Hujan turun deras di Lembah Berdarah, menciptakan genangan lumpur yang bercampur dengan darah para prajurit yang telah gugur. Aroma besi memenuhi udara, bercampur dengan bau anyir yang menusuk. Angin bertiup kencang, menggoyangkan bendera perang yang robek dan terhuyung di tengah-tengah mayat yang bergelimpangan.
Di antara puing-puing pertempuran yang masih mengepulkan asap, seorang pemuda berdiri dengan tubuh berlumuran darah. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun dalam ritme yang tidak beraturan. Li Feng. Tangannya yang kokoh masih menggenggam Pedang Naga Langit, bilahnya berkilau dalam semburat merah keunguan, seolah menyerap kematian di sekelilingnya. Namun, tatapannya kosong. Di hadapannya, Xu Jian—sahabatnya, saudara seperjuangannya—tergeletak tak bernyawa. Dada Xu Jian berlubang, darah masih mengalir dari luka menganga di tubuhnya. Li Feng jatuh berlutut, kedua tangannya gemetar saat meHujan turun dengan deras di atas medan perang yang masih berbau darah. Mayat-mayat berserakan, sebagian sudah tidak bisa dikenali, tertutup lumpur dan debu pertempuran. Li Feng berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang bercampur darah. Tangan kanannya masih menggenggam Pedang Naga Langit, sementara tangan kirinya mengepal kuat, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Xu Jian telah gugur. Tubuh sahabatnya yang setia kini tergeletak tak bernyawa di dekat kakinya. Mata Xu Jian masih terbuka, seakan masih ingin mengatakan sesuatu. Li Feng berlutut, menatap wajah sahabatnya yang kini kehilangan cahaya kehidupan. "Tidak… Ini tidak seharusnya terjadi… Xu Jian…" Li Feng menggigit bibirnya hingga berdarah. Dadanya sesak, amarah dan kesedihan bergejolak dalam dirinya. Mengapa harus Xu Jian? Bukankah merekalah yang seharusnya pulang bersama sebagai pahlawan? Bukankah mereka sudah bermi
Angin dingin menyapu lorong-lorong panjang di Istana Kekaisaran. Malam telah jatuh, dan cahaya lentera yang menggantung di sepanjang jalan setapak hanya menambah kesan suram pada suasana. Di dalam sebuah aula megah, seorang pria paruh baya dengan jubah perang hitam berdiri membelakangi jendela. Tangannya terlipat di belakang punggungnya, menatap keluar ke arah langit malam dengan sorot mata tajam penuh perhitungan. Jenderal Zhao. "Hmph, bocah itu semakin menjadi-jadi!" Suaranya menggelegar, membuyarkan keheningan ruangan. Di hadapannya, dua pria berpakaian hitam berlutut dengan kepala tertunduk dalam. Salah satunya mengangkat wajah, matanya penuh kehati-hatian. "Jenderal, kabar dari medan perang mengatakan bahwa Li Feng berhasil merebut benteng pemberontak dengan kemenangan telak. Bahkan Panglima Wei kini mulai berpihak padanya." Jenderal Zhao mengepalkan tangan, ekspresinya mengeras. "Panglima Wei... Apa aku
Hujan rintik turun membasahi perkemahan pasukan Kekaisaran di pinggiran Lembah Guang. Bara api yang menyala di beberapa tungku membuat suasana sedikit lebih hangat, tetapi hawa malam tetap menggigit hingga ke tulang. Li Feng duduk di dalam tendanya, memandangi peta yang terbuka di atas meja kayu sederhana. Garis-garis merah yang tergambar di atasnya menunjukkan posisi pasukan pemberontak yang bersembunyi di hutan berbukit di sisi barat lembah. Ia tahu, pertempuran belum berakhir. "Xu Jian... seandainya kau masih di sini, pasti kita sudah tertawa bersama merencanakan serangan berikutnya." Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Duka atas kematian sahabatnya masih terasa berat di dadanya, tetapi ia tak bisa tenggelam dalam kesedihan. Sebagai pemimpin, ia harus tetap berdiri. Suara gemerisik di luar tenda membuatnya menoleh. Langkah kaki mendekat, dan seseorang berhenti di depan pintu tenda. "Jenderal Li Fen
