공유

2. Olimpiade

작가: TT.nuya
last update 최신 업데이트: 2022-03-25 19:02:03

Handoko melihat tubuh di belakang mobil tersebut, jatuh tersungkur tergeletak di aspal jalanan, dengan reflek ia menginjak rem mobil yang dikendarai.

"Apa kau gila Han?." Teriak sosok dari kursi belakang.

"Sepertinya wanita itu pingsan." Jawab Handoko sembari menoleh kearah pria di belakangnya.

Handoko merasa sedikit tak nyaman ketika melihat sosok Angel lunglai beberapa saat lalu. Entah itu karena rasa iba atau ada penyebab lain, yang jelas saat ini Handoko seolah memiliki keinginan kuat untuk membantu wanita itu.

"Lalu?." Tanya sosok yang tak lain adalah Anggara, bos sekaligus sahabat dari Handoko.

"Telpon saja rumah sakit?" Sambung Anggara lagi, masih dengan nada datar, cuek, dan dapat di simpulkan bahwa sosok itu tidak peduli sama sekali.

"Apa kau kira aku memiliki waktu untuk di buang sia-sia?, cepat jalankan mobil waktuku hampir habis."

Kali ini suara Anggara sedikit meninggi ketika melihat Handoko masih diam dan menatapnya dengan keanehan.

"Heemz" Handoko menjawabnya ringan sebelum akhirnya berbalik dan kembali menginjak pedal gas mobil. Namun dari raut wajah itu jelas ada ketidak nyamanan dalam benak serta hatinya.

Mobil kembali berjalan meskipun tidak secepat sebelumnya, entah apa yang di pikirkan Handoko sehingga melaju dengan kecepatan rendah, bahkan tangan di balik kekang kemudi juga mencengkram erat.

"Han...Apa kau bosan berkerja padaku?." Sebuah suara menghentak pikiran Handoko.

Meski suara itu terdengar tenang dan tidak menunjukkan kemarahan sama sekali, namun sebagai sahabat dan juga tangan kanan Anggara selama beberapa tahun, ia bisa menebak bahwa sosok di kursi belakang saat ini sedang kesal kepadanya.

'Tapi...mengapa sang bos kesal?, bukankah mobil sudah jalan?' Handoko bingung.

"Hah...Tidak tuan." Jawabnya reflek, dengan jujur.

"Lalu..?". Tanya Anggara lagi, sembari menyandarkan punggung dan kepala pada kursi serta memejamkan mata.

Handoko mengernyitkan kening, ia semakin kebingungan serta tidak memahami dengan perkataan "lalu" dari sang tuan.

"Lalu...?, lalu apanya bos?, tidak ada "lalu", mobil sudah bergerak" Jawab Handoko dengan berusaha menjelaskan.

Mendengar jawaban pria di depan sana, orang di jok belakang perlahan membuka mata kembali dan menjawab dengan sedikit sinis.

"Apa kau mulai bodoh?."

"Bahkan, siput pun tidak berjalan selambat mobil ini."

Mendengar perkataan itu, Handoko kembali terhenyak dan menyadari apa yang terjadi.

Namun dengan perasaan yang kurang nyaman dalam hati, ia berusaha untuk menolak mengakui kesalahannya dengan sedikit berkelakar. "Jika ada siput secepat ini, aku akan berhenti menjadi sopir dan memelihara siput saja."

Memikirkan tentang siput yang berjalan secepat mobil, sebuah senyum ironis tercetak di bibir Handoko, ia tidak menyadari sekarang ini bibirnya membentuk lengkungan dan bahkan juga mendapat tatapan dari sosok di balik punggung.

"Han.." Panggil Anggara lagi.

"Iya tuan.." Sahut Handoko tenang.

"Apa kau mencemooh ku?." Anggara.

"Waaah...tentu tidak bos, mana berani hamba yang rendah ini." Jawab Handoko dengan selingan candaan.

"Lalu..?" Anggara.

Mendengar kata itu lagi, Handoko kembali bergumam dalam diam. 'Mengapa "Lalu" lagi?.'

Jujur Handoko bingung mendengar kata pendek tersebut.

Pria itu berdehem sejenak, sebelum akhirnya balik bertanya. "Ada apa dengan "lalu" tuan?, dan kali ini "lalu" yang mana lagi?."

Mendengar ucapan itu Anggara mengangkat punggung, dan mendudukkan tubuhnya tegap.

Ia menatap punggung yang tertutup jok mobil, dan hanya menyisakan pundak atas serta kepala di depannya.

"Kau terlihat bodoh dengan senyuman itu." Anggara.

Mendengar jawaban tersebut, Handoko hanya diam serta malas melanjutkan.

"Untuk siapa kau tersenyum Han, terlihat konyol." Ucap Anggara sarkas.

Handoko masih tetap tenang, meski telah mengerti arah pembicaraan, dari tuan di belakang sana.

"Oh...untuk siput tuan." Handoko.

Mendengar jawaban konyol itu, Anggara mengernyitkan kening, wajahnya menampilkan ketidak senangan.

Handoko yang sudah memahami sifat Anggar tersenyum kecil sejenak, dan kembali berkata. "Jika ada siput secepat mobil kita, sepertinya olimpiade untuk mereka bisa di adakan tuan."

