Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya.
"Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kembali merebahkan tubuhnya. Pandangannya menerawang jauh. Berandai-andai jika bisa mengulang masa lalu maka tidak akan pernah jatuh cinta pada Farhan. Pintu di ketuk dari luar, Vana masuk ke dalam kamar dengan wajah sendu. Gadis itu mendengar pertengkaran barusan. "Mbak...," panggilnya setelah duduk di tepi ranjang. Anjani kembali duduk dan menatap Vana. "Kamu mendengar semua ya?” Vana mengangguk dengan wajah sedih. Ia meraih tangan Anjani, menggenggam tangan itu erat. "Kak Farhan emang sayang banget sama Ibu. Mbak Anjani bisa maklum, kan?“ Anjani tersenyum sinis. Sayang yang ia tahu dan sayang yang Vana tahu jauh berbeda. Tak mau membuat Adik iparnya sedih, Anjani pun mengangguk. "Iya, Mbak ngerti kok. Seorang anak sayang sama ibunya memang wajar.“ Anjani tersenyum tipis. 'Tapi rasa sayang kakakmu berbeda dari sayang seorang anak pada umumnya,' gumam Anjani dalam hati. "Mbak.“ "Mbak gak marah kok sama Mas Farhan. Mbak udah biasa.“ Vana yang mendengar ucapan Anjani merasa sedih. “Ayah punya sakit jantung. Mbak tau kan? Jadi apa boleh aku minta selama Ibu dan Ayah masih di sini kalian jangan cerai dulu?“ Mereka saling tatap, dan Anjani menghela napas pelan. Itulah yang sedang bergelut dalam hatinya saat ini. Ayah Panji sangat baik dan sudah ia anggap seperti Ayah kandung sendiri. Dia tak mau membuat sang Ayah mertua kepikiran dan jatuh sakit. "Kata Ibu mereka akan tinggal di sini sampai acara wisudaku. Dua Minggu lagi.” Anjani menepuk tangan Vana pelan. "Iya, Mbak gak akan gugat cerai selama Ayah sama Ibu masih di sini.” Vana tersenyum sumringah, ia memeluk Anjani erat. "Makasih ya Mbak. Aku janji akan kenalin Mbak sama Kakak temenku yang pengacara.“ Anjani mengusap punggung Vana seraya tersenyum tipis. Meskipun terkadang iri dengan Vana, tapi dia sangat menyayangi gadis ini. *,* Malam hari saat makan malam Anjani baru ke luar kamar. Seharian ini ia mengunci diri di dalam kamar. “Ini tadi Ibu yang masak.“ Bu Vanya mengisi piring Ayah Panji dengan nasi beserta lauk. “Anjani gak masak?“ Farhan menatap Bu Vanya kemudian menoleh pada istrinya. Anjani hanya diam, malas menanggapi suaminya. Tangannya akan mengambil lauk, tapi ditahan Farhan. "Kamu biarin Ibu yang masak?“ Anjani meremas sendok yang ia pegang. Ia menatap Farhan dan menjawab, "Maaf, aku sedang gak enak badan.“ Farhan mencengkram pergelangan tangan Anjani, ekspresi wajahnya terlihat marah. "Ibu tamu di sini. Dan kamu-” "Farhan sudah! Ayah ingin makan masakan Ibu kamu.“ Ayan Panji menengahi. "Iya, Far. Ibu sengaja masak buat Ayah kamu.“ Bu Vanya ikut menimpali. Farhan melepas pergelangan tangan Anjani. "Lain kali jangan biarkan Ibu masak sendiri!“ Dia berbisik dengan suara pelan agar yang lain tidak mendengar. Anjani tak menanggapi, ia kembali mengambil lauk. Kali ini dia tidak melayani Farhan makan. Dan Farhan menyadari perubahan sikap Anjani, tapi dalam hatinya masih yakin jika sang istri masih sangat mencintainya. Mungkin Anjani hanya merajuk, begitu pikirnya. Selesai makan malam, Farhan masuk ke ruang kerja dan Anjani hanya bisa melihat dari anak tangga saat akan naik ke lantai atas. Bibirnya tersenyum sinis, langkah kakinya menaiki anak tangga satu persatu dengan dada bergemuruh. Dalam bayang sudah mengetahui apa yang akan dilakukan Farhan di dalam ruang kerja. Sampai di dalam kamar, Anjani mengambil ponselnya lalu menyalakan rekaman cctv yang ia pasang diam-diam di dalam ruang kerja suaminya. Dan benar saja, Farhan sedang mencumbu foto Bu Vanya. Anjani merasa jijik saat Farhan melakukan kepuasan dengan memuja foto Bu Vanya. "Menjijikan!“ Anjani menutup ponselnya. Rasa mual memenuhi tenggorokan. Hatinya kembali menerima ribuan sayatan tak kasat mata. Pedih yang ia rasakan membuatnya hampir gila. “Bukannya kamu sudah janji gak akan nangis lagi, hem?