Darah masih berceceran di tanah. Udara malam yang dingin terasa menusuk, membawa aroma anyir pertempuran yang belum usai. Li Feng berdiri di tengah medan perkemahan dengan napas memburu, tangannya masih mencengkeram gagang Pedang Naga Langit yang berkilauan redup dalam cahaya obor. Pengkhianatan di kamp pasukan nyaris merenggut nyawanya. Salah satu perwira kepercayaannya, Luo Jian, telah menusuknya dari belakang—bukan secara harfiah, tetapi dengan menjual informasi ke pihak pemberontak. Serangan mendadak yang seharusnya membantai pasukan Li Feng dalam tidur mereka kini berubah menjadi malapetaka bagi musuh. "Jenderal, apa perintahmu selanjutnya?" tanya Aokai, salah satu komandan kepercayaannya. Li Feng mengangkat kepalanya, menatap tajam ke arah benteng musuh yang menjulang di kejauhan. Cahaya merah membara menyala dari atas menara penjagaan, menandakan kesiagaan mereka. Namun, setelah pukulan besar malam ini, kekuatan mereka pasti telah
Angin malam berembus dingin di atas benteng yang baru saja direbut. Li Feng berdiri di puncak menara pengawas, matanya menatap ke arah cakrawala yang masih kelam. Bau darah dan asap masih menyelimuti udara, tanda pertempuran yang belum lama usai. Pasukannya baru saja meraih kemenangan besar atas pasukan pemberontak Serigala Hitam, dan pemimpin mereka telah tumbang di tangannya. Namun, hati Li Feng tak bisa merasa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Terlalu mudah… "Apa benar ini sudah berakhir?" pikirnya. Di kejauhan, langkah kaki mendekat. Aldi, tangan kanan Li Feng yang setia, naik ke menara dengan wajah serius. "Li Feng, ini buruk… Sangat buruk!" Li Feng menoleh. "Ada apa?" Aldi menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Kami menangkap beberapa tahanan musuh yang menyerah. Setelah diinterogasi, mereka mengatakan bahwa Serigala Hitam hanyalah bagian dari kekuatan yang lebih bes
Langit di ufuk barat berpendar keemasan ketika Li Feng dan pasukannya akhirnya melewati gerbang ibu kota. Sorakan bergemuruh dari rakyat yang memenuhi jalanan, menyambut mereka dengan sukacita. Panji kekaisaran berkibar, menandakan kemenangan besar atas pemberontakan di perbatasan. "Hidup Jenderal Muda Li Feng!" "Prajurit Kekaisaran tidak terkalahkan!" "Pahlawan sejati telah kembali!" Suara-suara itu menggema di udara, membuat hati Li Feng bergetar. Namun, di balik semua sorakan, hatinya terasa berat. Ia tahu kemenangan ini hanyalah awal dari pertempuran lain—bukan di medan perang, melainkan di dalam istana, di mana pedang yang paling berbahaya adalah kata-kata dan tipu daya. Kedatangan yang Menggetarkan Istana Kereta kuda yang membawa Li Feng dan perwira-perwiranya perlahan memasuki halaman istana. Para pejabat tinggi telah berkumpul di depan aula utama, menunggu kedatangannya. Kaisar sendiri duduk di a
