Share

Bab 5

Penulis: Pena Emas
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 06:32:13

Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah keluarga Tuan Maheer, mereka makan dengan meninggalkan salah satu anggota keluarga yang tak memiliki udzur apapun.

Dan ketika Alka dan Tuan Maheer telah berangkat kerja, saat itulah Nyonya Salma mendekati Amina di ruang tamu.

Amina, "tidak, sebaiknya semua bunga itu kalian taruh saja di luar! Dan rangkailah beberapa tangkai yang masih cantik untuk hiasan di beberapa titik! Lalu buang saja yang lain! "

Si pelayan yang di ajak bicara, "baik, Bu..." Pelayan itu sudah hendak pergi melakukan apa yang Amina katakan, sebelum kemudian ia kembali lagi seolah baru saja melupakan sesuatu, "lalu bagaimana dengan gabus-gabus besar itu?"

Amina melihat gabus berukuran besar yang melengkapi dekorasi nikahan suaminya kemarin. berfikir sejenak, lalu berkata, "kau bakar sajalah, lagipun seperti nya kita tak akan menggunakannya lagi."

Si pelayan, "baik, Bu."

Amina melangkahkan dua kaki jenjangnya ke depan, hendak memeriksa bagaimana kondisi di luar.

Namun belum ada lima langkah ia berjalan, tangannya telah di cekal oleh sebuah tangan yang tak lagi mulus, "Bu?"

Nyonya Salma tersenyum hangat, "kau telah bekerja keras beberapa hari ini, tubuhmu pasti lelah, jadi biar saja bagian membersihkan ini Ibu yang urus, kamu istirahat lah!"

"Amina senang melakukannya, Bu. Lagipun setiap hari hampir tak ada hal lain yang bisa Amina lakukan selain bebersih dan memasak. itupun Amina lakukan hanya dengan menyuruh pelayan."

Nyonya Salma kembali tersenyum. Maksudnya mendatangi Amina sebenarnya bukan tak lain untuk meminta maaf, ia sadar betul apa yang ia katakan di meja makan tadi benar-benar menyakiti hati menantu pertamanya itu.

Nyonya Salma, "Tapi kau tentu tak boleh mengabaikan tubuhmu yang meminta jatah istirahat setiap harinya."

Amina tersenyum, ia tahu apa yang mengganjal di hati ibu mertuanya itu, "Ibu tenang saja, Amina tak akan mudah di serang penyakit."

Nyonya Salma, "Nak, tentang apa yang Ibu katakan di meja makan tadi..."

Amina, "Bu, Amina sudah lupa. Jadi sebaiknya Ibu juga tak perlu membebani diri dengan hal itu lagi."

Nyonya Salma tersenyum penuh haru, "entah bagaimana caraku mengungkapkan betapa kau sungguh permata yang bersinar cerah dimanapun berada."

Amina mengangguk, meski dalam hatinya membalas kata-kata pujian Nyonya Salma dengan ungkapan kesedihan akan nasibnya.

Orang-orang memang akan selalu memujinya di permukaan, namun di seluruh kota, siapa pula yang akan memandang wanita mandul dengan penuh penghargaan?

Merasa boleh jadi mertuanya tak akan bisa dengan mudah melupakan apa yang terjadi di meja makan tadi, Amina segera pamit untuk memberikan ruang pada Nyonya Salma.

"Sudah pukul setengah sepuluh, Amina akan ke atas dulu, siapa tahu kali ini Mira mau membuka diri dan makan dengan baik."

Karena Amina sudah berkata begitu, Nyonya Salma pun tak ingin menahannya lebih lama, "kalau begitu kau berusahalah! Ibu akan ke depan dulu."

Amina, "kalau begitu nanti Amina susul setelah turun."

Nyonya Salma semakin tersenyum tulus, membelai lembut separuh wajah menantu pertamanya.

