Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang.
“Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjani memberi isyarat untuk Farhan tetap pada posisinya. Ia mundur satu langkah ke belakang. “Apa kamu pikir aku ini gak punya hati, Mas? Apa kamu pikir aku gak sakit, Mas?” Anjani tertawa pelan. "Dan sekarang seenaknya kamu bilang, tunggu sebentar? Gak cukupkah kamu nyakitin aku?” Ia menatap nanar. Farhan melangkah maju, tapi kembali berhenti saat tangan Anjani memberi isyarat untuknya berhenti. "An, tolong ngertiin aku.“ "KURANG NGERTI GIMANA LAGI AKU MAS!!“ teriak Anjani murka. Dadanya bergemuruh marah. "Kurang ngerti gimana lagi aku selama ini, Mas...?” Suaranya melemah. "Tolong, lepaskan aku. Aku lelah....“ Anjani berbalik dan segera pergi dari sana. “Aaaggrrrhhh.... Sialan!!!“ Farhan menjambak rambutnya frustasi. Meraup wajah kasar. Ia mendongak mengatur deru nafasnya yang memburu karena marah. “Kamu akan tetap jadi istriku An.“ Putusnya kemudian menatap pintu yang sudah tertutup. Di dalam kamar Anjani duduk di tepi ranjang dengan suara tangis tertahan. Tangannya meremas seprai kuat. “Kamu egois, Mas!“ Pintu kamar terbuka, dengan cepat Anjani menghapus air matanya. Ia memalingkan wajah saat melihat Farhan masuk ke dalam kamar. "An....“ Suara pria itu begitu lembut menyapa gendang telinga. Dia kembali memalingkan wajah saat Farhan duduk di sisinya. Farhan meraih tangan Anjani, ia menahan tangan itu saat sang pemilik ingin menariknya. Ia kecup tangan Anjani lama. Jika dulu mungkin Anjani akan girang mendapat perlakuan manis Farhan, tapi sekarang hanya perasaan hampa yang ia rasakan. “Jangan lelah. Kumohon. Bertahanlah sebentar lagi. Aku janji akan berubah.” Anjani tak menjawab, ia memilih menarik tangannya dan berdiri. Berjalan menuju kamar mandi tanpa memperdulikan Farhan yang mengiba. Farhan yang mendapati sikap dingin Anjani hanya menghela napas. "Kamu sangat mencintaiku, An. Gak mungkin kamu bisa hidup tanpaku.“ Farhan menyakini itu dalam hatinya. Seburuk apapun perlakuannya, Anjani tidak mungkin meninggalkannya. Kata cerai yang terucap hanya gertakan dari wanita itu saja. ***..*** Pagi hari Anjani sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Tak lama Bu Vanya datang. Wanita 39 tahun itu menggunakan gaun tidur tipis berbahan sutra. Lekuk tubuhnya yang menggoda tercetak jelas. Anjani melirik sekilas sebelum hatinya bergumam mengomentari penampilan mertuanya itu. 'Astagfirullah...,' gumamnya dalam hati ketika ingat apa yang sempat ia gumamkan adalah dosa. “Kamu masak apa An?“ Bu Vanya bertanya sambil mengambil toples isi kopi hitam. Ia akan membuatkan kopi hitam untuk suaminya. “Masak nasi goreng Bu. Untuk Ayah, aku sudah masak bubur ayam.“ Anjani tahu Ayah mertuanya tidak suka nasi goreng. Lelaki paruh baya itu suka bubur Ayam seperti Vana. "Oh....“ Bu Vanya tidak bertanya lagi. Ia sibuk dengan kopi dan gulanya. Farhan terdiam di tempatnya berdiri. Pandangannya seperti terhipnotis melihat penampilan Bu Vanya. Jakunnya naik turun saat pikiran liar menari dalam otaknya. Anjani yang sadar akan kehadiran suaminya pun menoleh, ia tersenyum kecut melihat tatapan memuja si suami terhadap Bu Vanya. Ada rasa nyeri yang menusuk di dalam dada. Farhan tidak pernah menatapnya seperti itu, bahkan saat memakai gaun seksi sekalipun. “Eh, Farhan mau sarapan ya? Itu Anjani masak nasi goreng kesukaan kamu.“ Bu Vanya tersenyum pada Farhan. Glek! Farhan kembali terpaku melihat senyum manis Bu Vanya. 'Cantik...,' gumamnya dalam hati memuji wanita yang ia panggil Ibu itu. 'Dia sudah gila!' Anjani menggeleng, merasa jijik melihat tatapan suaminya. Anjani juga tak habis pikir dengan Bu Vanya, kenapa wanita ini dengan santainya memakai pakaian seperti itu saat ke luar kamar. Padahal di rumah ini ada Farhan suaminya, yang notabene lelaki dewasa. 'Apa dia sengaja? Atau memang sudah kebiasaannya?' Anjani melirik leher Bu Vanya yang terdapat tanda merah. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa. Bu Vanya juga tidak menutupi tanda itu, seperti sengaja memperlihatkan. Astagfirullah..... Anjani menggeleng pelan, merasa berdosa karena pemikirannya. Tidak mungkin Bu Vanya sengaja, mungkin Bu Vanya belum berkaca jadi tidak tahu. Begitu pikir Anjani. Ia terus mengucap istighfar guna mengusir bisikan yang menggangu hati. Karena melamun Anjani jadi tidak fokus saat menuang bubur ke dalam mangkuk dan berakhir mengenai tangan Bu Vanya. Perempuan itu menjerit kesakitan. “Panas...,“ desis Bu Vanya sambil mengibaskan tangannya yang terkena bubur panas. "Astaghfirullah..., maafkan aku Bu. Aku gak sengaja.