"Apakah kau akan menerimanya, Li Feng?" Pertanyaan itu menggantung di udara. Kaisar duduk di singgasananya, memandangnya dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak. Seisi ruangan sunyi, hanya suara napas para pejabat yang terdengar. Li Feng menundukkan kepala, pikirannya berputar. Tawaran ini bukan sekadar penghargaan atas jasanya di medan perang. Ini adalah jebakan. Jabatan tinggi berarti ia semakin dekat dengan pusat kekuasaan, dan semakin dekat pula dengan bahaya yang mengintai dari dalam istana. Ia bisa merasakan tatapan tajam Jenderal Zhao dari sudut ruangan. Pria itu jelas tidak senang dengan keputusan Kaisar. Jika ia menerima jabatan ini, maka ia resmi menjadi ancaman bagi Jenderal Zhao dan para pejabat lain yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. "Hamba..." Li Feng menarik napas panjang. Ia harus berhati-hati. Jenderal Zhao tiba-tiba menyela, suaranya tenang tapi menusuk. "Yang Mulia, apakah tidak
Li Feng terkejut. Bayangan hitam yang melesat masuk bagaikan angin malam yang dingin, menebarkan aura kematian di dalam kamarnya yang remang-remang. Pedangnya telah terlepas dari tangannya bahkan sebelum ia sempat melihat siapa lawannya. "Tch!" Li Feng melompat mundur, matanya nanar mencari celah dalam kegelapan. Sosok itu berdiri tegak, hanya siluetnya yang tampak samar diterpa cahaya lilin yang bergetar. Napasnya nyaris tak terdengar, tetapi tekanan yang ia pancarkan cukup untuk membuat udara terasa lebih berat. Li Feng tak bisa tinggal diam. Ia menggeser kakinya ke belakang, mencoba mengatur keseimbangan sambil tetap waspada. "Siapa kau?" suaranya tajam, menusuk keheningan malam. Tak ada jawaban. Namun, sesaat kemudian— Sreeet! Sebuah kilatan perak berkelebat menuju lehernya! Li Feng melompat ke samping, nyaris saja serangan itu menggorok lehernya. Tangannya lan
Mei Yue terbangun dengan perasaan tercekik, seolah seluruh napasnya ditahan oleh suatu kekuatan yang tak terlihat. Matanya terbelalak, mencoba menangkap jejak dunia yang ia kenal. Namun, yang ia temui hanyalah kekosongan yang mengerikan, dunia yang tampak seperti bayangan dari yang pernah ada. Langit di atasnya berwarna abu-abu, seakan-akan langit itu tak pernah tahu bagaimana warna biru yang sesungguhnya. "Di mana ini?" suara Mei Yue tercekat, namun tak ada yang menjawab. Hanya gema suaranya yang bergema kembali, menyebar tanpa arah. Ia mencoba bangkit, tubuhnya terasa lemah, seolah seluruh energinya terhisap keluar dari tubuhnya saat ia tersedot ke dalam celah realitas beberapa waktu yang lalu. Berkali-kali ia menatap sekeliling, matanya mencari-cari petunjuk apa yang telah terjadi. Dunia ini, yang begitu familiar dan sekaligus asing, seakan terdistorsi dalam setiap detilnya. Bangunan yang pernah dikenalnya kini terlihat seperti siluet tanpa wujud, ru
Langit di atas Lembah Tujuh Langit seakan menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan mengubah nasib dunia. Dua pedang, dua jiwa, dua takdir yang saling bertabrakan. Li Feng berdiri tegak di hadapan lawannya, Jenderal Bayangan, kembaran dirinya, dengan Pedang Naga Langit di tangannya. Keringat mengalir di pelipisnya, wajahnya tegang, namun matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Pedang di tangan kanan Jenderal Bayangan bersinar gelap, seperti bayangan yang siap menelan segalanya. Itu adalah Pedang Naga Kegelapan—ciptaan Shen Lu, senjata yang diciptakan untuk menandingi Pedang Naga Langit, pedang legendaris yang kini dipegang Li Feng. Kedua pedang ini, simbol cahaya dan kegelapan, menjadi lambang dari pertarungan yang lebih besar dari sekadar duel antara dua individu. Ini adalah pertarungan antara dua dunia, dua kekuatan yang tak bisa dipisahkan. "Ini adalah takdir kita, Li Feng," suara Jenderal Bayangan terdengar, berat dan dingin. "Kau dan ak
