Ups! Decak Aletta sengaja menubruk tubuh Raline.
“Hahaha!"
Gelak tawa siswa-siswi lain riuh menertawakan si cupu nan malang Raline. Bukannya membantu malah yang lain ikut-ikutan melempari Raline dengan kertas sembari merutuki gadis itu.
Aletta membungkukkan tubuhnya dan berbisik ke telinga Raline. “Awas aja, kalau kamu menyebarkan kejadian kemarin. Aku nggak segan-segan berjanji akan membuatmu kehilangan beasiswa disini. Bahkan bisa saja di semua sekolah. Ingat, dimanapun!” gertak Aletta yakin.
“A-aku tidak akan memberitahukan kejadian kemarin. Tidak ada untungnya juga untukku,” jawab Raline terbata-bata.
“Good girl. Tidak salah kamu dikenal dengan sebutan cupu!" Aletta menatap jijik ke arah Raline.
Dengan congkaknya Aletta kembali berdiri tegap. Tanpa rasa iba atau peduli sama sekali. Lalu, Aletta melipat kedua tangannya di depan dada menatap sinis ke arah Raline.
“Orang miskin kayak kamu, tidak pantas berada disini!" hina Aletta.
Tidak puas membuat Raline jatuh tersungkur, lantas Aletta dengan sengaja lagi melangkahkan kakinya dan menginjak punggung tangan gadis malang itu.
“Awwsh!"
Raline hanya bisa meringis menahan sakit. Tidak ada yang menolongnya. Tidak juga gadis itu melawan. Hanya bisa menahan rasa sakit dan menyadari posisinya saat ini yang hanya seorang siswi mengandalkan beasiswa saja.
Melihat Raline kesakitan, membuat Aletta cukup puas bermain-main. Membalas si cupu polos itu dengan kuasanya di sekolah. Kemudian Aletta berlalu begitu saja tanpa ingin sekedar meminta maaf atau peduli dengan rasa sakit yang Raline alami.
“Keterlaluan banget. Apa salah aku coba sama dia?” rutuknya sambil merintih menahan sakit di tangannya.
Langkah Raline tingkah sedikit lagi. Bisa lulus dengan membawa prestasi. Kemudian bisa mendapatkan lagi beasiswa ke jenjang selanjutnya, adalah harapan besar seorang Raline.
Bisa membanggakan Ibunya. Terutama bisa kuliah sambil bekerja dan menghasilkan uang agar bisa membawa keluarga kecilnya keluar dari kampung para pekerja seks komesial.
Gadis itu kembali berdiri. Membersihkan seragam dan tangannya yang kotor. Tanpa ia sadari, Gavin memperhatikan dirinya saat dikerjai oleh Aletta habis-habisan.
“Dasar gadis bego! Kemarin aja berani melawan. Sekarang malah diam saja diperlakukan seperti itu."
Gavin tidak habis pikir jika Raline hanya diam saja. Tidak berani melawan perbuatan Aletta. Sedangkan dengan dirinya, gadis itu malah melawan atas dasar harga diri.
“Hey, Babe!” sapa Aletta manja.
Gavin menghampiri Aletta.
“Hai juga sayang!" Gavin membalas sapaan Aletta. Tetapi matanya terus tertuju lurus menatap Raline yang sibuk membersihkan seragamnya.
Tanpa rasa malu sama sekali, Aletta melingkarkan kedua tangannya di leher Gavin. Di balas oleh Gavin yang memegang pinggang anak konglomerat itu mesra.
Keduanya seakan tidak peduli jika mereka berada di ruang lingkup sekolah dan memakai seragam pelajar. Bukan pemandangan tabu lagi jika, di SMA ELITE yang berkuasa akan bebas melakukan apapun.