****

Di depan pintu kamar Mira, Amina menghela nafas terlebih dahulu sebelum menggerakkan tangannya untuk menekan handel pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Di dalam, suasana kamar Mira begitu suram dan gelap. Gorden tebal masih sempurna menutup kaca yang menjulang dari lantai ke langit-langit, Mira juga tak menyalakan lampunya, sehingga tak ada cahaya apapun di sana.

Amina berjalan maju, dan karena ialah yang menata kamar itu sebelum di tempati Mira, maka ia hafal seluruh tempat tanpa merasa kesusahan berjalan di dalam kegelapan, "sudah pukul setengah sepuluh, dan kau bahkan tak berniat menerangi kamarmu."

Amina tahu Mira dapat mendengar apa yang ia ucapkan, namun entah mengapa gadis itu tetap diam.

Sementara di sisinya, Mira masih tetap duduk dengan memeluk dua lututnya di atas kasur.

Amina, "kau tidak mau makan, juga tidak mau menampakkan dirimu sendiri di kamarmu, jadi apa yang kau mau?"

Sreeekkk!

Mira sedikit menyipitkan matanya kala cahaya hangat matahari masuk begitu Amina membuka kordennya.

Dan ia masih enggan untuk bergeming!

Amina, "kau tak mau berbicara dengan pelayan, begitu juga dengan Ibu, tapi, denganku kau harus berbicara!" Ia menampakkan sedikit senyuman, dan berjalan dengan sabar ke arah Mira, "bukankah kita teman?"

Mira memperhatikan bagaimana Amina dengan begitu anggun meletakkan dirinya di sampingnya.

Amina, "dulu, saat pertama kali aku berkunjung kerumahmu bersama Ayah dan Ibu, aku langsung mengagumimu pada pandangan pertama. Ku pikir, bagaimana bisa ada seorang gadis yang begitu berani menyampaikan sebuah pendapat? Dan saat memikirkan hal itu kembali, aku masih mengingat bahwa kau adalah seorang gadis yang cerdas."

Mira hendak menghela nafasnya dalam-dalam. Namun karena khawatir Amina akan mempertanyakan hal itu, ia urung melakukannya.

Tentu saja Mira ingat hari itu!

Waktu itu juga ia sangat mengagumi menantu keluarga Maheer yang cantik itu.

Selain cantik, Amina bahkan berkenan menyapanya terlebih dahulu.

Sejak pandangan pertama Mira pada Amina, ia tak pernah menemukan setitik keburukan pun darinya.

Amina, "kau tahu? Sejak saat itu, aku seolah merasakan sebuah takdir yang kuat atas dirimu, dan lihatlah! Bukankah dulu kau sering berandai-andai jika saja aku menjadi seorang kakak bagimu? Dan bukankah sekarang semua itu menjadi kenyataan?"

Mira memandang lamat wajah Amina yang selalu bersinar di matanya, menatap kedua mata yang selalu melihatnya penuh penghargaan, kemudian bibirnya terbuka dan mengucapkan satu kata, "mbak..."

Amina, "iya?"

Melihat ketulusan hati Amina, entah mengapa membuat kedua mata Mira yang telah mengering kembali memanas.

Merasa sebentar lagi Mira akan segera menangis, Amina segera membawanya ke dalam pelukan hangatnya, "dengar, pernikahan ini mungkin memang berat bagimu, tapi Mbak mohon, berusahalah menerimanya dan hadirkanlah kebahagiaan yang tak akan pernah bisa Mbak wujudkan di keluarga ini."

Mira tak mengucapkan apapun, ia hanya menenggelamkan dirinya ke dalam pelukan Amina dan terus mendengarkan.

Lihatlah! Dulu ia ingin sekali di peluk saat menangis, dan bukankah sekarang hal itu menjadi kenyataan? Ia di peluk oleh tubuh hangat yang tak pernah berbuat buruk padanya selama ini.

Dan karena Mira terus diam tanpa berniat membalas ucapan Amina, Amina pun meneruskan, "tolong tutuplah kekurangan Mbak yang tak sempurna ini. Dan sebagai balasannya, kau boleh meminta apapun! Sungguh, kau boleh meminta apapun!"

