Share

Pertengkaran sengit

Mobil SUV milik Rana akhirnya terparkir di depan gedung Fakulitas Ekonomi. Pemilik mobil tersebut turun lalu melihat sekitar sambil berkacak pinggang. Ini kali pertama Rana menginjakan kakinya di kampus Fino.

"Woy, Bang!"

Rana menoleh ke sumber suara. Pria dengan bomber jacket  yang baru saja keluar langsung berlari menghampirinya.

"Dimana ruangan Dosen lo?" tanya Rana. 

"Ayo ikut gue."

Rana mengikuti langkah Fino, berjalan melewati koridor kampus. Sepanjang perjalanan Rana merasa berada di rumah sakit jiwa. Ia merasa risih dengan pekikan tertahan di sepanjang koridor. Jika tidak mengingat ini adalah kampus Fino, sudah sejak tadi ia akan memberikan tatapan laser pada gadis-gadis tidak tahu malu itu. Bisa-bisanya mereka menggoda Rana.

Fino membawa Rana ke sebuah ruangan dimana terdapat seorang wanita yang tengah berjibaku dengan pekerjaannya. Sebelah alis Rana terangkat, ia tak pernah menyangka jika Dosen Fino adalah seorang wanita yang terlihat begitu muda. Rana yakin, dia bisa saja mengira Dosen itu seusia dengan Fino jika tidak mengetahui latar belakangnya.

"Permisi Bu, saya sudah bawa wali saya." 

Raline melepas kaca mata baca yang menggantung di hidungnya. Pandangannya meneliti sosok disebelah Fino lalu mengangguk sekilas. Setidaknya mahasiswanya itu tidak berbohong seperti tempo hari. Fino waktu itu malah membawa temannya dengan menyamar sebagai orang tua walinya. Pikirkan saja bagaimana Raline tidak kesal pada Fino. Tapi sepertinya, mahasiswanya itu sangat menyayangi ponselnya hingga mendatangkan langsung orang tua wali yang sebenarnya.

"Kamu bisa tunggu di luar, setelah urusan saya dengan orang tua kamu selesai, saya akan langsung mengganti rugi," jelas Raline.

Fino mengangguk patuh sebelum berbalik keluar. Raline tersenyum ramah sejenak, kemudian berjalan menuju mini sofa di depan meja kerjanya.

"Silahkan duduk," ujar Raline seraya menjulurkan tangannya di sofa sebrang. Rana mendudukan diri, tatapan datarnya lurus ke arah Raline. "Begini Pak ... Eum, atas nama siapa kalau saya boleh tahu?"

"Rana." 

Raline mengangguk. "Jadi begini Pak Rana, anak—"

"Adik saya," potong Rana.

Raline mengernyit, iris cokelatnya kembali menyapu penampilan pria dihadapannya. "Adik? Maaf, apa orang tua dari Fino tidak bisa hadir?"

Rana menghela napas sebelum menyilangkan lengannya. "Jangan membuang waktu berharga saya dengan menanyakan hal yang tidak penting. Bicarakan saja masalah apa yang sudah diperbuat Fino." 

Kalimat tegas Rana membuat Raline bergeming sesaat lalu berdeham cepat. "Baik, maaf jika pertanyaan tadi mengganggu Pak Rana. Tapi sebelumnya apa boleh saya tahu usia Bapak?" 

Perlu di pertegas, Raline hanya ingin berbicara masalah Fino dengan orang yang seumuran atau setidaknya lebih tua dari Fino. Bisa saja pria ini ternyata masih seumuran dengan Fino dan mengecoh Raline dengan tampilannya yang mengenakan kemeja serta jas hitam.

Rana mengangkat satu alisnya. Dia rasa wanita ini terlalu membuang waktu. Rana memajukan tubuhnya, meletakan kedua sikunya diatas paha. Matanya menyoroti Raline dengan tajam. "Bagaimana jika saya balik bertanya, berapa usia Anda?" tanyanya setengah berbisik.