Tidak ada yang berani melapor atau melawan sosok Gavin dan Aletta sekalipun keduanya pernah di tegur keras. Namun apa daya, kedua orang tua Aletta dan Gavin memiliki kuasa di SMA ELITE. Yang satu donatur terbesar. Satunya lagi adalah pemilik saham terbesar di yayasan sekolah.
Melawan Gavin apalagi? Bisa-bisa hidup kalian tidak akan damai selama dia masih hidup.
“Aku masih pusing. Urusan kita belum selesai kemarin,” rengek Gavin ada maunya.
Pandangan tajam Gavin kembali fokus dengan Aletta saat Raline sudah pergi dari koridor sekolah.
“Ok, Babe. Pulang sekolah ya!” jawab Aletta kegirangan.
Gavin tersenyum sangat manis saat ada maunya. Ia bisa bersikap seperti seekor kucing yang menggemaskan jika ingin sesuatu. Dan akan berubah jadi serigala saat marah. Lalu Gavin juga bisa berubah jadi singa yang buas saat keinginanya tidak terpenuhi. Melahap dan mencabik siapapun tanpa ampun.
Dari pinggang, tangan Gavin beralih naik ke pundak Aletta. Mengajak pergi masuk ke kelas.
"Dasar pasangan mesum!" umpat Raline dari balik tembok. Rupannya ia belum pergi jauh.
Raline berusaha untuk menahan emosinya dan bertahan sekuat mungkin. Tidak ingin lagi berurusan dengan Aletta dan Gavin adalah pilihan terbaik baginya.
Lantas, Raline memutuskan pergi untuk membersihkan seragam dan mengobati luka di tangannya yang memar.
***
Tett!! Tett!!
Pukul tiga sore. Bunyi bel memekik nyaring. Tanda habisnya jam pelajaran di sekolah membuat seluruh murid berhamburan keluar kelas. Raline yang berada di kelas dua belas bahasa satu masih sibuk merapikan peralatan belajarnya ke dalam tas hitam lusuh miliknya.
Di kelas hanya tersisa Raline dan beberapa murid lain, termasuk Aletta yang satu kelas dengannya. Sungguh nahas nasib si cupu yang harus menahan emosi menjadi bulan-bulanan seorang Aletta.
Bruk!
Lagi-lagi sengaja Aletta menjatuhkan buku yang ada di tangan Raline.
Ups! "Sorry ya cupu. Aku sengaja kok,” ledeknya puas.
Raline mencoba menahan emosinya dengan mengepalkan kedua tangan di bawah meja belajarnya.
Huft! Raline menghela nafas kasar. Dadanya seakan sesak dan membuang nafas amarahnya.
Tidak ingin terpancing, kemudian Raline melanjutkan untuk merapikan buku ke dalam tas. Diraihnya buku yang jatuh karena ulah Aleta.
“Hahaha!"
Aletta tertawa puas sudah mengerjai si cupu Raline hari ini.
Gadis polos itu tidak habis pikir begitu kesalnya seorang Aletta kepadanya.
“Ah, sudahlah jangan terlalu memikirkan hal itu Raline. Kamu harus bisa fokus dan tetap tenang. Sabar, sebentar lagi ujian akan dimulai,” ujarnya menyemangati diri sambil mengelus dadanya yang terasa sesak.
Setelah selesai merapikan buku-buku di dalam tas. Raline ingin menyempatkan pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dengan cepat gadis polos itu melangkahkan kaki keluar kelas menuju kamar mandi yang berjarak cukup jauh dari kelasnya.
Sesampainya di kamar mandi, tiba-tiba ada suara aneh yang mendarat di pendengaran Raline. Ada perasaan tidak nyaman saat Raline memasuki kamar mandi nan mewah sekolah SMA ELITE tersebut.
Suara-suara samar menyentuh indera pendengarannya. Lenguhan dan desahan seorang wanita dari salah satu bilik yang tertutup.
Awalnya Raline ragu melanjutkan masuk dan memeriksa sumber suara yang membuatnya penasaran serta khawatir bersamaan. Siapa yang tidak tidak travelling saat mendengar suara desahan yang menggelitik.
