LOGINRamainya pemberitaan selama beberapa hari belakangan membuat Kiara malas untuk sekedar melihat atau membaca berita gosip atau tren harian. Sudah satu minggu setelah pertunangan besar itu dilakukan tapi berita tentang Vivian dan Nathan tak kunjung reda. Nathan memang bukan seorang public figure tapi Vivian dan keluarganya menginjakkan kaki di dunia yang berbeda. Vivian seorang balerina terkenal dan keluarga Vivian yang menggeluti dunia politik juga bisnis sering menjadi sorotan di surat kabar. Dengan adanya acara pertunangan kemarin sedikit demi sedikit nilai saham perusahaan milik orang tua Vivian meningkat dan membuat orang lain mulai tertarik pada sosok Nathan yang berprofesi sebagai dokter bedah torakoplastik di salah satu rumah sakit besar di New York.
"Hanya dua." Kiara mendesah saat ia menemukan dua dari sepuluh berita teratas di hari itu meskipun isi dari beritanya hanya membicarakan tentang Nathan yang merupakan kakak seorang model terkenal, Kiara Lee. Satunya lagi, tentang sebuah perusahaan agency yang ingin merekrutnya.
Knock knock.
"Good Morning, princess.”
"Come on dad, bisa berhenti dengan sebutan itu? Aku terlalu tua untuk sebutan itu."
Kiara tersenyum saat menyadari Lee Joonki, ayahnya tersenyum puas setelah berhasil menggodanya. Pria yang jauh terlihat lebih muda dari usianya itu mendekat dan memberikan ciuman selamat pagi di kening Kiara sebelum akhirnya duduk di sisi ranjang. Joonki menatap gadisnya rindu, terlebih itu adalah pertama kalinya setelah dua tahun Kiara tidak menginap di rumah.
"New York memang besar sampai-sampai membuat anak kesayanganku ini tidak pernah pulang. Sudah dua tahun kau tidak menempati kamar ini, apa kau tidak merindukan kamar ini?”
“Apartemenku lebih nyaman dari kamar kecil ini dan aku pikir anak kesayanganmu adalah Nathan bukan aku dan Arcell.”
"Kau tau apa? Tentu kau, Princess! Kau punya tempat spesial."
Kiara tersenyum kecut, karena bukan itu yang ia rasakan. Ia selalu merasa cara kedua orang tuanya menyayangi dirinya dengan Nathan sangat berbeda. Nathan seperti sosok anak yang selalu selalu kedua orang tuanya banggakan dan perhatikan.
"Maaf, aku hanya bisa menginap sampai hari ini, aku harus pergi ke Swiss untuk pekerjaanku setelah ini. I’m really sorry.”
"Kau tahu Cathryn sering mengomel karena anak-anaknya tidak pulang saat perayaan hari besar. Terutama kau dan Arcell, but honestly we’re fine. Terkadang kami hanya ingin mengomel saja dan merindukan momen dimana kita selalu berkumpul bersama seperti dulu."
"Aku sibuk, Arcell sedang kuliah di Korea, wajar kami jarang pulang."
"Tapi Cathryn sangat bersedih, saat Arcell bercanda ingin tinggal di Indonesia dan Korea karena ingin dekat dengan nenek dan kakeknya."
Kiara tersenyum.
"Setidaknya masih ada Nathan, right?"
Joonki tersenyum menatap wajah anak perempuannya sedih.
"Sarapan sudah siap, cepat turun sebelum my favorite woman mulai berteriak."
Kiara mengerenyit, mendengar julukan ibunya yang ayahnya ucapkan di usia yang sudah tidak muda lagi
“Dad, sorry, tapi sebutan itu sangat menggelikan.”
“It's been fourty years dan aku masih sangat mencintainya. Hurry up!”
Kiara menatap kepergian sang ayah sebelum akhirnya ia beranjak dari tempat tidur dan mulai merapikan penampilan sedikit. Sedikit saja karena pagi itu ia tahu ada Nathan si anak berbakti yang sudah pasti menunggu di meja makan jika tidak sedang membantu Cathryn di dapur.
