LOGINBella keluar dari kamar mandi dan melihat Adrian sibuk di dapur. Rambutnya tergerai masih setengah basah, matanya menatap senang pada Adrian yang datang membawakan makanan untuknya. Kebetulan Bella lapar, dia tidak perlu masak.
"Aku tadi buat minestrone, kamu pasti belum makan malam, makanlah." Adrian meletakkan beberapa mangkuk di meja makan. Aroma sayur dan basil membuat perut Bella keroncongan. Ditambah aroma roti hangat. "Kebetulan, aku sempat berpikir untuk membuat mie instan karena aku kelaparan. Terima kasih." Bella menarik kursi dan menatap berbinar pada dua makanan didepannya, tangannya yang dingin meraba mangkuk dan merasakan panasnya keramik menyentuh kulit. "Masih hangat?" Adrian sudah duduk di kursi lain, matanya yang sibuk menatap ponsel melirik Bella, "Mm, aku memanaskannya di dapurmu tadi. Ini focaccia keju dari nenek Sofia, kebetulan baru diantar saat aku pulang tadi. Punyamu sekalian ku bawakan." Bella mengangguk, "Nenek Sofia baik sekali sering membagi makanan ke kita." Tangannya mulai menyendok sup, merasakan enaknya makanan di dalam mulutnya yang menghangatkan perut. "Mm." Jawaban singkat Adrian yang sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Ruangan hening, hanya suara sendok beradu pelan dan detik jam dinding mengisi ruang makan yang menyatu dengan dapur dan ruang tamu. Sesekali terdengar suara ketukan pelan jari Adrian di meja yang sedang membaca pesan penting, dari pasiennya mungkin. Tidak lama untuk Bella makan, ia segera membersihkan peralatan makan. "Sudah selesai?" Tanya Adrian. Bella mengangguk dan duduk kembali, "Ada yang ingin kamu bicarakan?" Adrian mengangguk, "Tentang pria itu, apa kamu menemukan kartu identitasnya?" Bella juga mengingat hal penting ini sebelum mandi tadi, ia menggigit bibir bawahnya sejenak. "Aku tidak menemukannya, apa tidak ada di pakaiannya?" Adrian menghela nafas, "tidak ada, mungkinkah pria ini mengalami perampokan? Tidak ada uang, tidak ada ponsel atau dompet berisi kartu identitas. Aku menduga setelah dia dilukai, perampok itu membuangnya di gang itu." Bella berpikir dan mengangguk, "mungkin saja. Tapi... bukankah itu berarti lingkungan ini tidak aman? Sejak kapan ada perampokan?" Adrian mengangkat bahu, "sejak hari ini, dia korban pertama." "Bisa serius? Kita sedang membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan keamanan kita sendiri. Jika benar seperti yang kau duga, bukankah aku jadi tidak aman?" kata Bella. Ada sedikit rasa cemas. Adrian tersenyum tipis, "kau baru menyadari hal itu sedangkan aku sudah memikirkannya sejak tadi." "Lalu mau bagaimana?" Bella mencoba berpikir mencari solusi untuk menangani perampok ini. Ia khawatir perampok itu tahu ia menyelamatkan seseorang dan rumahnya mungkin jadi target selanjutnya. Adrian diam dengan alis berkerut, lalu berkata yakin. "Demi keselamatan mu, telepon ayahmu—" "Tidak!" Bella dengan cepat memotong perkataan Adrian. Adrian menghela nafas. Ia sendiri khawatir kalau dugaannya benar, solusi untuk meminta bantuan ayahnya Bella adalah yang terbaik. Ia tidak bisa terus menjaga Bella dan tidak bisa mengukur kemampuannya sendiri untuk melindungi sahabatnya. "Bella, ini demi keselamatan mu. Selain itu paman bisa mengerahkan banyak pasukan keamanan untuk berpatroli di daerah ini, anggap demi keselamatan masyarakat sekitar juga." Mata Bella menatap ke bawah, berpikir dengan cepat. Ia setuju untuk melaporkan hal ini dan menempatkan pasukan keamanan demi rakyat. Tapi jika ayahnya tahu, ia pasti akan mendapat pengawalan lebih ketat lagi. "Bagaimana kalau kita tunggu pria itu sadar dulu dan bertanya apa yang terjadi padanya? Kalau dugaan kita salah, biarkan pria itu mengurus masalahnya sendiri." "Aku tidak masalah dengan itu. Tapi jika benar sesuai dugaan kita, tidak aman untuk mu dan selanjutnya keputusan tergantung ayahmu." Adrian menatap Bella dengan penuh ketegasan. Kedua tangan Bella di atas meja saling terkait dan meremas pelan, "Ayahku setiap hari sudah memiliki banyak pekerjaan, bahkan bisa lembur bersama paman Sergio. Aku hanya... tidak ingin menambah kekhawatiran ayahku." Adrian menyilangkan tangan didepan dada dan bersandar di kursi makan. "Kamu bisa menghilangkan kekhawatiran ayahmu dengan kembali ke kediaman di pusat kota." "Aku tahu, tapi aku ingin hidup mandiri