Share

Bab 5. Persiapan Acara Kantor.

Dalam perjalanan menuju kantor, Dean duduk di bangku belakang sambil menatap indahnya kota New York. Melihat para pejalan kaki membuat Dean kembali teringat pada kejadian kemarin pagi saat supir pribadinya melindas air dan membasahi tubuh Kensky. Tawanya lepas saat mengingat kembali tubuh gadis itu basah akibat percikan air kotor.

 

Sang supir yang mendengar tawanya pun dengan cepat menatap Dean dari kaca spion. "Apa Anda baik-baik saja, Pak?"

 

Dean terkejut dan merasa malu. Dengan cepat ia mengubah raut wajahnya kembali datar. "Tidak apa-apa, Matt. Sungguh aku tidak apa-apa." Ia mengarahkan pandangan ke arah jendela. Pikiran yang tadinya diselimuti oleh wajah cantik Kensky, kini tenggantikan dengan masa lalunya yang kelam akibat perbuatan ayah Kensky. Ia menatap tajam. "Kau harus menyaksikannya, Sky! Kau harus menyaksikan bagaimana ayahmu menderita. Kau juga harus menyaksikan bagaimana caranya meyebabkan dua wanita yang paling kucintai."

 

"Pak? Kita sudah tiba," kata Matthew.

 

Dean tersadar dan menatap ke arah toko kue yang ada di sebelah kanan. Dengan cepat ia turun saat Matt membukakan pintu. Seperti biasa, sebelum melangkah masuk, Dean merapikan jas-nya sesaat lalu melangkah cepat memasuki toko.

 

"Selamat pagi. Selamat datang di Lamu Bakery. Ada yang bisa dibantu, Pak?" sapa pegawai toko begitu Dean menghampirinya.

 

"Aku pesan kue ulang tahun," katanya dengan suara berat yang mampu membuat karyawan kemayu itu berdebar-debar.

 

"Baik. Ayo ikut saya, Pak." Pemuda itu mengajak Dean ke etalase di mana letak berbagai macam kue basah. "Ini, Pak, silahkan. Anda bisa memilih model dan ukurannya sesuai selera Anda."

 

Dean melihat berbagai bentuk kue yang terpajang di dalam etalase beserta harganya. Mulai dari bentuk kotak, segi empat, bahkan bentuk karakter binatang juga ada. Ia tersenyum saat melihat kue yang bentuknya bulat. "Aku pesan satu yang ini," katanya seraya menunjuk kue cokelat yang diameternya 26cm dengan tinggi 6cm.

 

"Baik, Pak. Apa ada tulisan khusus untuk kue ini?"

 

"Tidak," sergah Dean, "Tapi apa kalian bisa merangkaikan kata-kata untuk kue ini?"

 

"Dengan senang hati, Pak. Kue ini untuk siapa? Orang spesial atau keluarga Anda?"

 

Dean menggeleng. "Bukan, kue ini untuk ulang tahun kantor. Nama kantornya Kitten Group. Terserah kalian saja akan membuat kata seperti apa, yang jelas jangan lupa untuk mencantumkan nama Kitten Group di kue ini."

 

"Baik, Pak, Anda tenang saja," katanya sambil menunduk paham.

 

"Aku minta kue yang baru, ya? Aku tidak mau yang sudah dipajang seperti ini."

 

"Baik, Pak. Kalau begitu, silahkan melakukan transaksinya. Apa ada lagi tambahan?"

Dean mengucapkan tambahannya lalu menyelesaikan transaksi. "Itu saja."

"Baik, Pak, terima kasih banyak."

 

Dean mengangguk. "Besok anak buahku yang akan mengambil kue ini. Toko kalian tutup jam berapa?"

 

"Jam sembilan malam, Pak."

 

"Baik, aku pastikan anak buahku akan datang sebelum jam delapan malam."

 

"Baiklah, Pak, serahkan saja semuanya pada kami."

 

Dean menangguk lalu pergi meninggalkan toko. Setelah selesai dengan urusan kue, ia pun mulai memikirkan hal apa yang cocok untuk pesta kantor besok.

 

Tak ingin repot-repot, ia melontarkan semua tugas-tugas yang menurutnya repot kepada Matt. "Pastikan restorannya yang enak, Matt. Aku tidak mau karyawan-karyawan perempuan itu membicarakan Kitten Group di belakang layar hanya karena menu makannya yang tidak enak. Kau tahu kan bagaimana mulut Ibu-Ibu di staf marketing dan keuangan?"

 

Matt menahan tawa sambil mengemudi. "Baik, Pak, Anda tenang saja. Aku akan memesan makanannya di restoran langganan Anda."

 

"Bagus. Nanti aku akan menyuruh Mr. Hans untuk mengkalkulasi semua anggarannya lalu mengirim biayanya di rekeningmu."

 

"Baik, Pak."

 

Sejurus kemudian mereka pun tiba di depan gedung Kitten Group. Dengan gerakan dan langkah cepat Dean memasuki gedung berlantai sepuluh itu dengan pandangan dingin dan wajah datar. Tatapan dan wajah datarnya itu selalu menjadi ciri khas seorang Dean Bernardus bagi semua anak buahnya.

