Share

Olimpiade

Dasar g*la, cari jembatan dan melompat saja, jangan merepotkan orang lain." Makinya, sebelum menutup kaca dan melajukan mobil.

Namun belum jauh mobil itu berjalan, dari balik kaca spion Handoko melihat tubuh di belakang mobil tersebut, jatuh tersungkur tergeletak di aspal jalanan.

Dengan reflek ia menginjak rem mobil yang ia kendarai.

Merasa mobilnya berhenti, pria di kursi belakang kembali berkata. "Ada apa lagi?."

"Tuan sepertinya wanita itu pingsan." Jawab Handoko dengan sedikit kebingungan terpancar di wajah.

Entah itu karena ia merasa iba untuk sosok disana, atau jiwa sosialnya yang kini tengah terbangun, yang jelas Handoko sedikit memiliki keengganan untuk melajukan mobil hitam, dengan nomor hoky terpasang di depan dan belakang.

"Lalu?."

"Apa kau pikir kita harus membantunya?"

"Apa kau kira aku memiliki waktu untuk di buang sia-sia?, cepat jalankan mobil waktuku hampir habis."

Dengan hati sedikit tak tenang, Handoko kembali menginjak pegas dan mobil pun bergerak perlahan.

Tangan pria di balik kekang kemudi tersebut tampak mencengkram erat.

Seolah ada suatu beban yang membuatnya tak nyaman, dan ada juga sedikit gundah dalam hati.

"Han...Apa kau bosan berkerja padaku?."

Sebuah suara menghentak pikiran sang sopir.

Suara itu terdengar tenang dan tak ada kemarahan disana.

Akan tetapi, sebaris perkataan tersebut, di telinga Handoko seperti sebuah kilatan petir di langit mendung sore itu.

"Hah...Tidak tuan." Jawabnya reflek, dengan nada sedikit gugup.

"Lalu..?"

Tanya lagi, suara dari balik punggungnya.

Handoko semakin ke kebingungan, ia tidak memahami dengan perkataan "lalu" dari sang tuan.

"Lalu...?, lalu apa tuan?."

Mendengar pertanyaan pria di depan sana, orang di jok belakang perlahan membuka mata dan menjawab sedikit sinis.

"Apa kau mulai bodoh?."

"Bahkan, siput pun tidak berjalan sepelan mobil ini."

Mendengar perkataan itu, Handoko mulai menyadari apa yang terjadi.

Dengan cepat ia menambah laju gerak mobil, dan bergumam dalam diam. "Jika ada siput secepat ini, aku akan berhenti menjadi sopir Anda, dan memelihara siput saja."

Memikirkan tentang siput yang berjalan secepat mobil, sebuah senyum ironis tercetak di bibir Handoko.

Pria itu bahkan tidak menyadari bahwa, sekarang ini dirinya tengah tersenyum, dan mendapat tatapan dari balik punggungnya.

"Han.."

Panggil seseorang dari belakang lagi.

"Iya tuan.."

Sahut Handoko tenang.

"Apa kau mencemooh ku dalam hati?"

Tanya dari balik punggung lagi.

"Tidak tuan, itu tidak mungkin terjadi."

Jawabnya masih dengan tenang.

"Lalu..?"

Mendengar kata itu lagi, Handoko kembali bergumam dalam diam. "Mengapa kata itu lagi?."

Handoko memang kebingungan, mendengar kata pendek tersebut.

Pria itu berdehem sejenak, sebelum akhirnya balik bertanya.

"Ada apa dengan "lalu" tuan?."

Sosok di balik punggung Handoko yang tak lain adalah Anggara prawira tersebut, mendudukkan tubuhnya tegap.

Ia menatap punggung yang tertutup jok mobil, dan hanya menyisakan pundak atas serta kepala di depannya.

"Kau terlihat bodoh dengan senyuman itu." Anggara.

Mendengar jawaban tersebut, Handoko melirik spion sejenak dan kembali menampilkan wajah datar.

"Untuk siapa kau tersenyum Han?."

Dengan bahasa lain, senyum sinis tersebut tengah di tunjukan untuk mengejek siapa.

Handoko masih tetap tenang, meski ia mulai mengerti arah pembicaraan, dari tuan di belakang sana.

"Oh...ini untuk siput tuan."

Mendengar jawaban konyol sang supir, Anggara mengernyitkan kening dan menampilkan ketidak senangan.

Handoko yang melihat gerakan kecil Anggara dari balik mata ketiganya, tersenyum kecil sejenak dan kembali berkata. "Jika ada siput secepat mobil kita, sepertinya olimpiade untuk mereka, bisa di adakan tuan."

Dalam waktu singkat, suara gelak tawa di dalam mobil pecah dari kedua pria di sana.

Suasana tegang dengan bumbu kemarahan yang hampir pecah, nyatanya berubah menjadi tenang dan lebih nyaman akibat keajaiban "siput".

Namun, tiba-tiba sebuah suara dari Anggara kembali menarik tawa mereka.

Menyimpan candaan yang harmonis itu, kembali kedalam peti kaku keseriusan keduanya.

"Apa wanita itu benar-benar pingsan Han?"

"Sepertinya begitu tuan." Handoko.

"Lalu..?."

Lagi- lagi kata itu meluncur dari bibir tuan di balik punggung Handoko.

Namun kali ini, pria di balik kemudi mobil tidak lagi kebingungan.

"Baik tuan." Sahutnya reflek.

Dengan cepat Handoko melambatkan mobil, berputar arah, dan kembali menyusuri jalan sama, yang telah ia lewati beberapa detik lalu.

Sementara itu, Anggara yang berada di kursi belakang, kembali merebahkan punggung seraya bergumam pelan. "Semoga kita tidak membodohi diri sendiri."

Mendengar ucapan itu, Handoko menyahutinya dalam hati. "Saya harap juga demikian."

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, tidak cepat dan juga tidak lambat.

Dan hal itu membutuhkan waktu hampir 3 menitan, untuk bisa kembali ketempat semula, dimana ia bertemu dengan wanita disana.

Dan seperti apa yang mereka pikirkan, sosok tubuh itu masih tergeletak tak sadarkan diri di tengah jalan.

Maklum saja, jalan tersebut adalah jalan sepi yang baru dibangun, untuk akses ke hunian yang baru di kembangkan oleh perusahaan milik keluarga Anggara.

Meski, rumah-rumah disana telah dalam tahap siap huni, namun belum banyak yang tinggal di lingkungan tersebut.

Keduanya turun dari mobil, dan hendak mengangkat tubuh tersebut membawanya kedalam mobil.

Handoko membalik tubuh Angel yang dalam posisi tertelungkup secara perlahan.

Hal itu ia lakukan untuk mempermudah keduanya mengangkat tubuh lemah tak sadarkan diri tersebut.

Akan tetapi, ketika melihat darah yang mewarnai pakaian bagian bawah tubuh sang wanita, tindakan mereka terhenti.

"Telpon ambulance!." Perintah Anggara dengan raut wajah sedikit panik.

"Masalah apa yang ku campuri saat ini?." Gumam Anggara pelan.

Dalam sekilas detik, ia menyesali meminta Handoko untuk memutar mobil dan datang ketempat itu lagi.

Meski demikian, ia juga tidak mengabaikan sosok Angel yang tengah terbaring disana.

Dalam keterkejutan Handoko, dengan cepat ia menelpon ambulance.

Dan entah untuk faktor apa, tak menunggu waktu yang lama sebuah mobil putih telah datang ketempat kejadian, membawa tubuh Angel yang terkulai berpindah ketempat lain.

..................................

Waktu berlalu dengan cepat, dari sore yang penuh dengan keterkejutan, beralih menjelang malam dan dengan cepat merambat ke pagi hari.

Sosok Anggara sampai di apartemen mewah miliknya menjelang pukul 3 pagi.

Wajahnya yang kusut tampak menakutkan di depan Handoko.

Sehingga, pria yang sejak pagi merangkap sebagai sopir tersebut, hanya diam dan mengikuti sang atasan hingga sampai di depan pintu apartemen miliknya.

"Menginaplah di sini, nanti jam 9 kita ada rapat dengan kantor cabang."

Suara itu masih terdengar tenang.

Akan tetapi, Handoko tahu pria yang menjadi atasan sekaligus sahabatnya tersebut sangat kelelahan.

Dan ia tak ingin berdebat dengannya, atau bermain majikan dan tuan lagi seperti saat siang hari tadi.

"Hem..aku ambil kamar kanan malam ini." Sahutnya datar.

"Terserah." Anggara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status