Li Feng terengah-engah, napasnya terputus-putus, matanya terbelalak seiring dengan pelan terbukanya rahasia yang paling kelam dari pertempuran yang tak kunjung berakhir. Di hadapannya, Jenderal Bayangan, musuh yang selama ini mengancam kehidupannya, berdiri tegak. Wajah yang terungkap setelah topeng itu terkelupas, membuat dunia terasa berputar. Ternyata, wajah yang tertangkap oleh matanya adalah wajahnya sendiri. Li Feng mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar, seolah mencari pegangan. Tetapi, betapa pun ia mencoba untuk menegaskan apa yang dilihatnya, kenyataan itu tetap mengguncang jiwanya. Apa yang baru saja terjadi? Jenderal Bayangan, pria yang telah mengorbankan begitu banyak dalam peperangan ini, ternyata… sama seperti dirinya. "B-Bukan mungkin," Li Feng bergumam pada dirinya sendiri. Tangan yang memegang Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari biasanya. Ia hampir tidak bisa mengendalikan pikirannya yang berkecamuk, yang se
Li Feng berdiri dengan napas terengah-engah di tengah medan perang yang terbakar. Api masih menyala di sekelilingnya, melahap sisa-sisa pasukan yang kalah dan menimbulkan asap pekat yang mengaburkan pandangan. Namun, segala kekacauan ini tidak lagi menghalangi pandangannya. Semua perhatiannya tertuju pada satu sosok, yang berdiri di hadapannya, seperti bayangan yang tak bisa disentuh oleh api. Jenderal Bayangan. “Ha!” Li Feng mengangkat Pedang Naga Langit, menghunusnya ke udara. Setiap kilatan pedang itu menciptakan cahaya yang bersinar lebih terang dari api yang menghanguskan tanah. Di hadapannya, Jenderal Bayangan berdiri dengan tenang, matanya yang tersembunyi di balik topeng perak memancarkan aura dingin, tak bisa dibaca. “Mereka bilang kau tak akan bisa menembus pertahananku,” kata Jenderal Bayangan dengan suara serak yang menggema di telinga Li Feng. “Namun kau terus datang. Keterampilanmu memang luar biasa, tetapi kau belum cukup kuat.”
Lembah Tujuh Langit telah menjadi saksi bisu dari ribuan pertarungan legendaris. Terkubur dalam sejarah panjang yang berabad-abad, tempat ini terkenal sebagai medan yang hanya bisa ditaklukkan oleh mereka yang benar-benar memiliki jiwa seorang pendekar. Namun, saat ini, tanah yang dipenuhi dengan aura kekuatan tersebut terasa semakin sunyi dan mencekam. Hanya ada dua pasukan yang mengisi kesunyian itu, satu pasukan yang terdesak, dan satu lagi yang datang dengan harapan untuk merenggut kehidupan mereka. Li Feng berdiri di bibir jurang yang menatap lembah yang terhampar luas di bawah kakinya. Hanya ada tiga ribu prajurit yang tersisa di pihaknya—pasukan yang tersisa setelah bertahan melawan serangan pasukan Shen Lu yang tak kenal ampun. Angin malam yang dingin berdesir melalui rambutnya, menciptakan ketenangan yang seolah bertentangan dengan pertempuran yang sudah di depan mata. “Bai,” panggilnya, suaranya sedikit tercekat, “Apakah kau yakin ini satu-satunya cara?”