Raline bergidik takut. Ia khawatir jika ada seseorang yang tengah sakit mungkin. Atau sedang memerlukan bantuannya, bisa saja. Ya kan? pikirnya dalam hati
Ada rasa penasaran dan rasa takut yang berkecamuk. Bahkan ada pikiran kotor yang kembali muncul setelah kejadian kemarin saat memergoki Aletta dan Gavin tengah berbuat mesum.
Huh ….
Hhhh …
Suara desahan yang semakin terdengar jelas membuat Raline ragu. Rasa khawatir Raline semakin memuncak saat memberanikan diri mendekati bilik yang mengeluarkan suara desahan. Ia mulai menerka-nerka jika wanita yang di dalam itu adalah Aletta dan Gavin lagi.
Apa mereka berbuat mesum lagi? pekiknya ngilu membayangkan.
Lalu, Raline memutuskan untuk berbalik kembali. Namun nahas, kakinya menendang dustbin berbahan stainles yang menggelinding ke lantai keramik mewah.
Tidak sengaja Raline menendang dustbin sampai mengeluarkan suara yang nyaring dan menggema. Membuat pasangan yang tengah berbuat mesum di bilik toilet itu terkejut.
Ugh! Sial, rutuk Raline atas kecerobohannya sendiri yang malah menendang dustbin.
Brak!
Sontak saja pintu toilet terbuka. Keluarlah sepasang muda mudi. Seorang gadis yang juga menggunakan seragam SMA ELITE sama seperti Raline.
Namun kali ini perempuan yang keluar bukanlah Aletta seperi dugaan Raline melainkan gadis lain lagi yang menjadi pasanngan mesum playboy kelas kakap bernama Gavin Maheswari.
Gadis yang keluar dari bilik sambil berlari dan menutup wajahnya karena malu saat kepergok itu bergegas pergi meninggalkan kamar mandi. Sayangnya Raline memergoki gadis itu dalam keadaan berantakan. Kancing baju yang terbuka di bagian dada. Bahkan rambutnya terlihat acak-acakan.
Sontak Raline kaget dengan apa yang ia lihat. Berusaha berpikir untuk positif pun sangat sulit.
Lalu, tidak lama Gavin pun keluar dengan santai. Seolah tidak terjadi hal apapun di dalam bilik kamar mandi. Berlalu tanpa merasa berdosa sama sekali.
Raline yang melihat Gavin keluar lantas kembali kaget akan apa yang barusan dilihatnya. Gadis polos itu, tidak menyangka jika Gavin bersama gadis lain lagi berbuat mesum.
Suara yang jelas Raline dengar adalah desahan dan lenguhan seorang gadis. Ia saja keluar dengan keadaan berantakan. Sadar kelakuan Gavin yang sungguh keterlaluan membuatnya tidak tahan ingin memaki.
“Dasar playboy mesum!” serunya penuh penekanan.
Gavin sebenarnya mengacuhkan keberadaan Raline. Namun mendengar seruan si culun itu malah menghentikan langkahnya saat ingin keluar dari kamar mandi.
Sesaat Gavin terdiam tanpa ingin membalas kalimat yang keluar dari mulut si cupu Raline. Nahas mood Gavin lagi tidak baik. Ia membalikkan badannya sambil mengeluarkan evil smile yang mengerikan.
Mata Gavin celingak celinguk mengawasi keadaan sekitar. Tanpa pikir panjang, Gavin mengunci kamar mandi dan mengurung dirinya sendiri bersama Raline berduaan saja.
Sontak saja Raline terkejut saat Gavin mengunci kamar mandi. Hanya ada mereka berdua. Dan sekolah sudah dalam keadaan sepi. Raline memberanikan diri, mengepalkan kedua tangannya dan ingin menerobos tubuh Gavin meski gemetaran.
