Maaf karena telat up, kondisi author sedang tidak fit beberapa hari ini. Semoga kedepannya selalu di sehatkan agar tepat waktu lanjut ceritanya. Terimakasih untuk kalian semua 🙏
"Silahkan," ujar Astusi sambil menyediakan beberapa makanan di atas meja makan. Leo melihat sajian di hadapannya dengan kagum, karena yang memasak semua itu adalah sang istri. Dia tidak menyangka jika Khania sangat pandai memasak makanan tradisional. Kini gadis itu masih berkutat di dapur bersama sang bibi, sedangkan Leo dan Bayu duduk manis di ruang makan. TIIN! TIIN! Seketika terdengar suara klakson di luar rumah, membuat ke empat orang di sana mengalihkan perhatian. "Akhirnya, datang juga," gumam Leo sambil beranjak berdiri. Hal itu pun membuat Bayu mengernyitkan alis. "Memangnya ada apa?" "Ikut saja dan lihatlah," jawab Leo. Mereka berdua pun berjalan keluar, betapa terkejutnya Bayu saat melihat apa yang ada di hadapannya. "Waah, i- ini ..." "Ada apa sih?" tanya Khania dan Astuti yang mengekor Bayu. Khania membelalakkan mata saat melihat beberapa mobil box dan terbuka sedang bertengger di depan halaman rumah sang paman, beberapa mobil itu membawa barang-barang elektron
"Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann
Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap
"ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa
"Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga
Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle
"Turunkan aku!" Khania meronta dalam gendongan sosok pria dengan perawakan tinggi. Namun, pria itu terus berjalan santai tanpa menggubris ancaman yang dilayangkan gadis itu. Langkah pria itu terdengar menyusuri lorong mansion besar ini, dan berhenti tepat di sebuah ruangan. Pria itu pun membuka pintu dengan kasar dan masuk bersama sosok yang di gendongnya. "Kubilang turunkan aku! Ini pelecehan! Aku akan lapor polisi!" BRUK! Gadis berusia dua puluh tahun itu meringis saat tubuhnya dihempaskan ke atas sofa. Melihat itu, sang pria tersenyum sinis dan berkata, "Polisi bukan apa-apa bagiku." Manik birunya menatap Khania dengan tajam. "Dan, lancang sekali kau bilang aku melakukan pelecehan. Asal kau tahu, pamanmu sudah menjualmu padaku." Khania tersenyum miris. Lagi-lagi, pamannya berulah. Laki-laki paruh baya itu memang membuat hidup Khania selalu berada dalam masalah. Dia berani bertaruh bahwa uang yang di dapat pamannya hanya untuk berjudi dan bersenang-senang saja. "Ck," Khan
"Kau bercanda, kan?" tanya Khania sambil menoleh--menunggu jawaban pria itu. Leo menggelengkan kepala. "Sayangnya, aku tidak suka membuang waktu, Khania. Jadi, mari kita mulai saja sekarang." Khania berdiri dan menarik kerah baju Leo. "Kau pikir pernikahan adalah hal sepele? Aku tidak mau melakukannya!" "Khania! Jaga sikapmu!" teriak sang paman tiba-tiba. Tentu saja, Khania menatap tajam sumber dari segala masalahnya itu, tetapi pria itu malah kembali menatapnya dengan tajam. "Tak apa, aku mengerti perasaanmu," ujar Leo, menghentikan perang tatapan antara paman dan keponakan itu. Tak lupa, Leo memberi kode pada orang-orangnya untuk tidak ikut campur, terutama pada "sang paman". Seketika, pria paruh baya itu pun menunduk. Menyadari betapa berkuasanya Leo, manik hitam Khania menatap tajam ke arah pria itu. "Tidak ada pernikahan! Bahkan, hal itu tidak tertulis disana!" teriaknya lantang. Leo kembali tersenyum miring. "Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksimu, tapi akan kuberi