Jelas ia menatap satu keluarga utuh yang berkumpul untuk menikmati sarapan yang Cathryn siapkan, tanpa terkecuali Arcell yang saat itu seperti anak berusia lima tahun yang sedang memeluk ibunya manja. Ia duduk tepat di samping Nathan yang saat itu sedang memotong pinggiran roti setelah mengoleskan selai kacang di atas satu lapis roti gandum.
"Morning, Super Model," sapanya.
Hal yang sudah lama tidak Kiara dapatkan, potongan roti yang biasanya Nathan siapkan setelah sekian lama ia dan juga Nathan memilih untuk tinggal sendiri. Sialnya lagi momen itu akhirnya terjadi karena sebuah pertunangan yang paling Kiara benci.
"It's been a while, huh?”
Kiara hanya tersenyum kaku namun entah mengapa sosok Nathan malah membalasnya dengan senyuman manis dan menenangkan, seperti tak masalah dengan apapun reaksinya. Diam-diam ia melirik Nathan yang kembali mengoles selai kacang dan memotong pingiran roti sama seperti dirinya, dalam hati Kiara tersenyum karena mereka masih menyukai hal yang sama. Ya, Ia dan Nathan memang memiliki beberapa kesamaan, salah satunya sama-sama menyukai selai kacang dan tidak menyukai pinggiran kulit roti yang kering. Semua terjadi begitu saja, karena mereka tinggal bersama dan Kiara tumbuh dengan melihat Nathan yang selalu menjadi orang yang selalu berada di sisinya.
"Kudengar kau akan pergi?"
"Ya." jawab Kiara singkat sembari menyaksikan Arcell dan ayah-ibunya sedang mengobrol bersama.
"Kali ini kemana?"
"Swiss."
"Swiss? Good place! Berapa lama?"
"Bern untuk beberapa hari."
Kedua mata Nathan tidak berhenti melirik Kiara yang sejak tadi terlihat acuh dan Kiara sangat menyadarinya, dulu Nathan akan selalu bertanya, dengan siapa ia pergi, jam berapa ia akan berangkat, tentang persiapannya, obat-obatan dan vitamin yang harus ia bawa dan sekarang pria itu menahan diri untuk tidak melakukan yang biasa dilakukan.
"Hari ini kau akan pergi dengan Vivian, bukan?" tanya Cathryn tiba-tiba.
"Ya, kedua orang tua Vivian akan kembali ke DC siang ini. Aku hanya akan berpamitan di Hotel karena aku tidak bisa meninggalkan rumah sakit siang ini."
"Lalu, apa Vivian akan tinggal di tempatmu untuk sementara waktu?"
Kedua telinga Kiara mendadak peka, karena ia ingin mendengar jawaban Nathan.
"Ya, hanya sampai akhir pekan, karena Vivian harus kembali ke San Fancisco untuk persiapan pertunjukanya."
“Salam untuk calon menantuku. Ajak dia ke sini jika kalian tidak sibuk.”
'Calon menantu' jika Kiara boleh jujur ia tidak menyukai panggilan itu bahkan mendengarnya pun ia tak suka.
****
Seperti biasa pria itu memilih menyendiri di waktu makan siang, mendengarkan sebuah instrumen klasik dengan earphonenya sementara tangannya terlihat sibuk menggores pensil di sebuah buku catatan yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Nampan kosong sudah berada di sisi kiri dan menyisakan dua americano dingin di meja. Tak lama datanglah sosok Adam yang dengan hebohnya berlari sembari tergesa-gesa membawa nampan makanan.
“Wahh, pasien hari ini … “ keluh Adam yang segera duduk dan bersiap melahap makannya. "Terima kasih sudah menunggu."
“Pelan-pelan.” Nathan mengingatkan dengan tenang sembari menyodorkan ice americano tepat di depan Adam, teman baik yang selalu bersamanya.