dan tinggal di rumah milikku sendiri. Aku nyaman dengan kehidupan ku sekarang." Tatapan Bella jatuh pada jendela. Suasana diluar sangat hening dan damai, inilah kehidupan di desa. Berbeda dengan kehidupan di pusat kota, malam sekalipun masih akan ramai. Bahkan perumahan elit tempat keluarganya tinggal, tidak bisa menahan kebisingan itu. "Aku tidak memaksa, mau kamu hidup seperti apa terserah padamu, asal bukan sesuatu yang merugikan dirimu sendiri. Ayahmu tidak akan keberatan, aku dan Chiara juga akan mendukungmu." Wajah Adrian tersenyum menenangkan, tatapannya melembut seperti seorang kakak pada adiknya. Namun, dalam sekejap ekspresi Adrian berubah serius. "Hanya saja kamu punya identitas penting, putri walikota. Ayahmu, selain disibukkan dengan urusan masyarakat, adapun musuh yang tidak bisa ditangkap dengan mudah. Lebih mementingkan keselamatan dan kebahagiaan putrinya, betapa sayangnya paman Gio padamu. Aku, Chiara dan orang-orang disekitar mu juga perduli. Kau tahu alasan aku pindah kerja ke rumah sakit di daerah ini?" Bella agak skeptis dengan ucapannya yang terakhir, tapi mengakui. "Ya, karena aku. Dengan nilai kelulusan mu dan citra keluarga mu di bidang kedokteran, kamu menjadi incaran banyak rumah sakit besar. Siapa sangka kamu memilih rumah sakit kecil di daerah San Felice, pinggiran kota Whitesand." Adrian menjawab sekenanya, "Aku lega kau paham. Tetapi jika ada yang bertanya, aku hanya bisa membuat alasan, ingin hidup tenang. Selain itu, jika di rumah sakit pusat kota, aku pasti akan sangat sibuk. Disini aku lebih santai." "Kamu membuang-buang waktu belajar mu." Sesal Bella, bagaimana bisa profesi dokter didapat dengan mudah? Setelah lulus dengan nilai terbaik, Adrian malah ingin bermalas-malasan. "Sudah, jangan menyesalinya. Ilmu kedokteran ku juga bukan berarti tidak bermanfaat, aku masih menjadi dokter sekarang." Tatapan Adrian beralih ke pintu kamar utama, "untuk saat ini, kita perlu waspada dengan lingkungan sekitar. Aku pastikan pria itu akan segera sadar dan kita bisa bertanya penyebab dia terluka." "Baik, aku harap hasilnya tidak akan buruk." Kata Bella. Tapi, hasil apa yang tidak buruk? Pria itu terluka sangat parah dan pasti masalahnya tidak ringan. Sekarang ia khawatir menolong pria itu akan membawa masalah untuk dirinya dan Adrian. Semoga saja masalah ini tidak besar. Adrian melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21.45, "ini hampir larut, sebaiknya sekarang kamu istirahat, aku akan tidur di sofa." Tiba-tiba Bella menepuk keningnya, "Ah iya, aku lupa harus buat bahan ajar untuk besok. Seharusnya sudah selesai sejak tadi."Para pengawal itu berdiri di samping mobil depan dan belakang, mengawasi sekitar. Sedangkan yang mengikuti Shin ke mobil ditengah adalah dua orang kepercayaannya, Rico dan Vito.Rico membukakan pintu untuk Shin. Para pengawal baru masuk setelah memastikan pemimpin mereka sudah duduk nyaman.Di dalam mobil, Shin sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang dibawakan Rico. Duduk bersandar dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran tangan mengikuti melodi musik kesukaannya yang selalu diputar selama perjalanan.Matanya menatap keluar jendela, menembus gelapnya kota, memikirkan langkah yang akan ia ambil untuk masalah ini. Mobil melaju dengan mulus keluar kota Whitesand, tanpa halangan apapun memasuki kota Blackstone.Dikenal sebagai jantung kehidupan modern di benua Eropa. Dari kejauhan, bayangan gedung-gedung megah tampak berbaur dengan menara katedral tua, seakan masa lalu dan masa kini saling berdampingan.Jalan-jalan utamanya lebar dan
Pintu kamar Bella terbuka tanpa suara, seorang pria tinggi dengan pakaian acak-acakan penuh darah muncul dibaliknya. Pencahayaan minim tidak membuatnya sulit melihat keseluruhan ruangan itu.'Ini tidak seperti rumah Walikota,' pikirnya.Rumah walikota yang berada di pusat kota tentu sangat besar dan luas. Sedangkan rumah ini sangat sederhana, lingkungannya juga sepi, tidak seperti keramaian di tengah kota.Kakinya melangkah keluar kamar, di sofa panjang ada seseorang yang tidur dengan selimut dan bantal. Pria itu langsung mengenalinya sebagai pria muda berkacamata yang ada di foto.Tatapannya tertuju ke pintu kamar disamping kamar yang ia tempati sebelumnya. Ia membuka pintu itu pelan, sebuah kamar dengan ukuran yang lebih kecil. Ada meja belajar, rak dengan segala benda berwarna, lemari putih, ranjang singgel bed dengan sprei putih. Disana terbaring seorang perempuan yang tertidur dengan ekspresi polos.Piyama putih dan rambutnya yang tergerai di atas bantal, tanpa riasan, bibir mera
