"KELUAR AGATHA SAYANG! AKU TAK AKAN MENYAKITIMU! PATUHLAH!" "SIAPA YANG KAU PANGGIL SAYANG?! DASAR BRENGSEK! PERGI KAU SIALAN!" Terus waspada adalah bagian dari keseharian Agatha Lawrence, ia tidak tahu mengapa dirinya menjadi incaran seorang pria misterius. Yang sayangnya memiliki wajah tampan, hingga siapapun yang melihatnya akan tergoda. Agatha sejujurnya tidak takut pada pria itu, tapi janjinya pada seseorang membuat Agatha tidak bisa berurusan dengan kekerasan. Hingga pada suatu malam, Agatha mendapati sebuah fakta bahwa seorang pria yang terus mengikuti dan bahkan memaksanya dengan kekerasan itu adalah seorang pengusaha sukses. Yang berajai pasar ekonomi dunia, bahkan dengan namanya saja bisa membuat seseorang tunduk. Lalu bagaimana bisa pria berkuasa itu begitu menginginkannya?
View More"KELUAR AGATHA SAYANG! AKU TAK AKAN MENYAKITIMU! PATUHLAH!"
"SIAPA YANG KAU PANGGIL SAYANG?! DASAR BRENGSEK! PERGI KAU SIALAN!" Balas Agatha pada Pria yang saat ini tengah berusaha mendobrak pintu kamarnya, berusaha untuk masuk. Pria itu tak lain adalah Rohander Frigo, Pria yang merajai pasar ekonomi dunia dengan berbagai jenis usahanya yang besar. Agatha mengetahui fakta itu kemarin malam, saat sebuah artikel tentang Pria lewat pada beranda kolom pencarian internetnya. Dan fakta itu cukup membuat Agatha dipaksa berpikir keras, tentang alasan Rohander menguntitnya selama ini. Pria itu bahkan hampir mematahkan kakinya beberapa minggu lalu, hanya karena dirinya mengatakan jika ia tidak layak berjalan dengan Pria itu. Yah... lagipula siapa juga yang ingin berjalan bersama Pria kasar, yang terkesan seperti psikopat? Agatha cukup waras untuk menyadari jika Pria dibalik pintu kamarnya saat ini adalah Pria berbahaya yang harus dijahui, meski ia hampir terlena dengan fakta bahwa Pria itu sangat kaya. Tapi untunglah, kewaspadaannya membuat ia membuang pemikirannya pada dompet berjalan yang saat ini berteriak seperti orang kesetanan. "AGATHA! KELUAR SAYANG! SUDAH KUKATAKAN AKU TAK AKAN MENYAKITIMU! KELUAR! KELUAR! KELUAR SAYANG!" Pekik Rohander, yang membuat Agatha keringat dingin menahan pintu didepannya. "DASAR GILA! PRIA TIDAK WARAS, KEMBALI SANA KEISTANAMU!" Balas Agatha tak kalah lantangnya, Rohander pikir Agatha akan takut pada suara tinggi melengking itu? Damn! Tentu saja tidak. "SWEATHEART!" Agatha menutup matanya, menahan rasa perih pada telapak tangannya yang terluka karena menahan pintu didepannya. Nafas Agatha bahkan tersenggal-senggal, karena lelah. "BUKA PINTUNYA KITA BICARA BAIK-BAIK SWEATHEART!" Bullshit! tidak peduli berapa kalipun Rohander berucap membujuknya, Agatha tidak akan pernah keluar. Lagipula siapa yang membujuk seseorang dengan teriakan melengking tinggi penuh dengan emosi seperti Rohander, ayolah Agatha bahkan yakin jika orang gila saja akan takut pada teriakan yang saat ini ia dengar. BHUK! BHUK! BHUK! "MENGAPA TIDAK SEKALIAN KAU HANCURKAN RUMAHKU, PRIA SIALAN!" Pekik Agatha yang menyadari pintunya yang mulai rusak akibat gebukan yang sangat kuat. Meski gebukan terdengar hanya menggunakan tangan kosong, tetapi tekanan yang diberikan bukan main kuatnya. Sehingga orang lain mungkin akan berpikir jika gebukan itu berasal dari sebuah palu besar. "BUKA SAYANGKU, MY SWEATHEART! AYO BUKA PINTUNYA! ATAU AKU AKAN MEMBUAT PERKATAANMU BARUSAN MENJADI KENYATAAN!" "BEGITUKAH! KALAU BEGITU COBA SAJA, AKU AKAN DENGAN SENANG HATI MENUNGGUNYA. BASTARD!" "SWEATHEART!" "BASTARD!" Untuk beberapa saat Agatha melemaskan tubuhnya, namun tak pernah membuat tangannya menjauh dari gagang pintu. Bagi Agatha situasi saat ini sudah biasa, tapi mungkin karena ia tidak memiliki tenaga saat ini hingga membuat dirinya cukup kewalahan menghadapi Rohander. Sampai... beberapa menit kemudian Agatha menarik nafas lega, saat suara sirine mobil polisi mendekat. Agatha bersyukur kali ini para polisi yang ia hubungi beberapa saat yang lalu tidak terlambat, bersamaan dengan itu. Tekanan pada pintu juga ikut mereda, membuat Agatha melepaskan