Share

5. Perjanjian.

Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal.

Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?"

Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu.

Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. 

Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika sampai ia mati pun atau bahkan di akhirat nanti, ia akan terus ditagih karena tidak menepati janjinya.

"Ayah percaya sama kamu, tapi mungkin itu terjadi karena Deren belum mengenal kamu. Jika sudah kenal, dia tidak mungkin bersikap seperti itu." Satrio mencoba untuk bijaksana menanggapi putrinya. Meski ia sadar mungkin kebijaksanaan-nya ini akan mengecewakan putrinya

Azel tertegun. Ia tidak percaya jika ayahnya akan mengatakan itu, dan Bunda tampak mendukung saja. Bahkan dirinya tidak tau lagi harus berkata apa saat ini.

Ia hanya ingin mengutarakan isi hatinya untuk menolak perjodohan itu. "Maaf Yah. Aku tetap tidak bisa. Aku hanya mau menikah dengan orang yang aku cintai, dan orang itu juga mencintai aku. Aku akan bertemu dengan Deren lalu menolaknya dengan baik-baik." kata Azel tenang.

Satrio cemberut, wajahnya yang terang berubah mendung. "Perjodohan ini tidak akan dibatalkan, karena Deren sudah setuju sebelum orang tuanya mendiskusikan tentang hal ini dengan kami," ujar Satrio pelan, namun nadanya menjadi lebih serius. 

Azel masih ingin menolak, dengan berkata: "Laki-laki baik dan bertanggung jawab tidak akan pernah mengingkari janjinya. Deren tidak datang malam ini, bahkan membuat kita menunggu lama. Dia sama sekali tidak menghormati keluarga kita dan menunjukkannya secara terang-terangan. Apa Ayah masih bisa terima?"

Ia secara terbuka memancing amarahnya.

Wajah Satrio muram, dengan dingin ia berkata: "Karena Ayah laki-laki baik dan bertanggung jawab. Maka pernikahan ini tidak akan dibatalkan." tegasnya.

"Tapi Yah ...,"

"Stop!" bentak Satrio memotong bantahan putrinya kali ini. Ia lelah berdebat. Sekilas ia teringat akan sesuatu di masa lalu.

"Apa kamu masih ingat perjanjian kita saat kamu lulus SMA?" tanya Satrio dingin.

Azel membeku mendengar ayahnya mengungkit perjanjian 7 tahun lalu, yang hanya diketahui keduanya. 

Saat itu, Azel berdiri di depan meja di ruangan kerja ayahnya. Dengan sungguh-sungguh ia mengikrarkan sebuah janji.

'Jika Ayah kasih ijin aku untuk kuliah di Korea dan tinggal di sana untuk berkarier. Aku janji, aku akan penuhi satu permintaan Ayah di masa depan, apapun itu!'

Satrio yang sedang duduk di kursi kerjanya, menautkan jemarinya. Dengan bijak ia berkata, 'Baiklah, Ayah akan kasih ijin."

Azel menggaruk kepalanya kasar, saat ingatannya 7 tahun yang lalu memenuhi kepalanya. Ia hanya bisa berharap jika ayahnya tidak akan meminta dirinya untuk menepati janji itu saat ini. "Ya, Azel ingat."

"Ayah minta kamu untuk menerima pernikahan ini." Satrio mengatakan dengan jelas dan serius. 

Deg.

Azel terdiam. Demi apa? Kenapa ayahnya menagih janjinya demi keluarga Prasetyo itu. Apa yang telah terjadi? Sampai-sampai ayahnya merelakan putri kesayangannya untuk di jodohkan dengan anak sahabatnya itu.

Ia harus bagaimana?

"Oke! Jika itu permintaan Ayah ...." Azel pasrah, ia harus menepati janjinya.

"Yah!" Kata Arumi ragu-ragu, setelah melihat kekecewaan di wajah putrinya. Namun suaminya itu hanya mengedipkan mata, seolah-olah memberi perintah untuknya diam dan tidak ikut campur.

"Tapi aku punya syarat. Jika aku menemukan 3 saja keburukan dari lelaki itu ... maka pernikahan ini harus dibatalkan. Bagaimanapun aku ingin menikahi laki-laki baik yang tulus mencintai ku. Setelah itu batal, Ayah boleh meminta hal lain dariku." tegas Azel menawar. Ia dengan cepat memutar otaknya, makanya baru bisa mendapat ide gila ini.