“Buka pintunya, Vin!" tandasnya keras.
Wajah Gavin yang tengil malah membuat kaki Raline lemas dan tangannya gemetaran.
“Kamu menyuruhku?" lawan Gavin. "Atau meminta sesuatu dariku? Oh, aku tau. Kamu mau juga aku puaskan, hm?" goda Gavin
"Kamu pikir segampang itu mempermainkan banyak wanita, hm? Aku jijik melihatmu, Vin!" hardiknya melawan rasa takut.
Raline jelas penganut segala kebaikan. Meski ia berada di lingkungan para wanita binal, namun gadis polos itu sangat menjaga harkat martabatnya. Ia belajar banyak dari lingkungan yang memaksanya harus pandai menghadapi segala pelecehan kepada kaum wanita.
Baginya wanita itu untuk di jaga dan dihormati. Bukannya malah untuk dimanfaatkan dan diperbudak oleh lelaki. Seketika ia teringat akan Ibunya dan Tante Maria yang sudah terperangkap di dunia kelam.
Gavin memiringkan senyum dengan tatapan tajam. Melangkah mendekati gadis polos itu. Sontak saja Raline memundurkan langkahnya menjauh.
"K-kamu mau apa huh?! Jangan macam-macam. Dasar otak mesum!" Cicitnya memberanikan diri melawan Gavin. Meski sulit rasanya untuk memberontak.
Tubuhnya yang jauh lebih kecil dari ukuran Gavin yang semampai. Rasanya tubuh gadis itu menciut saat berdiri di hadapan Gavin.
*****
Gavin memiringkan senyumnya dengan tatapan tajam mengarah ke wajah Raline. Saat Gavin melangkahkan kakinya, sontak membuat Raline memundurkan posisinya menjauh. "K-kamu mau apa? Jangan macam-macam. Dasar otak mesum!" Ancam Raline dengan tubuh yang gemetaran. Gavin tidak menanggapi ancaman dari Raline. Sedangkan yang ada dipikiran Raline sekarang adalah bagaimana caranya, bisa keluar dari kamar mandi sekolah. “Buka pintunya, Vin. Aku mau pulang,” pinta Raline datar. “Jawab dulu pertanyaanku, apa kamu menyukaiku?” tanya Gavin penasaran. “Pft! Suka? Hahaha …." Raline tertawa mendengar pertanyaan dari Gavin.
Belum sempat Raline berterima kasih, Devin sudah berada di depan bersiap untuk turun dari bus. Tidak lama bus kembali melaju, Raline merasakan ada yang mengganjal di atas tempat duduknya. Raline mengambil sesuatu yang mengganjal dengan tangannya. Sebuah buku tulis, dengan sampul polos. Raline membuka halaman awal, dan mendapati nama Devin, tertera di halaman awal. "Astaga, rupanya Devin ketinggalan buku disini," decak Raline khawatir. Karena Devin sudah turun terlebih dahulu dari bus, Raline memutuskan akan menyimpan buku tersebut sampai besok. Dan akan mengembalikannya besok disekolah. Perlahan Raline mencermati tulisan yang berjajar dengan rapi di buku milik Devin. "Tulisannya saja rapi. Enak dibaca. Sudah tampan dan pintar lagi," puji Raline membac
Keesokan harinya.Raline bersiap seperti biasa. Mengubah wajah cantiknya menjadi jelek, sebelum keluar dari rumah. Lalu mengenakan seragam sekolah. Raline yang tengah berada sendirian di rumah, tidak sempat sarapan karena sudah hampir terlambat sekolah. Sudah biasa bagi Raline bangun tidur tidak melihat siapapun di rumahnya. Menyiapkan segala sesuatu sendirian, bagi Raline adalah hal mudah. Terlahir dengan perhatian dan pengertian yang baik, membuat Raline mengerti akan perjuangan Ibunya.Setelah semua sudah beres, Raline berjalan menuju halte. Dengan langkah cepat Raline mengejar waktu agar tidak melewatkan gerbang yang segera tertutup dalam hitungan 30 menit lagi.
