh siapa pun jika melihat pria bernama lengkap Ardelio Rana Desaga. Ada sekitar enam kali operasi yang dilakukannya hari ini. Pekerjaan yang digelutinya semakin membuat ia tak memikirkan kesehatannya sendiri. Makan dan tidur tidak teratur, lihat saja lingkaran hitam di bawah matanya, tentu saja karena Rana hanya menghabiskan dua jam untuk tidur.

Dering nyaring ponsel di saku celana membuat Rana sedikit tersentak dari istirhatanya. Bola mata coklat pekat itu terbuka lalu mengerjap cepat. Bersegera ia mengangkat panggilan telepon yang ternyata dari sang adik.

"Kenapa?"

"Lo dimana, Bang?"

"Rumah sakit." Rana kembali terpejam. Satu tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri.

"Bisa ke kampus gue nggak? Ada masalah, nih."

"Masalah apa lagi? Gue rasa tiap hari lo buat masalah, Fin. Gue gak bisa, lo telepon aja tukang kebun."

"Hp gue dibanting sama dosen gue nih, lo aja lah yang datang, ya?"

Perkataan sang adik di sebrang sana sontak membuat Rana membuka matanya. Ia menegakkan punggung. "Hp yang mana? Jangan bilang yang ...."

"Iya, yang itu. Yang dibeli Papa bulan kemarin."

Rana memejamkan mata, mengurut plipisnya yang berdenyut nyeri.

"Kalo gue bawa Kang Dude sama aja bego. Dia mana bisa bohong jadi orang tua wali gue. Lo tahu sendiri jujur itu moto hidupnya dia."

Rana melirik jam dinding. "Lo tunggu di situ, lima belas menit gue sampai disana," ujarnya sebelum mematikan sambungan telepon. Rana menyambar kunci mobil di meja dan mengganti jas snelli-nya dengan jas hitam yang digantung. Rana kemudian melangkah lebar keluar dari ruangannya.

"Woy, Ran! Mau kemana lo?"

Rana melihat seorang wanita dengan jas snelli melambai seraya berjalan ke arahnya.

"Ada urusan, Nor," sahut Rana.

Wanita dengan rambut diikat ke atas itu tersenyum lebar. "Fino bikin masalah lagi, ya?"

Rana menghela napas sebelum mengangguk. "Ya, seperti biasa."

"Ck, anak itu ya. Gue rasa lo kayak lagi ngurus anak TK tau gak. Fino tuh kayaknya gak pernah mau dewasa, sukanya repotin lo mulu," gerutu Nora.

"Ya mau gimana lagi Nor, udah kewajiban gue juga ngejagain dia."

Nora mencibik. "Iya, saking ngejagain dia, lo sampai lupa sama diri lo sendiri. Tuh liat, muka lo pucet banget kayak mayat hidup."

"Ada kecelakaan beruntun tadi malam, semua korban dilarikan ke sini. Gue sampai subuh harus siap di UGD karena rata-rata korban lukanya cukup parah."

Nora memuta bola mata, jengah. "Ya ya, Dokter Rana yang sangat profesional, terimakasih informasinya." Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak plastik berukuran kecil dari kantong jas snelli-nya. "Nih, vitamin buat lo. Jangan sampai gak di minum."

Rana tersenyum kecil. "Makasih."

Nora mengulum bibir. "Jadi gimana? Udah cocok belum gue jadi istri lo? Biar dapat vitamin gratis tiap hari." Ia menaik-turunkan alisnya.

Rana justru terkekeh pelan. "Lo ini ada-ada aja. Kalau gitu gue pergi dulu. Oh ya, tolong beritahu Mahaesa untuk periksa kamar 104, pasiennya ada keluhan tadi. Sekali lagi makasih," ucap Rana sembari mengangkat vitamin ditangannya sebelum bergegas pergi.

Senyum Nora yang menggiring kepergian Rana perlahan lenyap. Bibirnya mengerucut sebal. "Dasar gak peka!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status