“ Farhan melangkah cepat, mendorong tubuh Anjani supaya menyingkir. Ia raih tangan Bu Vanya kemudian membawa Bu Vanya ke wastafel. Farhan menghidupkan keran air dan membawa tangan Bu Vanya di bawah air yang mengalir. Rasa dingin air keran menetralisir rasa panas yang Bu Vanya rasakan pada tangannya. “Sudah, Far. Ibu baik-baik saja. Sudah tidak perih. Nanti Ibu kasih salep juga sembuh.“ Farhan hanya diam, dia menoleh pada Anjani. Tatapannya begitu tajam dan menusuk. Tanpa kata ia membuka bufet lemari dapur dan mengambil kotak P3K. "Biar Farhan yang kasih salep, Bu.“ Suaranya begitu lembut dan ada nada khawatir di dalamnya. Selesai mengoles salep, Farhan berjalan menghampiri Anjani dan menarik tangan perempuan itu. “Far, jangan marahin istri kamu. Dia tidak sengaja,“ ucap Bu Vanya dengan wajah khawatir. Namun, perkataan Bu Vanya sepertinya tidak di dengar Farhan. Ia tetap menarik tangan Anjani dengan kasar. “Mas, lepas! Apa yang kamu lakukan?! Kamu menyakitiku!“ Farhan seolah tuli, ia semakin mengencangkan genggamannya pada pergelangan tangan Anjani. Menyeret wanita itu menuju lantai atas di mana kamar mereka berada. Sampai di dalam kamar, Farhan menghempas tubuh Anjani ke atas ranjang dengan kasar. "Mas! Kamu apa-apaan sih!“ “Kamu yang apa-apaan, Anjani!“ bentak Farhan dengan suara menggelegar. Ia mencengkram rahang Anjani, menatap wanita itu nyalang. "Kamu sengaja numpahin bubur ke tangan Ibu?!“ Kini suaranya pelan, ditekan dan tajam. Anjani berusaha menarik tangan Farhan dari sana. Namun, lelaki itu semakin mengencangkan cengkramannya. “Aku gak sengaja, Mas!“ bela Anjani. "Bohong! Kamu marah karena tahu foto itu adalah foto Ibu. Kamu marah dan sengaja menyakitinya, ia kan? Ngaku!“ Bentakan Farhan kembali menarik Anjani dari khayalan. Semalam dia sempat mengira Farhan sungguh-sungguh akan berubah, tapi sepertinya hanya omong kosong belaka. “Aku gak sengaja!“ Anjani menekan suaranya, membalas tatapan Farhan tak kalah tajam. Farhan menggertakkan gigi, cengkramannya semakin kencang. Namun, Anjani tidak meringis atau menunjukkan kesakitannya. Hanya kedua tangannya yang semakin erat meremas kain seprai. “Sebegitunya kamu, Mas? Masih bilang mau melupakan? Yakin...?“ Anjani tersenyum penuh ejekan. Farhan terdiam, tatapannya melembut dan cengkraman melemah. “An....“ *,*Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang
Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan. Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah
Anjani meremas selimut dengan kuat. Sentuhan Farhan semakin menuntut. Jika dulu pastilah bahagia yang dirasa, tapi sekarang hanya jijik yang ada. Netranya masih setia terpejam, berharap Farhan menghentikan aksinya. Namun, sepertinya suaminya itu telah diliputi nafsu. "An, bukankah ini yang selama ini kamu inginkan?“ Suara Farhan terdengar semakin berat, deru napasnya semakin memburu. "Apa kamu mau menolak suamimu, hem?“ Tangannya membelai wajah Anjani dari mata sampai bibir tipis wanita itu. “Bukankah wanita muslimah sepertimu tahu hukum menolak suami?” Air mata Anjani tumpah, hatinya seperti ditikam sembilu. Ia buka netra yang berkaca, menatap Farhan dengan penuh luka. "Kenapa baru sekarang, Mas?“ Farhan kembali membelai wajah cantik Anjani. Ia akui istrinya ini sangatlah cantik. Tak heran hampir semua pria di perusahaan tergila-gila pada istrinya ini. Hanya saja hatinya terlanjur jatuh terlalu dalam untuk Bu Vanya. Sejak pertama kali melihat wanita yang sekarang m
Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya. "Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kemb
Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang. “Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjan
"Anjani! Apa kamu tidak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?!” Farhan membentak dengan tatapan tajam. Ia segera mengambil bingkai foto yang terjatuh dan langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja. Anjani berjalan mendekati suaminya dengan wajah datar. Tatapannya lurus pada Farhan. “Siapa wanita dalam foto itu, Mas?!“ Kini Anjani berdiri di depan Farhan dengan meja sebagai penghalang mereka. Farhan terlihat gugup, tapi secepatnya mengubah ekspresi gugup menjadi datar. "Kamu gak perlu tau siapa dia!“ Anjani tersenyum kecut. Tatapannya tak pernah berpindah dari kedua mata suaminya. “Bu Vanya?” Mata Farhan membeliak, terkejut sampai hatinya berdenyut ngilu. Secepat mungkin mengubah ekspresi wajah menjadi datar. "Jangan ngaco kamu! Mana mungkin foto itu Ibu!” sentak Farhan mencoba untuk tidak gugup. "Dia Bu Vanya, kan? Ibu tiri kamu?” Meskipun suaranya terdengar tenang, tapi hatinya bergemuruh. Kaki dan seluruh tubuhnya gemetar karena marah. "Kamu jangan bicara sembara