Raline mengulum bibir. "Kita lewati saja pertanyaan tadi. Pak Rana benar, kita hanya akan membuang waktu. Ananda Fino, mahasiswa saya yang tak lain adik Anda itu, sudah berulang kali saya menyarankan pada dia, jika tidak ingin mengikuti mata kuliah saya, dia bisa keluar dan tidak perlu mengusik ketenangan kelas. Ini juga yang perlu dikhawatirkan Pak Rana, Fino jarang sekali masuk kelas dan banyak Dosen yang sudah mengeluh mengenai kelakuannya yang semena-mena di kelas."

Rana menarik satu sudut bibirnya. "Tapi bukan berarti Anda berhak membanting ponsel adik saya. Seharusnya Anda berpikir ulang apa yang terjadi dengan adik saya hingga dia malah mengacaukan kelas Anda. Jika saya menjadi Fino, saya juga akan melakukan hal yang sama, buat apa mendengarkan seorang Dosen wanita yang berpenampilan layaknya bocah SMA. Saya mungkin lebih memlilih tidak lulus dari pada harus belajar dari bocah macam Anda."

Rahang Raline terbuka setengah, ia menatap tak percaya pada Rana.

Bocah?

Dirinya?

Raline memang memiliki wajah model baby face, tapi meski begitu dia tidak pernah berperilaku layaknya bocah SMA. Raline merasa ia sudah berpenampilan seperti wanita berumur dua puluh delapan tahun lainnya.

"Mohon maaf Pak Rana, tapi bagian mana dari saya yang membuat Anda mengatakan bahwa saya adalah bocah?" tanya Raline dengan penekanan di setiap kalimatnya.

"Anda bisa berkaca dan Anda akan mendapatkan jawabannya."

Lagi-lagi Raline terperangah, ia mengulum bibirnya. "Begini Pak Rana, wajah saya memang terlihat lebih muda dari Anda, tapi usia saya tidak jauh beda dengan Anda. Dan perlu Anda pahami, penampilan dan wajah saya tidak serta merta ikut andil dalam proses mengajar," tegasnya.

Rana mengangkat bahu tak acuh. "Dalam proses belajar, tidak hanya proses mengajar yang baik yang dapat membuat kita mudah menyerap ilmu, tapi keadaan sekitar dapat berpengaruh besar dalam penyerapan ilmu itu sendiri. Bagaimana kita mau mengerti dan memahami jika yang—"

"Saya bukan bocah, Pak Rana! Umur saya sudah dua puluh delapan tahun!" seru Raline seraya bangkit dari sofa. Matanya menatap nyalang ke arah Rana.

Rana bangun dari duduknya sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku. Ia tersenyum mencemooh sambil memindai penampilan Raline. "Dugaan saya benar. Tidak hanya penampilan Anda yang terlihat bocah, tapi juga sikap dan tata krama Anda, sangatlah tidak sopan dan tidak mencerminkan seorang Dosen yang layak untuk dipatuhi. Tidak heran jika Anda juga melempar ponsel adik saya untuk meluapkan emosi labil Anda." 

"Anda—"

"Terimakasih sudah membuang waktu saya. Lain kali carilah orang yang seumuran dengan Anda untuk meluapkan emosi Anda." Rana memutar tumitnya dan melangkah pergi. Namun ia berhenti dan memutar setengah tubuhnya. "Ah, satu lagi. Anda tidak perlu mengganti ponsel adik saya. Seorang bocah mana mungkin 'kan bisa mengganti ponsel mahal." Rana berlalu setelahnya.

Raline yang sejak tadi bergulung bersama emosi dalam dadanya hanya bisa terduduk lemas. Dia merasa harga dirinya diinjak dengan cara yang paling lucu. Bocah? Raline tidak pernah mengira akan mendapatkan hinaan dari orang tua wali mahasiswanya. Ini pertama kalinya bagi Raline.

Dan untuk pertama kalinya juga dia bertemu dengan lelaki kurang ajar seperti Rana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status