Mira, "....."

kalau saja hal itu di ucapkan oleh Alka atau keluarga yang lain, mungkin Mira akan merasa bahwa ia benar-benar di nikahkan di keluarga terhormat itu hanya untuk menjual rahimnya dengan budi. Namun karena yang mengucapkannya adalah seseorang yang selama ini ia hargai, entah mengapa ia tak menganggapnya demikian.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Noda dalam rumah tangga   Bab 24

    Renjana berhenti, menatap kebelakang, tanpa senyum menggoda seperti biasa, hanya senyum sopan sebagai seorang pria. "Kalau kau ingin memarahiku, silahkan saja. Bagaimana pun aku juga ada salah, telah menggoda istri orang."Mira menahan senyumnya, ternyata pria ini memiliki sedikit rasa empati juga! Ia mengulurkan tangan ke arah Renjana, "saat pertama kali aku melihatmu, aku memang sangat marah. Bahkan, baru saja aku juga merasa begitu. Hanya saja, setelah aku pikir-pikir, dari seluruh orang yang berada di dalam kapal raksasa ini sekarang, hanya kau orang yang ku kenal. Jadi, mungkin kita bisa berteman?"Renjana menatap uluran tangan Mira sebentar, mengedikkan bahu, membalas uluran tangannya, "aku tidak biasa berteman dengan seorang wanita sebagaimana mestinya, kau tentu tahu itu. Tapi bagi seorang wanita terhormat seperti mu, hatiku meminta pengecualian."Sebenarnya Mira lumayan faham dengan apa yang Renjana katakan. Hanya saja, karena takut salah menebak, Mira perlu memastikannya, "

  • Noda dalam rumah tangga   Bab 23

    "Kenapa? Kau sakit jantung?"Renjana menggeleng sedih, "bukan jantung, tapi hati."Setelah di dorong oleh Renjana tadi, jarak antara Mira dan pintu menjadi agak jauh. Dan sekarang Mira kembali berjalan mendekati pintu dan membukanya, "aku bukan dokter! Kalau kau sakit cepat pergi ke ruang kesehatan, kalau kau tak tahu jalannya, kau lurus saja dari sini, nanti naik ke lantai dua, di sana ada ruang kesehatan paling luas di kapal!"Wajah Renjana jadi muram, "aku tak mau ke dokter!""Kenapa? Kau bukan orang miskin yang kekurangan uang! Lagi pun, bagi pelanggan VIP, fasilitas kesehatan itu bisa kau ambil secara gratis!"Renjana terlihat tak ingin menjawab perkataan Mira. Ia malah berjalan santai ke arah kasur gadis itu. Mira yang tak menduga apa yang akan Renjana lakukan sebelumnya merasa kaget, "apa yang kau lakukan? Pergi dari sana!"Dengan santai Renjana melepas sepatunya dan berbaring di ranjang Mira, "kau sama sekali tak tahu masalah hati antara pria dan wanita ya?"Merasa khawatir,

  • Noda dalam rumah tangga   Bab 22

    Drrrt drrt drrtt! Sedari tadi ia berjalan menuju kamarnya, Renjana terus merasa kan ponselnya bergetar asa yang menelpon. Namun memang sengaja tak ia angkat kala mengetahui siapa sumber dari suara itu. Sekarang ketika ia berbaring dengan lelah di atas kasurnya, ponsel itu tak henti mengeluarkan getaran menyebalkan! Dan ketika Renjana hendak menonaktifkan ponselnya, sebuah pesan dengan huruf besar-besar muncul, "ANGKAT TELPONNYA BODOH!!!" Renjana tak ingin menghiraukannya. Namun tangannya gatal untuk menekan ikon hijau dan mendengar apa yang akan orang itu katakan, {"AKU MENYURUHMU KE KOTA RINTIS DAN MENGAMBIL ALIH TANAH KELUARGA MAHEER, BUKAN MALAH NGELAYAP DENGAN KAPAL ITU!!!"} Suara teriakan itu, membuat Renjana langsung menjauhkan ponselnya dari telinga, ia menjawab dengan tenang, "kau hampir membuatku tuli!" Si penelepon, Tuan Daksa, yang apalah daya adalah ayahnya sendiri di sebrang sana tengah uring-uringan. Ia tadi mendapat kabar dari asisten nya bahwa Renjana mengung