 

Di lantai satu gedung itu ditempati oleh Customer Service dan Satpam, sementara di lantai dua dihuni oleh semua Staf Administrasi dan pembukuan. Di lantai tiga dihuni oleh tim HDR, sedangkan di lantai empat dan lima ditempati oleh Tim Marketing. Di lantai enam dan tujuh dihuni oleh semua Tim Keuangan yang sudah diberikan tugas masing-masing. Semenentara di lantai delapan dan sembilan dihuni oleh Manager dan GM perusahan. Di lantai sepuluh tentu saja dihuni oleh sang pemimpin yang tak lain adalah Dean Bernardus Stewart, sosok manipulator yang kaya dan arogan.

 

Lelaki yang biasa disapa Pak Bernar itu keluar dari lift lantai sepuluh. Kim dan Soraya langsung berdiri begitu melihatnya. "Selamat pagi, Pak."

 

"Pagi," balas Dean tanpa menoleh lalu berjalan memasuki ruangannya.

 

Setelah mendengar pintu ruangan CEO tertutup barulah Kim dan Soraya mendongak menatapnya. "Apa dia sedang marah?" tanya Soraya.

 

"Dia? Kau ini ...." Rasanya Kim ingin meremas mulut Soraya. "Ingat, ya? Di kantor ini tidak ada yang berani memanggil beliau dengan sebutan nama saja. Aku harap kau bisa merubah sikapmu itu jika ingin lebih lama bekerja di sini." Ia berdiri untuk meninggalkan Soraya, tapi bunyi interkom membuat Kim terpaksa kembali duduk dan mengangkatnya. "Iya, Pak? Baik, Pak!" Ia menutup kembali gagang interkom itu lalu menekan tombol untuk panggilan lain dan berkata, "Halo, Mr. Hans?"

 

"Ya, Kim, ada apa?"

 

"Pak Bernar menyuruh Anda ke ruangannya sekarang. Ada hal yang akan dibicarakan dengan Anda mengenai acara kantor besok."

 

"Baik, Kim. Aku akan segera kesana. Terima kasih."

 

"Kembali kasih, Mr. Hans."

 

"Acara kantor? Memangnya ada acara apa?" tanya Soraya begitu melihat Kim selesai bicara.

 

"Besok ulang tahun kantor. Ayo sekarang kerjakan yang ini," titah Kim yang mulai bosan terhadap Soraya, karena banyak membuang waktu, "Kau harus menguasai ini dalam waktu satu bulan. Jika sudah sebulan kau tidak juga menguasai programnya, jangan salahkan aku jika Pak Bernar memecatmu atau memindahkanmu ke divisi lain."

 

Dengan kesal Soraya menuruti perintah Kim. "Memecatku?" pekiknya dalam hati, "Kau yang akan kupecat!"

 

Di sisi lain.

 

"Miss Oxley?" panggil Mr. Hans.

 

Dengan cepat Kensky berdiri. "Iya, Pak?"

 

"Tolong buatkan laporan ini untukku. Aku akan memeriksanya setelah kembali dari ruangan Pak Bernar. Beliau mengundangku ke ruangannya sekarang. Kau bisa, kan?"

 

"Baik, Pak." Kensky meraih dokumen itu dari tangan kepala divisinya. "Hanya ini saja, Pak?"

 

"Iya. Kalau begitu selamat bekerja dan selamat datang."

 

Kensky tersenyum. "Baik, Pak, terima kasih." Kensky menatap pria yang rambutnya sudah mulai beruban. Tapi uban yang timbul di kepalanya itu, bukan karena usianya yang sudah tua, melainkan faktor keturuan. Dalam hati Kenksy berkata, "Semoga saja pria gila itu tidak akan mengatakan yang macam-macam pada Mr. Hans." Tak ingin pekerjaannya tertunda, Kensky pun kembali ke kursinya dan mulai mengerjakan tugas yang diberikan Mr. Hans.

 

Di sisi lain.

 

"Apa beliau ada di dalam?" tanya Mr. Hans pada Kimberly.

 

"Ada, Mr. Hans. Pak Bernar sudah menunggu Anda."

 

"Baik, terima kasih, Kim. Ngomong-ngomong ini siapa?" tanya Mr. Hans saat melihat wanita cantik dengan make-up tebal yang duduk di samping sekertaris Dean.

 

Kim melirik Soraya. "Dia karyawan baru, Mr. Hans. Dia saudara tirinya asisten, Anda."

 

Perkataan Kim membuat Soraya menatap tajam, sedangkan Mr. Hans langsung bergerak dan masuk ke dalam ruangan CEO seakan tidak mau tahu.

 

"Selamat pagi, Pak Bernar," sapa Mr. Hans begitu masuk ke dalam ruangan.

 

Dean yang kebetulan sudah menunggu di sofa yang disediakan khusus untuk tamu, langsung berdiri dan berjabat tangan dengan kepala divisi bagian keuangan itu. "Pagi, Mr. Hans. Silahkan duduk." Mereka pun sama-sama duduk. "Begini, Mr. Hans, karena besok adalah ulang tahun kantor, aku ingin Anda men-totalkan semua anggaran untuk acara besok. Mulai dari makanan dan minuman," kata Dean to the point.