Dalam waktu singkat, suara gelak tawa di dalam mobil pecah dari kedua pria di sana.

Suasana tegang dengan bumbu ketidak nyamanan , nyatanya berubah menjadi tenang dan lebih nyaman akibat keajaiban "siput".

Namun, tawa itu tak berlangsung lama karena Anggara kembali menarik tawa mereka.

"Apa wanita itu benar-benar pingsan Han?"

"Sepertinya begitu tuan." Handoko.

"Lalu..?."

Lagi- lagi kata itu meluncur dari bibir Anggara di balik punggung Handoko.

Namun kali ini, pria di balik kemudi mobil tidak lagi kebingungan.

"Baik tuan." Sahutnya reflek.

Dengan cepat Handoko melambatkan mobil, berputar arah, dan kembali menyusuri jalan sama yang telah ia lewati beberapa detik lalu.

Sementara, Anggara yang berada di kursi belakang kembali merebahkan punggung seraya bergumam pelan. "Semoga kita tidak membodohi diri sendiri."

Mendengar ucapan itu, Handoko menyahutinya dalam hati. 'Saya harap juga demikian.'

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, tidak cepat dan juga tidak lambat.

Dan hal itu membutuhkan waktu hampir 1 menitan, untuk bisa kembali ketempat semula, dimana ia bertemu dengan Angeline tadi.

Dan seperti apa yang mereka pikirkan, sosok itu masih tergeletak tak sadarkan diri di tengah jalan.

Maklum saja, jalan tersebut adalah jalan sepi yang baru dibangun, untuk akses ke hunian yang baru di kembangkan oleh perusahaan milik keluarga Anggara.

Meskipun rumah-rumah disana telah dalam tahap siap huni, namun belum banyak yang tinggal di lingkungan tersebut.

Melihat tubuh Angel yang belum menunjukkan kesadaran, keduanya turun dari mobil berniat mengangkat tubuh tersebut membawanya kedalam mobil.

Perlahan Handoko membalik tubuh Angel yang dalam posisi miring setengah tertelungkup secara perlahan.

Hal itu ia lakukan untuk mempermudah keduanya mengangkat tubuh Angel.

Akan tetapi, ketika melihat darah yang mewarnai pakaian bagian bawah tubuh sang wanita, tindakan mereka terhenti.

"Telpon ambulance!." Perintah Anggara dengan raut wajah sedikit panik.

"Masalah apa yang ku campuri saat ini?." Gumam Anggara pelan.

Dalam sekilas detik, ia menyesali meminta Handoko untuk memutar mobil dan datang ketempat itu lagi, dan tidak menelpon rumah sakit sejak tadi.

Dalam pemahaman Anggara kemalangan serta kepedihan Angeline beberapa saat lalu, adalah salah satu trik dari sejuta cara yang di gunakan wanita untuk mendekatinya, dan kebetulan sekali daerah itu juga merupakan salah satu tempat miliknya yang sering mereka kunjungi akhir-akhir ini.

Sementara berbeda dengan Anggara, dalam keterkejutan Handoko perasaan bersalah jauh lebih dominan. Oleh karena itu, sebelum perintah Anggara terdengar pria tersebut sudah menelpon ambulance terlebih dahulu.

..................................

Waktu berlalu dengan cepat, dari sore yang penuh dengan keterkejutan, beralih menjelang malam dan dengan cepat merambat ke pagi hari.

Sosok Anggara sampai di apartemen mewah miliknya menjelang pukul 3 pagi, wajahnya yang kusut tampak menakutkan di depan Handoko.

Sehingga, pria yang sejak pagi merangkap sebagai sopir tersebut, hanya diam dan mengikuti sang atasan hingga sampai di depan pintu apartemen miliknya.

"Menginaplah di sini, nanti jam 9 kita ada rapat dengan kantor cabang." Suara itu masih terdengar tenang namun, Handoko tahu sahabatnya tersebut sangat kelelahan.

Dan ia tak ingin berdebat dengannya, atau bermain majikan dan tuan lagi seperti saat siang hari tadi.

"Hem..aku ambil kamar kanan malam ini." Sahutnya datar.

"Terserah." Anggara.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Oh...Jandaku tersayang.   Hanya karena teh.

    "Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati. Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, sebab di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke depan. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir, wanita itu berpikir bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah ia memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu beberapa saat tadi, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa sesak menyeruak dalam dada, yang perlahan menghimpit hati Angel, mungkin ini mengacu pada rasa malu, kesal pada diri sendiri, atau mungkin merasa rendah sert

  • Oh...Jandaku tersayang.    Daftar hitam.

    "Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah

  • Oh...Jandaku tersayang.   Lebih bodoh darimu

    "Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t

  • Oh...Jandaku tersayang.   Beauty Phoenix.

    " Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan. "Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dia merasa kesal melihat orang lain menertawakan sekertaris nya, meskipun dia juga sempat merasa lucu tadi. Tapi itu berbeda jika dia yang mentertawakan makhluk bodoh ini, dan hanya dia yang boleh orang lain tidak. Anggara tidak menyadari semua sikap dan tindakannya saat ini. Maklumlah seorang Anggara kapan akan mempertimbangkan ucapan d

  • Oh...Jandaku tersayang.   Pemakan segala.

    "Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret

  • Oh...Jandaku tersayang.   Bertemu lagi.

    "Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status