Bella bergegas berdiri dan masuk ke kamar kerja yang akan dia tempati malam ini. Ini adalah kamar kecil dengan singgel bed dan meja kerja, tersimpan juga benda-benda yang ia butuhkan untuk mengajar murid TK. Bahan-bahan yang ia butuhkan untuk prakarya setengah jadi sudah siap dan tangan ramping Bella segera bekerja.Adrian mengikuti dibelakangnya dan masuk, "Mau aku bantu buat?"Bella berkata tanpa menoleh, "Kau bisa?""Nona DeLuca, apa kamu meremahkan kemampuanku?""Tentu saja tidak, tapi kamu harus punya tangan yang terampil untuk membuat ini dan juga kesabaran.""Hm, berapa banyak yang perlu dibuat?""Dua puluh."Adrian diam memperhatikan bagaimana Bella membuat kerajinan tangan, lalu mengambil alat dan bahan yang sama dan mulai membuat. Tidak perlu banyak kata, dia langsung membuktikan.Tidak mendengar adanya balasan dari Adrian, Bella melirik dan menemukannya sudah sibuk duduk di karpet lantai. Bella tidak terlalu berharap kerjaan Adrian akan cepat selesai dan rapi, keduanya teng
Bella keluar dari kamar mandi dan melihat Adrian sibuk di dapur. Rambutnya tergerai masih setengah basah, matanya menatap senang pada Adrian yang datang membawakan makanan untuknya. Kebetulan Bella lapar, dia tidak perlu masak."Aku tadi buat minestrone, kamu pasti belum makan malam, makanlah." Adrian meletakkan beberapa mangkuk di meja makan.Aroma sayur dan basil membuat perut Bella keroncongan. Ditambah aroma roti hangat."Kebetulan, aku sempat berpikir untuk membuat mie instan karena aku kelaparan. Terima kasih."Bella menarik kursi dan menatap berbinar pada dua makanan didepannya, tangannya yang dingin meraba mangkuk dan merasakan panasnya keramik menyentuh kulit."Masih hangat?"Adrian sudah duduk di kursi lain, matanya yang sibuk menatap ponsel melirik Bella, "Mm, aku memanaskannya di dapurmu tadi. Ini focaccia keju dari nenek Sofia, kebetulan baru diantar saat aku pulang tadi. Punyamu sekalian ku bawakan."Bella mengangguk, "Nenek Sofia baik sekali sering membagi makanan ke ki
Bella duduk di kursi makan dan merenung. Benar kata Adrian, dirinya agak ceroboh membawa pria itu kerumahnya. Walau terluka dan tidak sadarkan diri, ia tidak mengenalnya.Siapa yang melukainya? Luka separah itu jika ia tidak melihatnya pasti tidak akan selamat sampai esok hari.'Apakah pelakunya sudah pergi?' sebuah pertanyaan terlintas.Ia menutup mata dan berdoa, "semoga pelaku itu sudah pergi dan tidak melihatku menolong pria itu."Bella hanya bisa menghela nafas berat, yang penting sekarang ia berharap pria itu selamat dan malam ini berlalu dengan tenang.Setelah beberapa saat, Adrian selesai mengobati pria itu, luka-lukanya sudah dibersihkan dan diperban. Dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu pelan.Bella yang menunggu di ruang makan segera berdiri dan mendekat, "Bagaimana dengan pria itu? Apakah selamat?"Adrian menatapnya sejenak, bahunya turun seolah baru saja menurunkan beban berat, lalu berkata, "Pria itu selamat untuk saat ini, dia memiliki dua luka. Satu luka temba
Udara malam Desa San Felice menusuk kulit Bella, dingin terasa semakin pekat karena keringat yang bercampur dengan ketakutan. Dengan susah payah, ia menahan tubuh pria asing itu yang beratnya jauh melebihi tenaganya.Nafasnya tersengal, kakinya hampir menyeret, namun entah dari mana kekuatan itu muncul, ia berhasil membawa pria tersebut melewati jalanan sempit menuju rumah kecilnya di sudut blok.Begitu pintu kayu rumah terbuka, Bella segera memapahnya masuk. Bunyi langkah beradu dengan lantai kayu terdengar berulang, tubuh besar itu ia baringkan di atas ranjangnya sendiri."Ha... Ha... Ha..." Bella mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat kelelahan.Napas pria itu masih tersendat, dadanya naik-turun, darahnya merembes menodai sprei putih yang baru kemarin ia ganti. Bella menatap pemandangan itu dengan jantung terus berdetak cepat, antara takut dan kelelahan, sekaligus rasa iba yang makin dalam."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.Ia tahu lu







