"Bram, lepaskan!" Seorang wanita meronta-ronta di dalam pelukan lelaki tampan yang mengenakan jas hitam nan mewah.
"Biarkan aku seperti ini sebentar. Karena aku hanya memelukmu saja, tak lebih!" Bram semakin mengeratkan pelukannya, tidak ingin melepaskan. Renata merasa sangat risih, tetapi tentu saja tak akan bisa melepaskan diri dari tubuh kekar dan besar dengan tubuh mungilnya. Namun, suara batuk seorang lelaki agak familiar terdengar di telinga. "Lepaskan! Walau kau bilang hanya, tetapi ini salah karena aku sudah menikah dan suamiku berada di rumah!" teriak Renata tertahan, ia sangat merasa gelisah dan takut kalau suaminya datang ke dapur. Bram memegangi kepalanya dengan tertawa kecil, padahal tidak ada yang lucu dari perkataan Renata, tetapi lelaki tersebut malah tertawa. "Renata!" panggil seorang lelaki dengan berteriak nyaring. Renata gelagapan, ia ingin segera melepaskan diri dari Bram, tetapi masih tidak bisa. Alhasil ia memilih menginjak kaki lelaki tersebut dengan kuat menggunakan hak high heels yang dirinya pakai. "Renata!" Bram menjerit sambil memegangi kakinya yang terasa sakit. "Apa? Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan saja. Semua itu pantas untukmu, karena kau adalah sepupu suamiku sendiri dan aku sudah menikah!" Renata melengos pergi meninggalkan Bram yang diam mematung Bram yang ditinggalkan malah tersenyum tipis, ia menyugar rambutnya secara kasar. "Hal inilah yang membuatku suka kepadamu." Bram mendekat dengan cepat, ia menahan tangan Renata yang sudah berada di ambang pintu dapur. Tidak ingin kalau sampai wanita itu mendatangi lelaki yang sekarang sedang terbaring dalam keadaan mabuk di sofa ruang tamu. "Berapa kali kukatakan, kalau aku sudah menikah! Tapi kenapa kau seakan tuli?" Renata menarik tangannya dengan kuat, namun tetap dicengkram kuat oleh Bram. "Rena, aku mencintaimu dan aku yakin kau juga mencintaiku. Jadi ayo kita pergi dari sini dan menikah." Bram menatap memelas wanita cantik yang berada di depan mata, berharap Renata akan luluh dengan dirinya. Renata ingin berbicara, tetapi Bram menutupi mulut wanita itu dengan tangannya. "Aku yakin kau akan mengulangi perkataan yang sama, jadi jangan katakan itu. Karena aku sangat yakin kau juga tak bahagia dengan suamimu. Kalau kau setuju denganku lebih baik menganggukkan kepala saja, sehingga aku yakin kau ingin pergi bersamaku." Tatapan yang sama masih Renata lihat dari Bram, sehingga ia memilih memalingkan wajah. "Kau tak berhak mengurusi rumah tanggaku, Bram. Kau hanyalah masa lalu dan tak akan bisa menjadi masa depanku lagi." "Untuk apa melanjutkan pernikahan ini, kalau kau sendiri tidak bahagia, Renata?" Wajah Bram menjadi sayu, ia merasa sedih dengan keputusan Renata. "Terserah diriku, Bram! Sebaiknya kau pergi dari sini, takutnya suamiku melihatmu di sini." Renata mendorong dada bidang Bram dengan pelan, dengan harapan lelaki itu akan mengerti. Tak diduga oleh Renata, Bram malah merengkuh pinggang mungil miliknya, sehingga posisi wajah lelaki itu tepat berada di atasnya. "Mata bulatmu itu selalu mempesona sedari dulu, jadi bagaimana bisa aku melupakanmu begitu mudah." Bram memiringkan kepalanya, sehingga jarak mereka semakin dekat. Renata tahu apa yang akan dilakukan oleh Bram, tetapi tubuhnya membeku tidak bisa digerakkan sedikit pun. Alhasil sekarang kedua insan tersebut semakin dekat dan hanya berjarak ujung hidung saja. "Tidak, Bram! Kumohon jangan paksa aku." Renata menangkupkan kedua tangannya dengan kedua sudut mata yang meneteskan bulir bening. Bram yang semula ingin mendekatkan bibirnya menjadi urung dan memilih untuk merengkuh tubuh mungil tersebut dengan sangat erat. Ia selalu tak bisa melihat ekspresi wajah dari Renata yang seperti itu. "Kau pasti akan menderita kalau terus bersama dengan suamimu itu, jadi lebih baik kau pergi bersamaku dan membangun keluarga baru. Aku pasti akan membahagiakanmu sampai kau melupakan semua yang kau tinggalkan di sini." Bram berbisik lembut di telinga Renata, mengeluarkan semua rayuan yang dibisa. Wajah Renata memerah dengan gigi terus bergemeretak. "Masalah aku bahagia atau tidak itu bukanlah urusanmu, tetapi urusanku! Lebih baik kau segera pulang dari sini dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkan suamiku." Renata menatap tajam dengan wajah yang masih memerah karena marah atas perkataan