Lembah Tujuh Langit—tempat yang dikenal sebagai tanah suci bagi para pendekar sejati—menjadi saksi dari perjuangan yang semakin mendekati garis akhir. Di sini, Li Feng berdiri tegak di samping Jenderal Bai, memandang lurus ke depan dengan tatapan tajam yang tak terhalang. Di belakang mereka, tiga ribu pasukan yang tersisa, masing-masing dengan wajah yang penuh keteguhan, namun tak bisa menutupi ketegangan yang terasa di udara. "Jenderal Bai," suara Li Feng menggema di antara batu-batu besar yang mengelilingi lembah. "Ini adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa bertahan." Jenderal Bai mengangguk perlahan, meski raut wajahnya penuh kerut mendalam, seolah beban sejarah masa lalunya kembali menghantui setiap langkah yang ia ambil. "Tujuh Langit... tempat ini menyimpan banyak rahasia," jawabnya, suaranya serak. "Dan aku tidak yakin kita akan keluar dari sini hidup-hidup." Li Feng merasakan beratnya kata-kata itu, namun ia tahu bahwa pilih
Li Feng berdiri tegap di hadapan gua yang gelap. Udara di sekitar Padang Asin ini terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang seharusnya menyegarkan malah menambah kesan angker, menggulung sepi yang semakin menyesakkan. Pikirannya berkelana, meraba ke segala arah, berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menyentuh hati seorang pria yang telah terasing begitu lama—Jenderal Bai. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah arah pertempuran yang akan datang. Bai, yang dulu dikenal sebagai Jenderal Perang terkuat, kini tinggal bayangannya sendiri, seolah terlupakan oleh dunia. Namun, ada satu hal yang Li Feng tahu pasti: hanya Bai yang bisa menghentikan pasukan Shen Lu yang datang bagaikan badai, menggulung semua yang ada di hadapannya. Li Feng melangkah memasuki gua, diikuti oleh Putri Ling’er yang setia. Setiap langkahnya terasa semakin berat. Mereka mendekati tempat di mana Bai mengasingkan diri, tempat di mana dia memilih untuk melupakan semua
Li Feng menatap horizon dengan pandangan kosong. Langit yang kelabu, penuh dengan awan mendung, seakan menggambarkan beratnya perjalanan yang harus dilalui. Di depan matanya, medan perang semakin mendekat, dan Shen Lu dengan pasukannya yang tak terhentikan hampir mencapai gerbang ibu kota. Namun, Li Feng tahu bahwa ada satu harapan terakhir yang bisa mencegah kehancuran. “Jenderal Bai... di mana dia?” pikirnya, menggenggam erat Pedang Naga Langit yang ada di tangannya. Pedang itu masih terbalut energi gelap yang terus-menerus mengalir ke dalam tubuhnya, mengingatkannya akan kutukan yang kerap mengganggu. Namun, ia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu—lebih baik rasa sakit itu daripada kehilangan segalanya. Dari dalam kedalamannya, suara Putri Ling’er terngiang, mengingatkannya pada kata-kata terakhir mereka sebelum berpisah. “Kamu bisa menghadapinya, Li Feng. Tak peduli betapa beratnya jalan ini, kamu harus menemukan jalan keluarnya. Jangan biarkan peda
Angin malam berdesir di antara pilar-pilar Istana Selatan, membawa aroma darah yang masih hangat. Li Feng berdiri mematung. Di hadapannya, tubuh Perdana Menteri Gao tergeletak tak bernyawa, darah mengalir perlahan dari luka di lehernya — merah pekat di atas lantai batu putih yang bersih. "Guru..." gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hilang tertiup angin. Ia mengepalkan tinjunya, gemetar. "Mengapa harus begini...?!" Di tangan Gao yang membeku, sebuah gulungan kecil tampak tersembunyi, hampir terlewatkan jika Li Feng tidak memperhatikannya dengan saksama. Dengan langkah berat, seolah setiap gerakan menambah beban di pundaknya, ia berlutut dan mengambil gulungan itu. Kulitnya sudah rapuh, nyaris retak di setiap sudutnya, seperti usianya yang sudah terlalu tua untuk membawa rahasia besar. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Srek! Ia membuka gulungan itu perlahan, takut bahwa sedikit saja kecerobohan akan m