“ Ia mendongak, mengipas mata yang berkaca dengan kedua tangan. Jangan sampai cairan bening itu jatuh. "Kamu kuat, An. Kamu kuat Anjani....” Sesak, kamar mendadak pengap seolah pasokan oksigen kosong. Dadanya sungguh sesak. Ia merasa jijik, mual, benci. Anjani benci pada dirinya sendiri. Kenapa takdir harus menautkan hatinya pada satu nama yang hanya bisa memberi luka. Astaghfirullah.... Dalam kemelut rasa di dada, Anjani hanya mampu beristighfar. Dalam gamangnya malam, ia kembali mengadu pada Sang Pencipta. Memohon belas kasihan agar meruntuhkan benteng cintanya. Biarpun benci, tapi rasa itu masih tertinggal meskipun hanya setitik. Benar kata Farhan, menghapus nama yang kita cintai tak semudah menghapus tulisan dalam goresan kapur. Kini bukan hanya cinta yang tumbuh di hatinya, tetapi juga benci. Benci yang mampu menggrogoti kewarasannya. Anjani menoleh saat pintu kamar terbuka, ia segera melipat mukena dan menyimpannya. Farhan berjalan menuju kamar mandi dengan wajah segar. Anjani mendengkus kasar, melihat ekspresi puas di wajah suaminya, ia merasa mual. Bayangan kegiatan Farhan di dalam ruang kerja kembali menari dalam otaknya. "Menjijikan!" gumamnya pelan saat melihat kamar mandi tertutup rapat. Anjani berjalan menuju tempat tidur dan duduk di sana. Rasanya tak ingin satu ranjang dengan Farhan, tapi tak bisa berbuat banyak. Kedua mertuanya ada di sini, Anjani tak bisa tidur di ruang tamu. Dia buru-buru merebahkan tubuhnya di tempat tidur ketika pintu kamar mandi kembali terbuka. Farhan berjalan menuju ranjang dan naik secara perlahan. Ia pandangi punggung istrinya dengan tatapan tak biasa. Ada binar yang sulit diartikan. Sangat lama memperhatikan punggung itu hingga tangannya terulur untuk mengelus lembut punggung si istri. Dan perlahan sesuatu dalam dirinya kembali bangkit. Ini kali pertama selama satu tahun tidur satu ranjang, Farhan merasakan sebuah keinginan. Bayangan tubuh elok Bu Vanya kembali terbayang membuat darahnya berdesir. Ia memeluk tubuh Anjani erat, deru napasnya terdengar berat. "An...,“ bisiknya parau tepat di telinga Anjani. Ia kecup tengkuk putih itu lembut. "Aku menginginkanmu.“ *,#...Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang
Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan. Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah
Anjani meremas selimut dengan kuat. Sentuhan Farhan semakin menuntut. Jika dulu pastilah bahagia yang dirasa, tapi sekarang hanya jijik yang ada. Netranya masih setia terpejam, berharap Farhan menghentikan aksinya. Namun, sepertinya suaminya itu telah diliputi nafsu. "An, bukankah ini yang selama ini kamu inginkan?“ Suara Farhan terdengar semakin berat, deru napasnya semakin memburu. "Apa kamu mau menolak suamimu, hem?“ Tangannya membelai wajah Anjani dari mata sampai bibir tipis wanita itu. “Bukankah wanita muslimah sepertimu tahu hukum menolak suami?” Air mata Anjani tumpah, hatinya seperti ditikam sembilu. Ia buka netra yang berkaca, menatap Farhan dengan penuh luka. "Kenapa baru sekarang, Mas?“ Farhan kembali membelai wajah cantik Anjani. Ia akui istrinya ini sangatlah cantik. Tak heran hampir semua pria di perusahaan tergila-gila pada istrinya ini. Hanya saja hatinya terlanjur jatuh terlalu dalam untuk Bu Vanya. Sejak pertama kali melihat wanita yang sekarang m
Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya. "Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kemb
Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang. “Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjan
"Anjani! Apa kamu tidak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?!” Farhan membentak dengan tatapan tajam. Ia segera mengambil bingkai foto yang terjatuh dan langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja. Anjani berjalan mendekati suaminya dengan wajah datar. Tatapannya lurus pada Farhan. “Siapa wanita dalam foto itu, Mas?!“ Kini Anjani berdiri di depan Farhan dengan meja sebagai penghalang mereka. Farhan terlihat gugup, tapi secepatnya mengubah ekspresi gugup menjadi datar. "Kamu gak perlu tau siapa dia!“ Anjani tersenyum kecut. Tatapannya tak pernah berpindah dari kedua mata suaminya. “Bu Vanya?” Mata Farhan membeliak, terkejut sampai hatinya berdenyut ngilu. Secepat mungkin mengubah ekspresi wajah menjadi datar. "Jangan ngaco kamu! Mana mungkin foto itu Ibu!” sentak Farhan mencoba untuk tidak gugup. "Dia Bu Vanya, kan? Ibu tiri kamu?” Meskipun suaranya terdengar tenang, tapi hatinya bergemuruh. Kaki dan seluruh tubuhnya gemetar karena marah. "Kamu jangan bicara sembara