 

"Baik, Pak. Tapi ngomong-ngomong aku lupa kalau besok ulang tahun kantor."

 

Dean tersenyum samar. "Namanya juga sudah tua, pasti suka lupa," kata Dean dalam hati. Ia mengubah wajahnya kembali datar. "Saya sudah menyuruh Matt untuk melakukan reservasi makanan di restoran langgananku. Dia akan mengirimkan daftarnya lewat email Anda nanti. Jadi, kumohon kalian bisa bekerja sama demi kelancaran pesta besok."

 

"Baik, Pak."

 

Dean meletakkan tungkainya di kaki sebelah. Tangannya yang satu merangkul sandaran sofa. "Apa Anda punya ide tambahan untuk acara besok, Mr. Hans?"

 

"Ide? Apa, ya?" Mr. Hans tampak berpikir. "Apa pestanya akan diadakan di kantor, Pak?"

 

"Menurut Anda bagusnya di mana?" tanya Dean sambil menatapnya.

 

Mr. Hans kembali berpikir. "Bagaimana kalau kita rayakan di salah satu mension Anda, Pak? Menurut saya ada bagusnya kalau kita adakan pesta itu malam hari dengan suasana berbeda. Kalau di kantor, takutnya akan mengganggu aktivitas operasional."

 

"Sudah tua bangka, tapi jiwanya masih muda ternyata," pikir Dean, "Aku setuju. Kalau begitu besok pukul delapan malam saja, bagaimana? Dan pastikan di jam itu semua karyawan harus ada."

 

"Itu ide yang bagus, Pak," balas Mr. Hans kaku.

 

"Tapi dengan satu syarat."

 

Mr. Hans terkejut. "Syarat apa, Pak?" tanya Mr. Hans sambil mendorong kaca mata yang hendak merosot ke hidungnya.

 

"Pastikan semua karyawan harus hadir tanpa terkecuali. Dan aku tidak mau menerima alasan dalam bentuk apa pun."

 

"Itu sudah pasti, Pak. Siapa bilang mereka tidak akan hadir di pesta itu, apalagi pesta ini adalah ulang tahun kantor. Saya yakin, mereka semua pasti akan hadir, apalagi besok malam minggu."

 

"Oh iya, ya? Aku sampai lupa kalau besok malam minggu. Anda ternyata jiwa remaja, ya?"

 

Mr. Hans terkekeh. "Fisik boleh tua, tapi tenaga dan pikiran jangan, Pak."

 

Tawa Dean nyaris meledak. Ia coba membayangkan bagaimana Mr. Hans yang tubuhnya sedikit bungkuk dan keriput itu memiliki tenaga yang kuat di atas ranjang. Dean terbahak.

 

Mr. Hans menatap aneh. "Apanya yang lucu, Pak?"

 

"Kakek Sugiono!"

 

"Hah? Kakek Sugiono? Siapa dia, Pak Bernar?"

 

Dean menahan tawa. "Lupakan! Kalau begitu tolong Anda umumkan berita ini ke semua anak buah Anda." Dean berdiri mendekati mejanya. "Aku akan menyuruh Kim menempelkan undangan ini di pintu masuk sore nanti, agar besok pagi semua karyawan bisa membacanya."

 

"Baik, Pak. Apa ada lagi?"

"Kurasa itu saja."

Kalau begitu saya permisi dulu." Mr. Hans langsung berdiri dan pamit undur diri.

 

Saat Dean hendak meraih gagang interkom, Mr. Hans sudah mendekati pintu. Ia bahkan sudah memegang handle dan membuka pintunya saat Dean berteriak. "Mr. Hans?"

 

Mr. Hans menoleh. "Iya, Pak?"

 

"Tolong bilang pada asisten baru Anda, besok dia harus hadir, begitu juga dengan yang lain. Bilang pada mereka, jika siapa yang tidak hadir di pesta besok, pastikan besoknya lagi mereka tidak usah menginjakkan kaki di kantor ini. Dan siap menerima skors dua minggu bagi siapa yang tidak hadir di acara besok." Dean menekan tombol interkom.

 

Mr. Hans yang berdiri di dekat pintu langsung menjadi patung. Ia menelan ludah dengan terpaksa. "Ba-baik, Pak."

 

"Kim! Tolong buatkan undangan ulang tahun untuk besok. Tempatnya di Mension Kitten pukul 20.00 WIB," katanya dengan nada tegas.

 

"Baik, Pak."

 

"Jangan lupa kau cantumkan catatan; bagi siapa yang tidak hadir, wajib menerima surat peringatan dan siap mendapat skorsing selama dua minggu."

 

"Ba-baik, Pak!"

 

Dean menutup gagang interkom itu lalu kembali duduk. Sambil menyandarkan diri dengan tangan yang terlipat di atas perut, ia menyeringai licik. "Baiklah, film akan segera kita mulai."

 

Continued___

 

Kira-kira film apa, ya? Hehe, yang jelas bukan filmnya Kakek Sugiono. ^^

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status