Bram. Merasa kalau lelaki itu terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangganya. "Rena, kumohon! Harus berapa kali aku memohon kepadamu supaya kau ingin bersamaku?" Bram memegangi tangan Renata dengan lembut, bahkan sesekali akan mengelus tangan wanita tersebut. "Dan berapa kali aku mengatakan kalau kita sudah tidak bisa bersama lagi? Lupakanlah aku, Bram!" tolak Renata tegas. Bram tidak bisa mendengar setiap penolakan dari Renata, sehingga ia memilih untuk berjalan mendekati wanita tersebut. Namun, wanita itu malah terus berjalan mundur sampai terbentur dinding, tak bisa lagi melangkahkan kaki untuk menjauh. "Bram, apa yang ingin kau lakukan?" Renata memandang dengan tubuh yang gemetar, ia beberapa kali melirik ke arah pintu untuk memastikan sang suami tak datang kemari. "Kau tahu kan aku sudah dari dulu sangat tidak suka mendengar penolakan apapun? Tapi sedari tadi kau terus saja menolak sampai membuatku menjadi bosan, padahal aku lebih baik dari suamimu itu." Bram memainkan rambut Renata, tak lupa ia pun akan menyesap aroma wangi dari rambut tersebut. Renata terdiam, percuma mengatakan apapun kepada lelaki yang berada di depan matanya sekarang. Karena Bram pasti tetap akan bersikeras dengan perkataan lelaki itu sendiri. Seorang lelaki sedang berdiri sambil berpegangan dengan dinding menatap tajam ke arah Renata dan Bram. Wajahnya memerah dan nafas terdengar memburu memandang kedua orang yang saling berdekatan itu. Lelaki itu pun melangkahkan kakinya pelan mendekati kedua insan yang sekarang tak tahu dengan keberadaannya. Tangan mengepal kuat menahan amarah bergejolak di dalam dada. Lantas segera menarik Bram untuk menjauh dari Renata. "Gio?" Mata Renata membulat menatap sang suami yang sekarang sedang berdiri dengan tatapan penuh amarah kepada mereka berdua. Tubuh Renata menjadi gemetar hebat dengan bibir memucat bahkan keringat dingin mulai membanjiri keningnya. Ia tak dapat mengucapkan satu patah kata pun untuk mengatakan alasan yang pas kepada sang suami saat memergoki dirinya hanya berdua bersama dengan seorang lelaki di dapur. Tatapan Renata mengiba menatap Bram, meminta untuk lelaki itu menjelaskan kepada sang suami kalau sekarang sedang salah paham. Namun, yang ditatap malah memalingkan wajah sambil tersenyum amat lebar sehingga semakin membuat ia menjadi gemetar ketakutan. Seiring Gio mulai mendekat, Renata menjadi memejamkan matanya sambil berharap di dalam hati kalau lelaki itu tak akan terlalu marah kepadanya. "Ya Tuhan! Tolonglah aku." Renata bergumam pelan sambil menggigit bibirnya kuat, lantaran Gio sudah berada di depan matanya.Renata yang biasanya hanya mengenakan pakaian longgar sekarang malah mengenakan rok span ketat di atas lutut, memperlihatkan seluruh lekuk tubuh wanita itu. Gio menjadi menelan ludahnya beberapa kali melihat pemandangan itu. Sehingga ia menjadi lupa dengan tujuannya mendatangi kamar sang istri.Sementara Renata memiringkan kepalanya menatap Gio. Lelaki itu malah melamun di tengah pintu kamarnya.“Gio?” Renata menyentuh tangan Gio, membuat lelaki itu menjadi terkejut.Gio memilih untuk berdehem supaya bisa menetralkan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.“Ada apa? Beberapa kali aku memanggilmu kau tidak menjawab,” tanya Renata, ia tak menatap melainkan sibuk membenarkan pakaiannya supaya semakin rapi.Gio meneguk ludahnya kembali, tetapi ia dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Kau mau ke mana dengan pakaian seperti itu?”Gio memandangi Renata dengan tajam, seakan-akan ingin menguliti wanita tersebut.“Kerja!” jawab Renata dengan datar.Gio semakin mengerutkan dahinya menatap Re
Renata terus memandang ke arah Gio, ia menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu. Namun lelaki yang masih berstatus suaminya itu malah mengerutkan kening. Alhasil ia menjadi menghela nafas dan langsung mengerti kalau Gio tak paham akan tindakkan yang dirinya kakukan.“Kita buat surat perjanjian. Kalau kau mengulangi kesalahan yang sama maka kita akan bercerai.” Renata memainkan pena di udara sambil terus menatap ke arah Gio.Renata berusaha untuk memperhatikan ekspresi Gio, tetapi lelaki itu tampak terlihat seperti biasa saja.Tak lama Gio menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Untuk apa kita melakukan hal seperti itu? Bukankah hal itu seperti kekanak-kanakan?” Ia melipat tangannya, menolak tegas permintaan dari Renata.Renata meremas kertas yang ada di tangannya. Ia marah kesal dan berbagai macam perasaan menjadi satu.“Apa kau takut?” Renata menaik turunkan alisnya. Dahi Gio menjadi mengerut melihat tatapan dari Renata. Ia sangat tahu sekali kalau wanita yang berada di depannya i