gagang pintu itu menghetahui Rohander yang pergi dari kediamannya. Kemudian bangkit dengan tertatih-tatih, karena merasa sedikit pusing. Tok! Tok! Tok! Ceklek! "Kau baik-baik saja? Apa Pria itu menyakitimu?" Tanya petugas kepolisian, yang tak lain adalah sahabat Agatha. Leo Fernandes, seorang Pria yang berhasil mencapai gelar letnan diusianya yang terbilang masih sangat muda. Dengan sebuah tarikan nafas, Agatha menjawab dengan santai. "Tidak apa-apa, untung saja kau datang cepat. Jika tidak, entahlah mungkin aku sudah tidak disini lagi." Leo membuang nafasnya kasar, menatap jengah sang sahabat yang nampak masih bisa tersenyum disaat wanita lain mungkin histeris dan ketakutan dalam situasi seperti ini. "Tidak bisakah kau tidak besikap santai? Pria itu mungkin saja mengharapkan nyawamu, apa kau sama sekali tidak takut?" Kesal Leo. "Tidak akan! Pria itu sepertinya hanya suka padaku yang masih bernafas," "Agatha!" "Tenanglah Leo, disini aku targetnya. Kau tidak perlu cemas, aku bisa menjaga diriku agar tidak tertangkap oleh Pria itu. Yah, setidaknya aku memiliki kau yang selalu membantuku terlepas darinya. Haruskah kuucapkan terima kasih sahabatku?" Leo memijit kepalanya pusing menghadapi Agatha, rasanya ia ingin memecahkan kepala wanita didepannya agar sedikit lurus. Maksudnya... ayolah, Leo benar-benar khawatir pada keadaan Agatha yang menjadi incaran seorang Pria misterius yang gilanya tak bisa Leo tangkap dengan mudah, entah karena kecepatan Pria itu dalam melarikan diri atau yang lainnya. Yang jelas, Leo sampai saat ini tidak menemukan titik terang tentang siapa Pria yang selalu mengganggu Agatha selama 1 tahun terakhir. Yang jelas, Leo tahu jika semua jalan yang ia tempuh selalu berakhir dengan buntuh. Disisi lain... Agatha yang paham dengan pemikiran Leo hanya bisa menepuk bahu Pria itu, "sudahlah, jangan dipikirkan tentang siapa Pria itu. Kau hanya akan membuang waktu untuk itu," "Kenapa? Jujur saja Agatha, sebenarnya kau tahu siapa Pria itu,kan?!" Agatha membuang nafasnya kasar, "jika aku tahupun tak akan kuberi tahu, karena. Kau tahu Leo, orang yang kau cari itu bukanlah orang biasa yang bisa kau jebloskan kepenjara saat kau menemukannya. Lagipula aku tidak ingin membuat penjelasan apapun dipersidangan, jika Pria itu tertangkap." "Perkataanmu malah membuatku semakin ingin menangkap Pria itu," Agatha terkekeh pelan, lalu membuka pintu kamar yang sempat ia tutup. "Sudah cukup, silahkan kembali kekantormu Letnan Leo." "Kau mengusirku?!" "Sudah jelaskan, jadi selamat tinggal." "Tapi bagaimana jika Pria itu-" BRHUK! Belum sempat Leo berkata, Agatha sudah menariknya keluar dari kamar dan menutup pintunya dengan keras. Membuat Leo mendesah kesal, menerima sikap Agatha. Tapi untunglah Leo sudah biasa dengan sikap Agatha, jadi ia tidak begitu mengambil hati atas tindakan Agatha barusan. Leo sempat menunggu beberapa saat dipekarangan rumah Agatha guna memastikan jika Pria yang mengincar Agatha tidak kembali, hingga dimenit ketiga puluh Leo menyerah dan meninggalkan kediaman Agatha. Seperginya Leo, Agatha langsung mengambil ponselnya yang berbunyi. "Halo?" "Aku keluar negeri 2 minggu sayang, aku akan kembali saat pekerjaanku selesai. Bye sweatheart... aku akan merindukan-" Tuuuthh... Agatha mematikan sambungan ponselnya yang berasal dari Pria yang sama yang hampir menghancurkan pintunya, secara sepihak. Agatha lalu membanting tubuhnya pada kasur queen sizenya seraya berpikir tentang Pria yang terus mengincarnya, yang sejujurnya membuat hari-hari Agatha berjalan dengan penuh tekanan. Rohander Frigo, sebuah nama yang tak pernah terbesit diotaknya kini harus mengisi setiap titik bagian pemikirannya. Pria luar biasa namun berbahaya itu, mengincar dirinya tapi untuk apa? Dan mengapa? Dengan pemikiran itu, Agatha cukup yakin jika Rohander pasti melihat sesuatu yang menarik pada dirinya. Tapi apa yang menarik dari dirinya? Apa alasanmu menggangguku, Rohander Frigo?"Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments