Pesta telah usai, tetapi permainan di antara mereka baru saja dimulai.
Nastenka tidak langsung jatuh dalam genggaman Mikhail, dan itulah yang membuat pria itu semakin tertarik. Biasanya, wanita yang berada di dekatnya akan berlomba-lomba menarik perhatiannya—mereka akan tertawa manis di hadapannya, menciptakan sentuhan-sentuhan kecil yang disengaja, atau dengan mudahnya tunduk hanya demi mendapatkan seulas senyuman darinya. Namun, tidak dengan Nastenka. Ia tahu kapan harus mendekat dan kapan harus menjauh. Ia tahu cara menarik perhatian tanpa terlihat putus asa. Ia bermain tarik ulur dengan begitu lihai, membuat Mikhail mulai melihatnya lebih dari sekadar "hadiah" dari keluarga Arman. Malam itu, setelah para tamu pergi dan suasana kembali sunyi, Mikhail duduk di ruang kerjanya, menyesap anggur merah yang tersisa di gelasnya. Api di perapian berpendar redup, sesekali mengeluarkan suara kayu yang retak terbakar. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia memikirkan seorang wanita lebih dari yang seharusnya. Seorang wanita yang berhasil membuatnya tertarik lebih dari dua hari. Memikirkan betapa beraninya wanita yang jelas-jelas terkadanga gemetar ketakutan itu membuat Mikhail terkekeh pelan sambil kembali menyesap anggur merahnya. Sementara itu di kamar yang telah diberikan padanya, Nastenka menatap bayangannya di cermin besar di sudut ruangan. Gaun merah marun yang ia kenakan malam ini kini tergeletak di kursi, sementara ia hanya mengenakan gaun tidur berbahan satin yang terasa dingin di kulitnya. Rambut hitam legamnya yang semula disanggul rapi kini terurai, menjuntai hingga punggungnya. Senyuman kecil terukir di bibirnya. Ia puas dengan bagaimana malam ini berjalan. Mikhail Romano mulai melihatnya bukan hanya sebagai "Natalia Arman", tetapi sebagai seorang wanita yang menarik perhatiannya. Itu langkah pertama. Besok, ia harus mengambil langkah berikutnya. . . . Pagi datang dengan cahaya lembut yang menelusup melalui tirai tipis jendela. Alih-alih mencari Mikhail seperti wanita-wanita lain yang ingin mendapat perhatiannya, Nastenka justru bertindak sebaliknya. Ia berlagak seolah keberadaannya di rumah ini sama sekali tidak bergantung pada pria itu. Ia berjalan santai di taman belakang, menikmati semilir angin yang membawa aroma bunga mawar dan tanah basah. Sesekali, ia berbincang dengan beberapa orang di rumah ini, membiarkan dirinya terlihat alami dan tidak terbebani oleh statusnya. Dan seperti yang ia harapkan—Mikhaillah yang datang padanya lebih dulu. "Sepertinya kau betah di sini." Suara itu terdengar rendah namun jelas, mengusik ketenangan di pagi yang damai. Nastenka menoleh perlahan. Di bawah sinar matahari pagi, Mikhail berdiri dengan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku, memperlihatkan otot lengannya yang kokoh. Mata hijau tua nya yang tajam mengamati Nastenka, seolah ingin mencari sesuatu dalam dirinya. Namun, Nastenka hanya tersenyum kecil, seolah tidak terganggu sedikit pun oleh tatapan itu. "Tentu saja. Udara segar di sini sangat menyenangkan. Dan apa yang kuinginkan, kau juga tidak melarangnya." Mikhail menyipitkan mata, seolah menilai sesuatu yang tak terlihat. "Aku tidak ingat memberi izin padamu untuk bersikap sebebas ini." Nastenka melanjutkan langkahnya, mengabaikannya seakan-akan kata-kata Mikhail hanya angin lalu. "Tapi kau juga tidak melarang, kan?" Senyuman kecil terukir di sudut bibir Mikhail. Ia melangkah mendekat, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. "Kupikir kau akan berusaha lebih keras menarik perhatianku, mengingat kau dikirim ke sini untukku." Dengan gerakan yang terkesan acuh tak acuh ia mengelus pelan rambut hitam legam milik perempuan cantik jelita dihadapannya ini. Nastenka menoleh, menatapnya dengan sorot penuh arti. "Bukankah itu membosankan? Jika aku melakukannya, aku akan sama seperti wanita-wanita lain di sekitarmu." Mikhail mengangkat sebelah alisnya, tertarik dengan jawabannya. "Sombong sekali." Nastenka mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh. "Aku hanya menikmati waktuku di sini, seperti yang sudah kukatakan tadi malam." Untuk beberapa detik, Mikhail menatapnya tanpa berkata-kata. Lalu, dengan senyum miring yang samar, ia berbalik dan melangkah pergi. "Baiklah. Kalau begitu, nikmati waktumu." Nastenka memandangi punggungnya yang semakin menjauh. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambut hitamnya. Senyuman kecil tersungging di bibirnya. —Satu langkah lagi. Mikhail Romano kini mulai memperhatikannya lebih dari yang seharusnya. Dan ini baru permulaan.Mikhail menatap datar ke arah perempuan di hadapannya. Rambutnya yang biru laut karena dicat tergerai sedikit berantakan, matanya menyipit dengan ekspresi kesal. Ekatarina Lev Romano—atau yang sering dipanggil Katya—si bungsu keluarga Romano dan satu-satunya anak perempuan di keluarga itu. Jadi bisa dibayangkan betapa dimanjakannya perempuan ini. “Malam-malam datang ke sini hanya untuk menggerutu soal Ayah?” “Kenapa memangnya? Tidak boleh?” Katya balas dengan nada sebal, matanya berkilat penuh tantangan. Mikhail mendesah pelan, menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi malas. “Bukan begitu, Katya.” Ia mengamati adiknya yang masih bersungut-sungut. “Hanya saja, kau benar-benar memilih waktu yang buruk.” Katya mendengus, melipat tangan di depan dada. “Kau selalu bilang begitu setiap kali aku datang. Apa aku harus buat janji dulu kalau ingin bertemu kakakku sendiri?” Mikhail menatapnya sekilas sebelum mengangkat gelas whiskey di tangannya, menyesap cairan keemasan itu perlaha
Nastenka tidak mundur. Sebaliknya, ia mengangkat kepalanya, membiarkan bibirnya melayang di dekat telinga Mikhail, begitu dekat hingga ia bisa merasakan panas tubuh pria itu. "Kau ingin tahu, Mikhail?" bisiknya, suaranya seperti racun yang merayap pelan ke dalam kesadaran. Ia memiringkan kepalanya sedikit, dan kemudian—sentuhan pertama terjadi. Tidak banyak. Tidak berlebihan. Hanya desiran lembut bibirnya yang hampir tidak menyentuh kulit di rahang Mikhail, sebuah gesekan samar yang lebih terasa seperti ilusi dibandingkan kenyataan. Tetapi cukup untuk menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Mikhail mengangkat dagunya sedikit, membiarkan matanya bertemu dengan mata biru cerah itu dalam jarak yang begitu dekat. Matanya tidak menunjukkan reaksi apa pun—tidak ada keterkejutan, tidak ada kepanikan, tidak ada rasa terpojok. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih gelap di sana. Sesuatu yang mendekati rasa penasaran. Ia menarik napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Lihat siapa yang mencoba
Mikhail tahu ia sedang dimainkan. Tapi yang lebih mengesalkan dari itu—ia membiarkan dirinya terbawa dalam permainan ini. Di depannya, Nastenka duduk dengan santai, memutar-mutar gelas anggurnya seolah tak ada yang lebih menarik daripada cairan merah tua yang berputar di dalamnya. Ia tidak terburu-buru berbicara, tidak mencoba menarik perhatiannya secara terang-terangan. Namun, justru karena itu, Mikhail terus memperhatikannya. Anggur dalam gelasnya hampir habis ketika Nastenka akhirnya bergerak. Bukan untuk menuangkan minuman lagi, tetapi untuk bangkit dari tempat duduknya. Gerakannya pelan—begitu tenang, begitu anggun—hingga seolah ia adalah bagian dari bayangan ruangan yang suram ini. Mikhail tetap bersandar di kursinya, membiarkan matanya mengikuti pergerakan wanita itu. "Natalia," panggilnya, suaranya rendah dan sarat dengan peringatan. Nastenka hanya tersenyum. Tanpa diminta, ia berjalan mengitari meja panjang itu, langkahnya nyaris tanpa suara. Cahaya lilin memantulkan k
Mikhail bukan pria bodoh. Sejak awal, ia tahu bahwa Nastenka—atau "Natalia Arman"—bukan sekadar hadiah biasa dari Sergey Arman. Perempuan itu tidak menunjukkan ketertarikan yang berlebihan padanya, tetapi juga tidak menjaga jarak. Ia bermain di batas tipis antara ketidakpedulian dan godaan halus, seolah menari di atas benang yang hampir tak kasat mata. Dan itu membuat Mikhail penasaran. Biasanya, jika seorang wanita dikirim kepadanya, mereka akan berusaha mati-matian menarik perhatiannya—mereka akan mengenakan gaun paling menawan, berbicara dengan suara lembut penuh pujian, atau bahkan berusaha menyentuhnya dengan dalih yang tak perlu. Tapi "Natalia" berbeda. Ia tidak tampak tergesa-gesa, tidak terlihat putus asa, dan justru karena itu ia semakin menarik. Malam itu, Mikhail sengaja menciptakan situasi untuk menguji perempuan itu. Di ruang makan pribadinya—ruangan dengan pencahayaan redup yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terdekatnya—ia menunggu dengan gelas anggur di ta