“Aku sangat lapar, sorry.” Nathan menatap sekilas sahabatnya itu yang terlihat sangat menyedihkan saat makan. "Pasien kecelakaan pagi ini dan butuh waktu sedikit lebih lama untuk menyelesaikannya. Menggambar siapa lagi?”
Pertanyaan tiba-tiba Adam saat melihat buku catatannya cukup membuat seorang Nathan kebingungan.
“Nothing.”
Tanpa tergesa ia menutup bukunya dan menyingkirkannya jauh dari penglihatan Adam meskipun ia tahu Adam bukan tipe orang yang penasaran akan banyak hal, sehingga ia tak perlu memikirkan banyak alasan untuk memuaskan rasa ingin tahu Adam.
Waktu yang terhitung cepat untuk seseorang yang menyelesaikan satu nampan berisi makanan berat, Adam melakukannya seperti tidak mengunyah makanannya dengan baik karena pria itu diburu waktu. Nathan hanya tersenyum menatap sahabat baiknya yang makan dengan lahap dan membuatnya semakin kekenyangan.
“Dokter Kim!”
Suara seseorang residen membuat Adam juga Nathan menoleh, berdiri tepat di sebelah Adam dan meletakan sebuah majalah dengan sosok tak asing pada cover-nya, ya … sosok Kiara yang sedang melakukan kampanye sebuah brand jeans terkenal dan Nathan mampu melihatnya.
“Dokter Kim, ini titipanmu.”
Saat itu juga kedua mata Adam dan Nathan menatap satu titik yang sama, foto Kiara yang terlihat begitu cantik dengan riasan sedikit bold dan hanya mengenakan sebuah jaket denim oversize di tubuh kurusnya. Pelan-pelan Adam menatap Nathan yang masih belum berpaling, sampai akhirnya kedua mata mereka bertemu dengan begitu dramatis, membuat isi kepala Adam otomatis memikirkan seribu satu alasan untuk ia menjawab pertanyaan Nathan.
“Hanya karena ramalan bintang.”
“Dari banyak alasan, kau memilih ramalan bintang?”
“eeeee ... ya! Aku suka melihat ramalan bintang.”
“Do you think i’m stupid?”
“Kau hanya tidak pernah melihatnya. I’ll show you.”
Adam segera membuka-buka tiap halamannya sedikit panik karena seorang Nathan yang sudah mengangkat sebagian alisnya menunggu kebohongannya terbongkar.
“I told you, do not buy anything about Kiara, even the magazine. Aku sudah mengingatkanmu untuk berhenti menyukai Kiara da—”
Belum sempat Nathan menyelesaikan ultimatumnya, Adam menutup dan membawa pergi majalah beserta nampan makannya meninggalkan Nathan dengan berlari begitu saja. Nathan menghela napas sebelum akhirnya melakukan hal yang sama, mengejar Adam yang berlari terbirit-birit sampai akhirnya ia berhasil menangkap fans berat Kiara itu dan berakhir membuat segelintir orang menatap mereka.
“Gimmie that!”
“Hei dude, bukankah ini sedikit berlebihan. She's a celebrity and you can't stop anyone or every single man in this world from seeing your sister's photos. It's a bit over, you know!”
Kata-kata itu seperti sebuah pukulan di kepalanya, tapi ia hanya ingin melindungi Kiara dari pikiran orang-orang mesum seperti Adam. Mungkin benar, ia sedikit berlebihan, melihat segelintir orang yang mungkin melihat mereka seperti dalam sebuah pertengkaran ia mulai merasa sikapnya berlebihan. Hanya saja ia tak suka saat Adam tergila-gila dengan Kiara.
“Percaya padaku, aku tidak membayangkan apapun saat melihatnya fotonya. Aku hanya menyukainya … as a person.”
"Aku hanya tidak suka jika Kiara menjadi fantasi para pria, termasuk kau.”