Kedua orang tua itu saling menatap dalam diam. Arumi memberi tatapan lembut pada suaminya, ia mengangguk pelan, memohon agar laki-laki itu setuju.

Satrio menatap sang istri tercinta, meski ia tidak suka dengan ide anaknya. Melihat wanita yang di depannya memohon dengan tulus, ia jadi bimbang, lalu berkata dengan bijak. "Oke! 30 hari! lewat dari itu, kamu harus setuju untuk menikah." Satrio menatap Azel mantap.

"Oke! Setuju!" Azel menatap balik ayahnya dan tatapannya tidak kalah tangguh dari sorotan mata lelaki berusia 56 tahun itu.

Masih duduk, Ayah dan anak itu saling menatap satu sama lain saat gendang peperangan di tabuh. Keduanya seperti masuk kedalam pikiran masing-masing, dan mencibir lewat sorotan matanya.

'Ayah lihat saja, aku akan cari keburukan pria itu, dan gagalkan perjodohan ini.'

'Kamu tidak akan berhasil. Lebih baik kamu tepati janjimu 7 tahun lalu, dan menikah.'

'Menikah? tidak akan, tidak akan pernah.'

"Baik, Ayah akan lihat bagaimana kamu melakukannya? jika lelah, beritahu Ayah." Bibirnya melengkung, ia bangkit dari sofa, dan berjalan menuju kamarnya untuk istirahat.

Ibu dan anak itu masih setia di tempat duduk, suasana sangat sunyi dan tanpa pergerakan sedikit pun. Arumi melihat jemarinya yang saling bertautan, ia ragu-ragu untuk mengungkapkan rasa bersalahnya. 

Mengetahui kesedihan bundanya, Azel sedikit bersalah karena telah menentang orang tuanya. 

"Maaf." Kata keduanya bersamaan, tanpa sengaja.

Arumi mengangkat pandangan, melihat wajah putrinya yang tersenyum dengan lega. Merasa lucu, ibu dan anak itu menertawakan keselarasan mereka dalam berbicara.

Azel bergerak untuk duduk menempel pada bundanya. Ia melingkarkan tangan panjangnya di pinggang bundanya, tingkahnya mirip anak kucing. 

Arumi mengelus pelan rambut merah gadisnya, tatapan penuh kasih sayang. "Maafkan Bunda karena tidak bisa membantu Azel." tuturnya dengan suara bergetar.

Azel yang sudah menjadikan pundak ibunya untuk bersandar, berkata 'Tidak apa-apa, selama Bunda tidak mendukung Ayah juga." ujarnya tanpa beban.

"Lalu bagaimana kamu akan menggali keburukan Deren?"

Azel mengangkat kepalanya dan melepaskan pinggang bundanya. "Soal itu? Rahasia!" Azel berdiri dan menunjukkan senyuman nakalnya. Ia lalu pamit untuk pergi ke kamarnya.

Arumi hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan suami dan putrinya.

Sampai di lantai dua di dalam kamarnya, Azel yang lelah segera menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Ia menutup kelopak matanya yang terasa berat, perlahan tangannya merentang bebas. Saat tangannya merasakan ada sesuatu benda lain di sisi lain ranjangnya, mata Azel melebar di penuhi pertanyaan,

Saat Azel duduk dan membuka selimutnya, Rose ada di sana. Alis Azel bertautan. "Ngpain? ... bikin orang kaget aja!"

Azel hanya mendapat seringai Rose yang tampak malu-malu sebagai jawaban. "Aku lagi bad mood, tolong keluar, aku mau tidur." pintanya dengan lesu.

Rose yang terbaring di balik selimut segera bangkit untuk duduk, dengan senyuman lebar di wajah, ia berkata penuh semangat. "Aku tahu, makanya aku di sini buat hibur kamu." 

Azel menatap sepupunya, dan memutar bola matanya tanpa ekspresi.

Senyum Rose tidak hilang, dipenuhi semangat 45, ia berbicara "Aku punya ide bagus agar kamu bisa menggali keburukan calon suami kamu."

Azel yang lesu, seketika menampilkan wajah penuh binar. "Gimana caranya?"

"Ada! Tapi kita harus pindah rumah dulu." tutur Rose.

Azel mengangguk setuju, selama ia bisa mencari keburukan Deren dan membatalkan semuanya. Apapun itu, akan ia lakukan. Demi cinta sejatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status