Gio meninggalkan kedua orang itu dengan terus terkekeh kecil. Alhasil membuat Bram menjadi penuh tanda tanya dan hanya memandangi Renata.“Ayo kita pergi! Biar aku mengantarmu, entah kemanapun tujuanmu akan aku antarkan.” Bram menarik tangan Renata kasar, tetapi wanita itu malah tak bergerak sedikit pun.Renata hanya diam saja, ia tak dapat mengatakan apapun karena pikirannya sekarang berada di waktu beberapa menit yang lalu. Ia masih tidak menyangka kalau Gio akan setega itu mengancam dirinya dengan menggunakan keluarga satu-satunya.“Renata! Kelapa malah melamun? Apa karena kau tidak memiliki tempat tujuan?” Bram menyentak kasar wanita itu, supaya cepat tersadar dari lamunan.“Kenapa kau masih di sini?” Renata mundur beberapa langkah, ia memalingkan wajahnya ke arah lain.Perasaan sekarang sedang campur aduk, tetapi malah harus menghadapi lelaki yang berada di depan mata. Sangat lelah sekali Renata hari ini, sehingga terlalu malas menambah masalah dengan orang lain.“Bukannya kau ma
Tubuh Renata menjadi bergetar hebat mendengar hal itu. Namun, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Aku akan menjelaskan dengan nenek apa yang sebenarnya terjadi!” Renata bergegas menuju ke luar.Di luar sana sudah ada Bram yang menunggu Renata. Karena lelaki itu berpikir Renata akan meminta dirinya untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Apalagi Renata sudah siap pergi, sehingga memilih menunggu di mobil tanpa memikirkan kalau Gio memikirkan banyak rencana untuk menahan Renata supaya tetap tinggal.“Apa kau pikir dia akan percaya?” Gio menyeringai tipis, ia mengambil ponsel yang berada di saku celananya.Renata langsung berlari, ia bahkan menjadi terpleset lantaran berlari dengan menggunakan sepatu berhak.“Gio, kumohon jangan!” rintih Renata sembari kesakitan.Rosetta yang masih berada di sana pun ingin membantu Renata dengan mengambil ponsel yang ada di tangan Gio. Namun, ia didorong oleh lelaki tersebut.“Kau jangan ikut campur!” Mata Gio memerah dengan urat-urat menonjol di dahi
Renata bergeming, ia tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Gio. Sejujurnya ingin tak percaya, bisa saja kalau suaminya itu hanya ingin melemparkan kesalahan kepada lelaki tidak bersalah seperti Bram. Hanya saja samar-samar terlihat jelas di wajah Bram kalau perkataan Gio itu adalah sebuah kenyataan.“Tentu saja aku tidak ada bukti, tapi Rosetta tahu sendiri kalau kau sendiri lah yang memperkenalkan kami berdua.” Gio menarik tangan wanita itu dengan kuat, berharap Rosetta akan membuka mulut.Hanya saja Rosetta memandang ke arah Bram, kemudian menunduk. Melihat hal itu membuat Renata menjadi menatap Bram dengan lekat.Di mata Renata sekarang sorot mata dingin Bram menjadi sangat mengerikan, membuat tubuhnya bergidik ngeri. Sudah dapat dipastikan kalau lelaki itu bersalah.“Walaupun begitu, tapi kau tetap saja salah menuruti perkataannya. Benar bukan?” Renata melipat tangannya di dada, senyum sinis terukir di bibir.Renata memalingkan wajahnya, berusaha memilih perkataan tepat unt
Wajah Gio yang semula panik menjadi memerah ia menatap tajam ke arah Rosetta. Tangannya menarik wanita itu dengan kuat, membuat Rosetta menangis kesakitan.Semua pasang mata menatap ke arah kedua orang itu, membuat Renata menjadi menghela nafas gusar. Ia pun memijat pelipis supaya menghilangkan nyeri di kepala.“Apa kau bisa berhenti sekarang? Banyak orang yang melihat kita!” tegur Renata dengan dingin.Gio melepaskan cengkraman tangannya dari Rosetta, tetapi matanya terus menatap tajam ke arah selingkuhannya tersebut.“Apapun itu, lebih baik katakan di rumah saja.” Renata melirik kesana-kemari, mengisyaratkan kalau di sekitar terlalu ramai.“Memang lebih bagus di rumah saja,” ucap Gio menimpali.Saat Renata berbalik badan, Gio ingin memegang tangan sang istri. Namun, tentu saja kalah cepat dengan Bram yang sedari tadi berada di samping Renata.“Ayo, Renata!” Bram mengarahkan tangan Renata untuk merangkul dirinya.Renata tak menolak, langsung menuruti lelaki itu. Sehingga membuat Bram