“But i’m not like the other guy, Kakak ipar.”
“Kakak ipar?”
Adam mengangguk dengan puppy eyes-nya.
"Tapi kau memasang foto Kiara mengenakan pakaian dalam sebagai wallpaper ponselmu.”
“That Victoria Secret Fashion Show? come on dude Fotonya ada di mana-mana, bahkan banyak yang melihatnya saat dia berjalan di runway. Kau tidak bisa menghalangi siapapun.”
Nathan tampak frustrasi menyaksikan Adam yang berlalu begitu saja, sejenak ia memikirkan apa yang Adam katakan ada benarnya. Ia berlebihan untuk porsinya sebagai seorang kakak meskipun ia hanya ingin orang-orang terdekatnya seperti Adam tidak ikut-ikutan menyukai Kiara sebagai seorang model yang sering menunjukkan badannya. Tapi jauh di dalam hati Nathan ada sedikit perasaan tidak rela karena baginya Kiara seperti miliknya yang tidak boleh dimiliki orang lain selain Joon dan Arcell.
****
Ting tung ting tung ting tungSatu ikat bunga peony memenuhi tangan Nathan yang kini sedang menunggu dengan gusar di depan pintu. Kegelisahan seperti memenuhi pikirannya tak kala Vivian yang biasanya begitu cepat membukakan pintu, kini harus membuatnya menunggu. Semua karena rasa bersalahnya, ia mengakui kesalahannya hari itu dan ia ingin menyelesaikan semuanya. Sekali lagi Nathan menekan bel yang tak lama setelahnya ia mendapati Vivian muncul dari balik pintu dengan senyuman kecut menyambut kehadiran Nathan."Kau belum tidur?"Vivian lagi-lagu tersenyum. Senyum yang bahkan bisa Nathan artikan dengan baik. "Aku tidak bisa tidur, masuklah," tutur Vivian yang berusaha bersikap sewajarnya seolah ia tak marah dan baik-baik saja. "Apa ini bunga Peonyku?"Nathan mengangguk dan Vivian segera memeluk bunga miliknya untuk menikmati wangi harum khas bunga peony yang paling ia suka."Apa ada toko bunga yang buka selarut ini?""Aku sudah membelinya tadi siang."Vivian kemudian menyadari seberapa
Suara musik berdentum begitu keras di telinga Nathan, ia tidak pernah tahu jika acara after party akan dikemas dengan cara seperti ini, cukup liar. After party yang lebih terlihat seperti sebuah pesta club malam dimana semua orang berpesta dan bersenang-senang seolah hanya hidup hanya untuk hari itu saja. Nathan menolak segala macam minuman karena kedua matanya terus menatap Kiara yang terlihat menikmati pesta, menari di lantai dansa bersama dengan para model pria dan wanita sembari membawa segelas minuman. Beberapa orang berpesta di kolam dengan bikini bahkan tak jarang ada beberapa orang yang sedang bermesraan sembari menghisap rokok bergantian. Suasana yang tidak nyaman bagi seorang Jonathan Carringtoon Lee yang merasa semua itu bukan dunianya. Dunianya terlalu tenang dibandingkan keadaan malam itu.Beberapa wanita terlihat mendekati Nathan karena memang pria itu begitu tampan dan menarik perhatian. Namun mentah-mentah Nathan menolak dan meminta para wanita yang mendekatinya untuk p
Degup jantung yang memburu membuat Vivian merasa panik karena gugup, udara yang mendadak terasa dingin membuat tubuhnya juga ikut terasa kaku. Berusaha mengatasi rasa gugupnya ia berjalan kesana-kemari untuk mengurangi semua ketegangan meskipun riasan telah menghiasi wajah sempurna Vivian malam itu, sangat cantik meskipun ia tak dapat tersenyum merasakan malam itu yang tak sesuai dengan harapan. Sesekali ia menatap deretan kursi penonton dari balik tirai, memastikan bahwa tempat yang ia pesan telah terisi dan tak lagi kosong."Get ready in ten minute!"Kedua jari-jari Vivian saling bertaut dan ia mulai terpejam untuk memohon banyak hal, hanya sepuluh menit yang terasa begitu cepat berlalu karena Nathan tak kunjung datang."Please please please Nathan please." Vivian terus berharap bahwa Nathan akan datang di menit-menit terakhir sebelum pertunjukannya dimulai."In five minute!"Vivian membuka kedua matanya dan kembali nenatap kursi kosong yang tak juga terisi oleh pemiliknya. Vivian m