Pesta telah usai, tetapi permainan di antara mereka baru saja dimulai. Nastenka tidak langsung jatuh dalam genggaman Mikhail, dan itulah yang membuat pria itu semakin tertarik. Biasanya, wanita yang berada di dekatnya akan berlomba-lomba menarik perhatiannya—mereka akan tertawa manis di hadapannya, menciptakan sentuhan-sentuhan kecil yang disengaja, atau dengan mudahnya tunduk hanya demi mendapatkan seulas senyuman darinya. Namun, tidak dengan Nastenka. Ia tahu kapan harus mendekat dan kapan harus menjauh. Ia tahu cara menarik perhatian tanpa terlihat putus asa. Ia bermain tarik ulur dengan begitu lihai, membuat Mikhail mulai melihatnya lebih dari sekadar "hadiah" dari keluarga Arman. Malam itu, setelah para tamu pergi dan suasana kembali sunyi, Mikhail duduk di ruang kerjanya, menyesap anggur merah yang tersisa di gelasnya. Api di perapian berpendar redup, sesekali mengeluarkan suara kayu yang retak terbakar. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Untuk pertama kalinya
Mikhail tidak segera menyambut uluran tangannya. Ia hanya menatap Nastenka—atau Natalia—dengan mata tajamnya yang sulit diterjemahkan. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat dalam sekejap. Sergey Arman yang berdiri di samping Nastenka tampak sedikit gelisah, tetapi pria tua itu cukup pintar untuk tidak menyela. Lalu, perlahan, Mikhail mengangkat tangannya dan menyambut uluran Nastenka. Jemarinya kokoh, sedikit dingin, namun genggamannya tidak kasar. Ia tidak mengeceng erat, tetapi cukup kuat untuk menunjukkan dominasinya. “Sebuah kehormatan juga,” jawabnya santai, suaranya dalam dan berwibawa. “Aku tidak ingat Sergey pernah menyebut punya keponakan yang secantik ini.” Nastenka tersenyum, meskipun dalam hatinya ia menyimpan kewaspadaan. Mikhail bukan tipe pria yang mudah menerima informasi begitu saja. “Aku memang bukan seseorang yang sering diperkenalkan,” jawabnya lembut, matanya menatap Mikhail dengan sedikit godaan halus. “Tapi aku senang akhirnya bisa berkenalan deng
Nastenka menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya yang dulu penuh senyuman dan kebahagiaan itu kini mendingin dan hanya terukir senyum sarkas atau seringaian tanpa arti. Ia saat ini sedang merias dirinya, menggunakan pemerah bibir dan memoles tipis wajahnya. Ia tidak pernah suka memakai make up tebal, jadi selain pemerah bibirnya yang berwarna merah darah, wajahnya tidak diberi warna 'berani' yang macam-macam. Nastenka memakai gaun berwarna merah marun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sangat baik. Gaun ini dulu milik ibunya dan satu-satunya gaun bermerk dengan harga tinggi yang tersisa. Karena hampir seluruh barang berharga yang bisa diungkan sudah dijual oleh ibunya demi kehidupan mereka sehari-hari ketika mereka berdua masih takut diburu oleh orang yang menginginkan kematian mereka. Nastenka tidak suka menggunakan gaun yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Jadi hampir seluruh pakaiannya adalah pakaian longgar yang tidak begitu ketak, ia juga menyukai warna pastel
Dendam adalah racun yang mengalir pelan, membakar setiap nadi dengan keinginan untuk menghancurkan. Nastenka Theodor tidak pernah berpikir akan menempuh jalan ini—menjadi bayangan yang menyusup ke dalam kehidupan pria yang telah merenggut segalanya darinya. Mikhail Dimitri Lev Romano. Nama itu bergaung di benaknya, mengingatkannya pada malam di mana keluarganya musnah dalam kobaran api. Dunia mereka adalah dunia yang sama—penuh kemewahan, pengkhianatan, dan darah yang mengering di ujung peluru. Kini, ia melangkah ke dalamnya bukan sebagai korban, tetapi sebagai pemain. Dengan nama baru, wajah yang tersenyum manis, dan niat yang beracun, Nastenka menawarkan dirinya pada Mikhail. Dia bukan wanita pertama yang ingin berada di sisinya, tapi dia akan menjadi yang terakhir—entah sebagai kekasih, atau algojo yang menusuknya dari belakang. Namun, permainan ini lebih berbahaya dari yang ia kira. Saat rahasia terkuak dan kebenaran mulai bertaut dengan kebohongan, Nastenka dihadapkan pada pil