  • Noda dalam rumah tangga   Bab 21

    "Tapi itu fitnah!" Renjana sudah akan memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia seolah dapat ide besar, "kalau begitu, bagaimana kalau kita jadikan itu tidak fitnah?" Mira memikirkan dengan baik apa yang di maksud dengan ucapan Renjana. Dan ketika ia menyadari nya, ia hampir berteriak karena kesal! Untung saja, pikiran normalnya mampu menganalisis keadaan sehingga tam melakukan hal bodoh itu. Dan sebagai gantinya, Mira menatap Renjana penuh remeh, "jadi, begitu caramu merayu semua wanita?" Dengan ringan Renjana menjawab, "tidak juga, kebanyakan mereka yang menggodaku. Boleh di bilang, aku baru melakukan ini untukmu saja!" Mira mendengus dengan mulut penuh, sama sekali tak percaya yang Renjana katakan, "omong kosong!" "Kata siapa omong kosong?" "Kataku, tentu saja!" Renjana menaikkan sebelah alisnya, "kau tak lihat apa yang barusan Maria lakukan padaku?" "Namanya Ling Ling!" "Ya itu dia, Ling Ling!" "Tidak!" Dengan segera Renjana meletakkan alat

  • Noda dalam rumah tangga   Bab 20

    Habis sudah seluruh kata-kata dalam benak Mira. Bagaimana bisa ada orang yang begitu mudah berkata ingin menjadi pacarnya! Renjana, "pertama-tama, aku ingin tahu siapa namamu dulu?"Lihatlah! Ia bahkan tak tahu siapa namanya! Renjana kembali meneruskan kata-kata nya, "jadi, mari kita lupakan masalah kemarin dan berkenalan dengan lebih baik. Namaku Renjana..." Ia mengulurkan tangannya ke arah Mira. Mira, "...."Entah mengapa pria itu selalu bisa membuat mulutnya terbungkam! Renjana, "ayolah, kita berdua sama-sama telah dewasa, lupakan masalah kemarin, bukankah kita berdua sama-sama salah? Kau salah memasuki kabinku, dan aku salah mengenalimu sebagai gadis penghibur."Mira telah membuka mulutnya hendak protes, namun sebuah suara yang sangat merdu menginterupsi nya, "kak Renjana, kau ada di sini juga?"Seorang gadis berwajah oriental yang khas, berkulit putih dengan mata sipit dan tubuh ramping, datang dan langsung mendudukkan dirinya di pangkuan Renjana. Renjana sama sekali tak me

  • Noda dalam rumah tangga   Bab 19

    Malam harinya, Mira kembali membersihkan diri dan keluar untuk makan. Sejak pagi tadi, karena merasa terlalu kesal, Mira bahkan sampai tam merasakan lapar sama sekali. Namun sekarang justru perutnya terasa keroncongan. Di kapal itu sebenarnya menyediakan layanan antar makanan hingga ke kamar. Tapi karena Mira sudah merasa sumpek di kamar seharian, ia memilih keluar sekalian jalan-jalan. Untung saja ketika kemarin ia memutari hampir setengah isi kapal demi mencari kamarnya, ia sempat melihat restauran besar di bagian tengah. Jadi, ketika sekarang akan keluar, Mira tak perlu khawatir tersesat. Mira mengedarkan pandangannya, tempat makan itu begitu luas, mewah, dan sangat bersih. Banyak sekali orang dari kalangan elit tengah makan di jam ini. Meskipun begitu, masih terlihat beberapa meja kosong di bagian ia berdiri. Mira tersenyum, "bahkan sebuah kapal bisa memiliki restauran seluas pasar!""Tentu saja, Nona. Kapal ini sangat besar, dengan sembilan ratus tiga puluh kamar, bisa me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status