De Young Museum, adalah tempat yang paling Nathan ingin kunjungi selama di San Francisco, tujuannya adalah untuk menghadiri pameran koleksi graphic art Anderson dan membeli sebuah lukisan karya Umbereto Boccioni yang nantinya akan ia letakan di ruang makan. Ia berkeliling dan melihat satu per satu karya seni yang saat itu dipamerkan hingga hatinya tertarik kepada satu karya yang ia rasa mampu bersinergi dengan ruang makannya. Kepuasan tergambar di wajah tampan yang selalu tersenyum dengan kedua mata yang berbinar, ia jatuh cinta, jatuh cinta kepada sebuah karya seni yang membuatnya terbang ribuan mil hanya untuk menjemputnya dan membawanya pulang.Kegiatanya hari itu berakhir saat ia sudah membeli lukisan yang ia inginkan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi museum yang berdiri sejak tahun 1894 itu sembari menunggu jadwal selanjutnya yaitu menonton pertunjukkan Vivian. Banyak hal yang ia kagumi selama mengelilingi museum yang luas itu, bagaimana bagunannya yang terkesan un
Makan malam yang memuaskan itu berakhir membuat Vivian kekenyangan karena masakan Nathan yang sangat enak, berkali-kali Vivian memuji calon suaminya yang sangat lihai di dapur dan membuat makanan enak. Kini keduanya memutuskan untuk menikmati malam bersama di apartemen Vivian yang sengaja ayah Vivian beli untuk Vivian yang tinggal di San Fransisco.Dua gelas berkaki panjang berisi wine menjadi pendamping kedua orang yang sedang duduk di ruang santai sembari menatap langit malam dari jendela yang terbuka lebar. Mengobrol sembari bersandar di sofa berwarna biru muda yang nyaman dan cukup luas. Nathan yang tiba-tiba meletakan gelas wine-nya dan beranjak kembali dengan satu kotak obat yang membuat Vivian merasa tersentuh. Pria itu duduk di samping Vivian sebelum akhirnya merain kedua kaki Vivian untuk ia letakan di pangkuannya.“Aku tidak sengaja melihatnya.”Vivian hanya bisa tersenyum senang menerima perlakuan manis Nathan.“Terlihat sangat menyakitkan. Kau tidak melapisinya dengan toe p
Alunan musik mengiringi langkah indah Vivian saat menari, melompat di udara dan berputar dengan begitu ringan saat menciptakan gerakan indah. Senyum tak luput dari wajahnya ketika ia menari dengan beberapa orang yang membuatnya menjadi pusat dari pertunjukan, menunjukan pendalaman karakter dengan wajah sempurna yang mampu membius mata para penoton yang menerima dengan baik emosi Vivian dalam gerakan indahnya."Well done everyone! Well done!!"Seorang pria dan wanita yang duduk di bangku penonton bertepuk tangan dan memuji penampilan para pemain dalam sesi terakhir latihan. Membuat semua orang tersenyum bahagia dan saling berpelukan saling menyemangati untuk pertunjukan utama nanti.Vivian melepas sepatu baletnya dan kembali memeriksa jari-jari kakinya yang terluka. Ia terdiam, sama sekali tak indah namun menunjukkan seberapa besar usaha jari-jari buruk rupanya untuk sampai pada titik yang ia impikan. Bukankah semakin terluka semakin indah karena semua usahanya. Kedua matanya kini bera