Perawat membuka pintu yang bertuliskan nama Dr. Daniel Aksara. Laura mengangguk segan dan menebar senyum kepada perawat yang sudah membukakan pintu untuknya. Sikap urakan Laura masih kental, saat berada ditengah orang banyak. Perlahan Laura masuk ke dalam ruangan, dan langsung duduk tanpa permisi kepada dokter yang tengah berdiri menghadap nakas di belakang meja kerja. "H-halo, Dok." Sapa Laura bingung. Dokter yang berperawakan tinggi besar itu berbalik badan, untuk melihat pasien yang akan diperiksanya. Brugh! Laura langsung terperanjat saat
RUMAH SAKIT MEDIHEALTHRaline dan Laura tengah mengantri untuk membeli obat. Setelah Laura selesai melakukan pemeriksaan, Raline ikut mendengar hasil diagnosa kesehatan Laura."Mulai sekarang Mama jangan suruh Raline makan, tapi Mama sendiri harus teratur makan." Pesan Raline mengingatkan Laura. "Mama juga harus kurangi minum bagaimanapun juga. Bukan Raline mengatur, tapi ini demi kesehatan Mama." Sambung Raline memperingatkan Laura, yang mengidap maag akut.Sudah menjadi hal biasa Laura hidup tidak teratur selama ini. Sejak dulu, dirinya lebih banyak mengkonsumsi alkohol dibandingkan makanan. Baginya dengan tidak sada
"Ma, ayo bangun." Sudah beberapa kali Raline membangunkan Laura namun tak kunjung berhasil. Dari luar kamar, akhirnya Raline memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. "Pulas sekali, tidurnya? Pakai senyum-senyum segala lagi," gumam Raline. Raline membangunkan Laura lagi, perlahan agar tidak mengejutkan Mamanya itu. Duduk di sisi ranjang, Raline tampak mengamati wajah Laura yang masih sangat cantik. Hoam … Laura terbangun sambil menggeliat. "Eh, Raline?" Laura terkejut dengan keberadaan anak gadisnya. "Ayo sebentar lagi Mama telat," ucap Raline mengingatkan.
"Kalian pernah dengar, tentang anak lelaki yang bunuh diri di atas gak? Dia habis meratapi kesalahannya, lalu bunuh diri disana. Kalian yakin mau ke atas?" Raline semakin mendalami aktingnya. Bahkan terlanjur hiperbola.Pft!Tiba tiba ada suara dari atas tengah menahan tawa. Suara itu menggema dan terdengar mengerikan. Sontak gerombolan adik kelas itu berlarian kocar-kacir saat mendengar suara yang muncul dari atas.Setelah semua berlarian, Raline masih berdiri di anak tangga. Bulu kuduknya malah ikut-ikutan merinding saat melihat ke lantai atas."Ish! Kenapa aku malah jadi ikut-ikutan takut?" gumam Raline memeluk tubuhnya sendiri. Tak ingin berlama-lama, Raline langsung kembali turun sebe
Menunggu kedatangan Devin, malah membuat Raline sempat-sempatnya tertidur dengan posisi kepala di atas meja. Buku pun masih berserakan di atas meja. Raline memang gampang tertidur saat kepalanya bersandar di tempat yang bisa membuatnya nyaman.Setengah jam kemudian …Raline masih tertidur di perpustakaan, namun saat ini bukan Devin yang berada di hadapan Raline. Melainkan Gavin yang tengah menatap ke arah Raline. Gavin menopang wajahnya dengan tangan kanan. Sudah hampir 10 menit Gavin berada di depan Raline. Memandang sambil melamun memikirkan sesuatu tentang gadis yang membuatnya penasaran ingin memiliki Raline."Jelek, t